Ada darah yang bersimbah
Menyatu dengan tanah
Menyatu dengan sejarah
Siapa tidak marah?
Kematian menjadi permainan
Sederhana sekali!
Kau bilang, “Pembunuhan ini hanyalah kasus biasa”
Gila, kau anggap semuanya gila!
Ada orang gila menari di balik dinding ketidakadilan
Orang gila bernyanyi di atas panggung kepura-puraan
Orang gila mengarang drama, memilih orang gila sebagai pemeran utama
Tapi sudahlah,
Aku ingin bercerita tentang sandiwara lain di rumah ini
Kau tahu?
Mungkin hanya di sini
Diskusi dikebiri dan digantikan persekusi
Suara dibungkam, dibuang, diangkan di balik jeruji
Mungkin hanya di sini
Orang waras dianggap gila
Orang gila dianggap pantas memimpin Negara
Orang gila bekeliaran di antara lembar-lembar kebijakan
Sedangkan para pemahat peradaban dianggap penjahat kebhinekaan!
Yang miskin semakin terkoyak, tertindas di bawah sepatu kesewenang-wenangan
Yang kaya semakin angkuh, berpesta di atas darah kemanusiaan
Mungkin hanya di sini
Tuan rumah menjadi babu bagi tamunya yang tak tahu malu
Yang dating atas undangan kaum penjilat bermental babu
Mungkin hanya di sini
Rasa kemanusiaan telah mati
Digantikan rasa kebinatangan yang dijunjung tinggi
Dan mungkin hanya lewat puisi ini aku ingin bertanya,
Dimana kau, wahai keadilan?
Tidakkah kau lihat?
Rakyat kecil menangis, meronta, memelas, menderita,
tersiksa karena ketidakadilan yang merajalela
Rakyat kecil ditakut-takuti, dibohongi dengan janji ilusi
Dimana kau, wahai keadilan?
Haruskah aku memanjat pagar istana, memaki mereka yang masih saja acuh dengan kezhaliman?
Mencekik siapa saja yang menukar salah dan benar
Menagih keadilan yang diabadikan di atas janji agung bernama pancasila
Lalu bersembunyi, dan memilih menjadi gila?
Dimana kau, wahai keadilan?
----------------------------------------------------------
Hilman Indrawan,
Monumen Perjuangan Rakyat, Bandung, 24 Februari 2018