BANDUNG - persis.or.id, Kecemasan umat Islam dalam berpolitik di Indonesia mengakibatkan kebijakan diniliai merugikan umat Islam. Hal tersebut tidak menjadi heran, karena keterlibatan umat Islam yang duduk diranah pemerintahan cenderung sedikit.
Oleh karena itu Pimpinan Daerah Pemuda Persis Kota Bandung meninisiasi kegiatan Daurah Siyasah bertajuk “Ngaji Politik Bersama KPU”. Selain ngaji politik bersama, kader muda Persis Kota Bandung mendeklarasikan anti golput.
Ketua Pelaksana Syarif Syahidin, M. Sos. menyatakan kegiatan Daurah Siyasah merupakan ajang edukasi untuk faham dalam berpolitik di jamiyyah Persatuan Islam. Kemudian Syarif tidak lupa berterima kasih kepada KPU Kota Bandung atas kepercayaan terlaksananya acara Ngaji
“ini sebagai edukasi bagi kader muda Persis Kota Bandung yang merupakan gabungan program bidang Jamiyyah dan Hubungan Antar Lembaga. Kami juga berterima kasih kepada KPU,” ucapnya di Gedung A.Hassan, Jalan Peta 154, Kota Bandung, Jumat (1/6/2018).
Sementara itu Ketua PD Pemuda Persis, Edwin Khadafi S.E, menegaskan pentingnya saat pilkada nanti. Menurutnya golput bukan menjadi solusi saat zaman krisis pemimpin saat ini. Edwin juga menambahkan saat ini tidak seharusnya mengkritik pemimpin, namun harus berpartisipasi menyiapkan pemimpin dari kader.
“Ada anggapan politik merupakan bukan garapan dakwah kita. Padahal politik menjadi garapan dakwah yang penting. Kita akan Pilkada 27 Juni nanti, jangan seperti tahun 2013. 39,4 % dari penduduk Kota Bandung golput,” jelasnya.
Edwin menuturkan pesan yang disampaikan guru Persis Muhammad Natsir. Menurutnya Islam seakan mendapatkan pencegahan ketika hendak berkecimpung di dunia politik.
“Kita berbicara Ibadah dibiarkan. Tapi kalau kita berbicara politik, ekonomi, Umat Islam seakan di waspadai, dicabut sampai akar-akarnya. Jelasnya.
Daurah Siyasah dilanjutkan dengan diskusi dari Dr. Latif Awaludin, MA. dan Nurdin Qusyaeri, M. Si. Kedua pemateri dinilai sebagai kader yang memiliki pengalaman di dunia politik. Latif Awaludin memaparkan materi tentang “Pengantar Politik Islam”.
Menurut Latif model kepemimpinan pada zaman Nabi Muhammad dinilai sempurna. Karena Nabi dapat membina lahir dan batin umat Islam saat itu. Sehingga, umat Islam mengalami kemajuan yang pesat.
“Nabi Muhammad itu figur pemimpin juga sebagai pembina batin umat. Jadi memang pada saat itu agama dan negara kuat,” ujarnya.
Lanjut Latif urgensi politik Islam tidak dimaknai secara sempit. Politik atau Siyasah dalam Islam harus diartikan dari berbagai sisi.
“Siyasah itu secara bahasa artinya mengelola kepentingan umat sesuai syariah. Dimulai dari menjaga agama jangan sampai kepentingan Islam dirampas, menjaga intelektual, harta, juga keturunan. Semua harus terpenuhi,” tambahnya.
Menurut Latif penerapan politik setiap negara berbeda-beda. Demokrasi di Indonesia dinilai tepat dengan pertimbangan keberagaman suku dan agama.
“Kalau di Indonesia memang cocoknya demokrasi, karena penduduknya heterogen. Beda dengan Arab Saudi yang cocok dengan sistem monarki. Setiap negara punya pola tersendiri dalam berpolitik sesuai geografis tersendiri,” tambahnya.
Nurdin Qusyaeri menjelaskan peran politik di Indonesia. Menurtnya politik ibarat sebuah silet yang tergantung siapa pemakainya.
“Ibarat silet, atas dan bawah tajam. Tergantung siapa yang menggunakannya. Siapa yang mendudukan posisi politik,” paparnya.
Nurdin menambahkan peran politik di dunia Islam dinilai penting. Pasalnya, kebijakan yang dihasilkan ketika duduk di pemerintahan bisa menjadikan dakwah Islam lebih luas.
“Menurut usman bin affan kepemimpinan itu sangat penting, bisa menembus larangan dan perintah di alquran. Jika kita sebagai masyarakat biasa kita hanya bisa diam-diam saja. Tapi ketika kita menjadi pemegang kekuasaan dan berpegang kepada alquran Sunnah itu bisa kuat,”pungkasnya. (RF/HH)