Monolog Santri dan Tangis Kepala PERPUSNAS RI

oleh Reporter

10 September 2023 | 04:27

Aku Anisa Fitriani, Santri MA PERSIS 03, yang pada hari Rabu (08/07/2023) membacakan narasi di momen opening ceremony Perpusnas Writers Festival.

Momen yang digelar di Gedung De Majestic, Braga, Kota Bandung. Aku diminta menulis apa yang aku lihat dan rasakan saat berdiri di atas panggung.

Pagi itu, sorot lampu menembak ke arahku. Banyak pasang mata menatap. Seolah menjadi ujung tombak yang siap menikam.

Lantas, tak ingin ditikam, kujadikan mataku sebagai dua anak panah yang dengan segera kulepaskan pada semua orang.

Meski semula aku sungguh gemetar berada di depan banyak orang yang penuh wibawa. Di depan para petinggi, pejabat, dan tokoh-tokoh hebat.

Tapi akulah yang berada di atas panggung. Akulah yang berada di depan. Segenap perhatian, tak boleh terpusat selain ke arahku. Aku kini yang jadi tokoh utamanya. Bukan siapa pun.

Dengan hela nafas panjang. Segalanya dimulai. Aku mulai membacakan satu rentetan kalimat dari buku Narasi Rakyat. Seketika, tak ada satu sudut mata pun yang mengarah selain ke arahku.

Aku semakin lantang! Emosiku tak tertahan saat membaca,

“Di bumi Indonesia, seorang ibu tampak menyeka air mata berkali-kali sembari mendekap seorang bayi," tangisku pecah.

"Ia jaga semampunya, ia ciumi pipi mungil itu," aku tertunduk. Emosiku sudah tak tertahan. "Maafkan ibu nak.. maafkan ibu.." aku membebaskan perasaanku. Aku menangis pedih, menunduk pilu.

Mataku hendak kembali ke arah semua orang. Saat kembali, ternyata tatap mereka telah terpaku. Tak ada sepasang matapun yang liar. Semua terikat padaku.

Aku meraung! Berteriak! Atas nama rakyat. Di depan banyak orang-orang hebat, aku kini yang paling hebat! Mereka harus dengarkan aku. Alangkah perih setiap diksi yang kubaca ini. Semua harus tahu itu.

Hingga, nampak seorang lelaki, yang paling hebat tangisnya. Melebihi perempuan yang berada di sisinya. Ia tak pernah memalingkan pandangannya dariku; ia menatapku begitu dalam. Mendengar setiap yang kubaca. Tak pernah ia palingkan pandang selain dari mengelap matanya. Sesekali ia menutup lama mata itu dengan kedua telapak tangannya.

Aku tahu, mungkin ia adalah seorang pemimpin yang merasa teramat ngilu dengan narasi Rumah Bernama Indonesia yang kubaca. Maka aku semakin menghujamkan pandang ke arahnya. Aku semakin lantang mengatakan, "Ini rumah besar kita!"

"Kita mesti saling jaga, saling menyeka air mata"

Aku berteriak pada semua orang.

"Penjajah telah pergi bersama pahlawan pembela NKRI. Kini jangan ada lagi penjajah berkedok penghuni!"

Dalam setiap kalimat yang kubaca, lelaki berwibawa yang duduk paling depan itu mengangguk pelan.

Aku sudah lama berderai air mata, terisak, sesak. Di penghujung naskah yang belum selesai. Mereka telah berdiri untuk bertepuk tangan. Padahal aku masih ingin menegaskan; "berterimakasihlah dengan serendah rendah sujud setinggi-tinggi pengagungan pada yang mengaruniakan kemerdekaan."

Aku membuang nafas. "Saya Anisa Fitriani. Santri Persatuan Islam" memungkas sembari membungkuk di antara riuh tepuk tangan. Segera aku lari ke belakang panggung. Namun gemuruh tepuk tangan masih terdengar.

Setelahnya, aku menuai banyak pujian. Meski begitu aku kembalikan pada Dia pemilik segala puji dan yang Maha memudahkan. Sehingga tak ada sedikitpun kata yang kelu kubacakan.

"Hei! Kamu! Tadi keren banget kamu!" Aku yang sedang membaca di dalam perpustakaan sontak terkejut mendengarnya.

"kamu siapa?" Tanya seorang lelaki yang rasa rasanya tak berlogat sunda.  "Saya Anisa, Pak" jawabku kebingungan "kontak kamu ada di siapa? Kamu tadi dibina siapa? Mbak Anita ya? Saya minta kontak kamu. Pak kepala sangat berkenan. Beliau dibuat menangis, tadi. Dan sekarang meminta dikirimkan naskahnya. Beliau sangat terkesan dengan narasi dan pembacaannya" pinta pak Edi, Ketua Perpusnas Press yang tak sengaja bertemu di perpustakaan KAA.

Padahal di perpustakaan tak boleh bicara kencang-kencang. Tapi beliau sangat excited hingga tak sadar bahwa kami sedang di perpustakaan.

"Ada apa pak? Kenapa? Kenapa pak?" Masih seorang lelaki berwibawa yang entah siapa ikut dalam percakapan kami

"Inii, tuh dia! Tadi monolog sampe bikin pak kepala nangis! Sekarang pak kepala minta naskahnya!" Tunjuk pak edi.

"Wah kereenn!" Ujar lelaki itu sembari  menunjukkan kedua ibu jarinya.

Entah harus senang atau bagaimana. Hari itu, setiap bertemu staff Perpusnas RI, mereka segera menyapaku, sebab telah membuat kepala Perpusnas RI menangis. Tapi, begitulah. Baru kali ini aku senang mencipta tangisan untuk semua orang. Apalagi orang paling penting.Hehehe…

Alhamdulillah, Hadzaa min Fadhli Rabbi..

 

Dayeuhkolot, 7 September 2023

[]

Reporter: Reporter Editor: admin