Oleh: Hariri Jabal Syukur (Mahasiswa UIN Bandung)
Tercatat dalam sejarah bahwa dunia Islam mengalami kemunduran yang berangsur-angsur.
Setelah masa emas dunia Islam yang puncaknya pada zaman Daulah Abbasiyah.
Namun lambat dunia Islam mengalami kemunduran dimulai dari abad 13 masehi sampai abad selanjutnya.
Kemunduran serta kehancuran dunia Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari faktor eksternal maupun faktor internal.
Faktor eksternal dipengaruhi oleh adanya pengaruh kolonialisasi barat ke Dunia Islam.
Adapun, faktor internal dipicu oleh pengaruh tarekat yang berkembang serius, sehingga terjadinya pencampuran antara ajaran Islam dengan ajaran di luar Islam yang membuat tidak adanya batasan pagar keimanan.
Di sisi lain, banyak dari umat Islam ketika berbicara tentang ketuhanan selalu menggunakan tradisi dari ulamanya, tanpa pertimbangan dasar tauhid.
Keadaan ini telah membuat umat Islam banyak yang terjerumus pada keadaan jumud dan sikap taqlid.
Bahkan, beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup yang mengakibatkan umat Islam menjadi buta terhadap ajaran Islam yang asli.
Mulai pada abad ke 18 Masehi, terjadi pembaharuan Islam terkhususnya dalam bidang ilmu tauhid.
Muncullah tokoh bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang membawa suatu konsep pemurnian dan pembaharuan karena suatu perbuatan atau tata kehidupan yang baik kepada yang buruk, dari yang imitasi kepada yang asli.
Sehingga terjadilah gerakan pembaharuan itu yang di inisiasi oleh Muhammad bin Abdul Wahab atau yang lebih dikenal dengan ajaran Wahabiyah.
Pembaharuan ini disebut dengan gerakan furifikasi atau pemurnian.
Selayang Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahab
Ia memiliki nama lengkap Abû Abdulllâh Muhammad bin Abdul Wahhâb bin Sulaymân Abû Alî bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyîd al-Tamîmî.
Ia dilahirkan di dusun Uyainah (Nejd) Saudi Arabia wilayah timur.[1] Ia lahir dari seorang ayah yang merupakan qadi, membuatnya dapat memperoleh ilmu keislaman seperti fiqih, tafsir, dan hadist.
Dalam kehidupanya, ia sering mengembara ke berbagai tempat seperti Mekah, Madinah, Basrah.
Pengembaraanya tersebut bertujuan menambah pengetahuan baik dalam bidang agama, filsafat, ataupun tasawuf. [2]
Setelah selesai dalam pengembaraanya, Muhammad bin Abdul Wahab Kembali kekampung halamnya.
Di sini ia mulai berkotemplasi dalam menyusun pemikiranya, lalu mulai mengajarkan fahamnya terutama dalam bidang tauhid.
Banyak dari masyarakat Uyainah dan sekitarnya mengikuti ajaran Muhammad bin Abdul Wahab.
Karena pengaruhnya,ajaranya tersebut menyababkan kontroversi dan keributan di daerahnya, sehingga membuat ia harus terusir dari kampung halamanya oleh penguasa Uyainah.
Lantas ia dan keluarganya pindah ke daerah Dariah. Di sinilah Muhammad bin Abdul Wahab bertemu dengan Muhammad bin Saud, yang kelak akan berjuang bersama dalam melakukan pembaharuan Islam di Jazirah Arab.
Akhirnya, Muhammad bin Abdul Wahab tutup usia pada tahun 1787.[3]
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab memilih perbaikan akidah sebagai sasaran awal perjuangan dakwahnya.
Ia tidak memulainya denga memperbaiki keadaan sosial, politik dan ekonomi.
Karena ia berkeyakinan bahwa jika akidah tauhid masyarakat itu baik, murni dan bersih dari syirik, maka bidang kehidupan lainnya seperti sosial, politik dan ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi baik pula.
Sebab, akidah adalah ruh kehidupan keagamaan seseorang yang akan mempengaruhi bahkan menentukan pola-pola tingkah laku seseorang dalam aspek kehidupan lahir bathin.
Ia banyak menulis berbagai subyek keislaman, seperti teologi, tafsir, hukum Islam dan kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Adapun dalam pemikiran, ia lebih menekankan pada ajaran tauhid (keesaan Allah), tawassul (perantara), takfir, bid’ah, ijtihad dan taklid.[4]
a. Ajaran Tauhid
Tema pokok ajarannya adalah tauhid karena beliau memandang tauhid sebagai agama Islam itu sendiri.
Beliau berpendapat keesaan Allah diwahyukan dalam tiga bentuk, yaitu:
Pertama, Tauhid Rububiyah. Penegasan keesaan Tuhan dan tindakan-Nya, Tuhan sendiri adalah pencipta, penyedia, dan penentu alam semesta.
Tauhid al-Asma wa al-Sifat (keesaan nama dan sifatnya) yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan, seperti tedapat dalam dalil Al- Quran:
“Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah.“ (QS. Thaha [20]: 6).
Kedua, Tauhid al-Ilahiyah. Menjelaskan hanya tuhan yang berhak disembah.
Penegasan “Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya“, berarti bahwa semua bentuk ibadah seharusnya dipersembahkan semata bentuk ibadah seharusnya dipersembahkan semata kepada Allah.
Sementara nabi Muhammad tidak untuk disembah tetapi hanya sebagi utusan-Nya untuk diikuti.[5]
b. Tawassul
Selanjutnya tentang tawassul (perantara), menurut Muhammad Ibn Abdul Wahab, ibadah (sembahan) merujuk pada seluruh ucapan dan tindakan lahir dan bathin, sesuai yang dikehendaki dan diperintahkan oleh Tuhan.
Dalam tulisannya beliau menyatakan bahwa meminta perlindungan kepada pohon batu dan semacamnya adalah syirik.
c. Bid‘ah
Bid’ah ialah setiap ajaran atau tindakan yang tidak didasarkan pada al-Quran, sunah Nabi Muhammad SAW, seperti:
- Memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. (maulid),
- Meminta perantara (tawassul) dari para wali,
- Membaca al-Fatihah atas nama pendiri tarekat sufi ketika berzikir setelah solat wajib,
- Mengulangi shalat lima waktu sesudah shalat jumat pada bulan Ramadhan, karena kegiatan tersebut hanya sebuah tradisi yang tidak disunahkan oleh Rasulullah, yang akan menjerumuskan kepada kemusyikan.[6]
d. Ijtihad dan Taqlid
Ijtihad dan Taqlid menurut Wahabiyah, Tuhan memerintahkan manusia untuk hanya mematuhi-Nya dan hanya mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.
Bila ada masalah/persoalan yag timbul (tentang agama) maka jawabnya diambil dari al-Quran dan hadist Nabi SAW.
Bila tidak ada pada al-Quran dan hadist, maka diambil dari ijtihad “kaum terdahulu yang shaleh”, dari sahabat dan tabi’in, ijma’para ulama yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
Sehingga memberikan keluasan terhadap ijtihad dan juga menolak percaya buta atau taqlid kepada ulama atau kelompok.
Karena menurut ajaran Wahabi hanya Al-Quran dan Hadits yang menjadi sumber pokok dari Agama Islam.[7]
Sebagaimana disebutkan di atas, dapat dikemukakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhâbm memiliki perhatian yang sangat besar kepada masalah pemurnian akidah dan pembaharuan dalam ajaran Islam.
Karena keinginan untuk memperbaiki keadaan umat Islam, sehingga ia berupaya memberantasan takhyul, bidah dan khurafat.
Gerakan pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhâb yang bersumber dari ide bahwa pintu ijtihad tetap terbuka, memberi dampak positif terhadap dinamika pembaharuan pemikiran Islam pada abad ke-19.
[]
Referensi
Anwar, Fuadi. (1996). Muhammad bin Abdul Wahab dan Gerakan Wahabi. Padang: FPIPS.
Hanafi, A. (1980). Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Nasution, Harun. (1975). Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.