E. Nuzila Syifa Khatami (Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
KH. M. Isa Anshari lahir pada tanggal 1 Juli 1916 di Agam, Maninjau, Sumatera Barat.
Isa Anshari tumbuh dalam keluarga yang kental dengan nilai-nilai Islam. Isa Anshari kecil belajar Islam bersama orang tuanya.
Selain itu, ia juga belajar di mushala. Lingkungan seperti itu sangat mempengaruhi pemikiran dan karakternya.
Saat remaja, Isa Anshari adalah anggota kelompok Islam Muhammadiyah cabang Maninjau.
Bahkan, ia juga merupakan kader Partai Islam Indonesia (PSII) di Maningjo. Isa Anshari menerima pendidikan Islam dari orang tuanya dan dikenal karena keyakinan agamanya yang taat dan tegas menentang kebohongan.
Isa Anshari memiliki keterampilan dan kinerja yang sangat baik dalam berbicara.
Bahkan, bisa dipastikan jika ia berpidato, pastinya akan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak hanya berasal dari partai politik Islam, namun juga masyarakat umum yang datang untuk mendengarkan.
Atas dasar hal tersebut, Isa Anshari diberi gelar “singa podium”.
Dilihat dari pendidikan yang diterima Isa Anshari, terlihat bahwa beliau memiliki karakter yang memanfaatkan setiap kesempatan belajar.
Misalnya saja saat di Persatuan Islam (PERSIS), Isa Anshari bertemu dengan Ahmad Hassan dan M. Natsir.
Isa Anshari memperoleh pemahaman mendalam tentang agama Islam dari Ahmed Hassan, sedangkan Issa Anshari memperoleh pemahaman tentang hukum, politik, dan kenegaraan dari temannya Nasir Nasir.
Dengan ilmunya tersebut, Isa Anshari mampu mengaplikasikan ilmunya di berbagai bidang.
Di bidang politik, Isa Anshari juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRS) dan anggota konstitusional Fraksi Masyumi.
Pada 7 Desember 1949, Isa Anshari menjadi Ketua Umum PERSIS. Di sana beliau berkonsentrasi pada kegiatan dakwah Islam dan berlanjut diimplementasikan ke dalam kancah politik.
Pada masa revolusi material, Isa Anshari menjabat sebagai direktur informasi Partai Masyumi di distrik Priyangam.
Hingga akhirnya diberi wewenang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Masyumi Jawa Barat pada tahun 1950 hingga 1954.
Setelah itu, Isa Anshari menjadi anggota Dewan Pimpinan Masyumi pada tahun 1954 sebagai anggota DPR RI pada tahun 1950 hingga 1960, dan sebagai anggota Konstituante RI.
Pengertian Negara Islam Secara Umum
Negara Islam adalah negara yang menerapkan hukum syariah sebagai landasan sistem hukum dan pemerintahannya.
Konsep negara Islam berbeda dengan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam karena negara Islam mempunyai kekhasan tersendiri dalam penerapan hukum syariah.
Hukum syariah dan sistem pemerintahannya. Hal ini mencakup segala tindakan politik yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Konsep negara Islam juga dapat merujuk pada aspek teokrasi, yang sistem pemerintahannya didasarkan pada ajaran Islam.
Mengapa Konsep Islam Harus Ada?
Konsep negara Islam penting karena mencerminkan identitas agama dan budaya mereka.
Negara-negara Islam diyakini mewujudkan nilai-nilai, prinsip-prinsip dan pandangan dunia yang berasal dari ajaran Islam.
Hal ini dapat menjadi sarana untuk menjaga dan melindungi identitas dan budaya mereka.
Negara Islam juga penting untuk penerapan hukum islam atau syariah yang dipakai sebagai landasa adil dan moral untuk mengatur dalam kehidupan sosial, ekonomi, juga politik.
Negara Islam dan Konsepsi Menurut K.H. M. Isa Anshari
Pada dasarnya negara Islam menurut K.H. M. Isa Anshari yang menekankan nilai-nilai keislaman dan ingin menonjolkan jati diri keislaman dalam penyelenggaraan negara Indonesia.
Sebab menurutnya, hanya Islam yang merupakan agama lengkap dengan segala peraturannya dan merupakan agama mayoritas di Indonesia.
Mendirikan negara Islam, atau setidaknya negara berideologi syariah, merupakan cita-cita kuat kubu Masyumi dalam mendirikan Negara Islam.
Sebab menurutnya Islam akan menjadikan kehidupan masyarakat lebih baik dan aman, serta terjaminnya hak hidup masyarakat non-Muslim.
Dalam menerapkan konsep ini, Isa Anshari mengedepankan aspek substantif, artinya beliau ingin menerapkan hubungan etis antara nilai-nilai Islam dengan konstitusi negara, secara subyektif lebih mengutamakan legalisme dan formalisme.
Pandangan ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan Pak Natsir dalam bukunya yang berjudul “Islam Sebagai Dasar Negara”, yang mana beliau berpendapat bahwa vitalitas sistem Islam harus beradaptasi dengan dinamika zaman.
Natsir juga berupaya menghidupkan kembali Negara Islam seperti Nabi Muhammad S.A.W.
Akan tetapi pada masa demokrasi parlementer, muncul beberapa konflik antar kelompok.
Ada pula yang menginginkan Indonesia mempunyai ideologi nasionalis sekuler berdasarkan negara Pancasila.
Sebaliknya, ada pula yang menginginkan negara Islam, atau setidaknya negara yang berideologi hukum Islam.
Di Masyumi, mimpi tentang Negara Islam berlimpah. KH. Isa Anshari tetap ulet bersuara membela Masyumi.
Namun sayang, keinginan mereka untuk mendirikan Negara Islam gagal. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain polarisasi bentuk dan konsep negara Islam itu sendiri.
Ada yang berpendapat bahwa sebelum negara Islam dapat didirikan, aturan dan ajaran Islam harus diwujudkan terlebih dahulu.
Kesimpulannya, konsep negara Islam menurut K.H. M Isa Anshari adalah menggabungkan antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai universal keadilan dan kemanusiaan.
[]
Referensi:
Mohammad, Herry. 2006. Tokoh-tokoh yang Berpengaruh Abad 20. Gema Insani Press.
Isa Anshary, M. 1979. Mujahid Da`wah cet. 2. Bandung : Diponegoro.
Marthias, Pandoe. 2010. Jernih melihat cermat mencatat : antologi karya jurnalistik wartawan senior Kompas. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Hamka. 2020. Kenang-kenangan Hidup. Gema Insani Press.
Syafi`I, Ahmad. 1996. Islam dan Politik :Teori Belah Bambu (Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965). Jakarta : Gema Insani Press.