Penyebab Radikalisme Dalam Agama

oleh Reporter

22 Juli 2016 | 08:44

Prof. Dr. Hamid  Bin Ahmad Al-Rifaie* Bagaimana tanggapan Islam terhadap upaya kemanusian yang dilakukan oleh Nelson Mandela, Bunda Terasa dan lainnya? Bunda Terasa telah berkontribusi terhadap orang-orang yang membutuhkan khususya di Kalkuta-India, yang tidak dilakukan oleh perempuan lain? Sebelum menjawab pertanyaan itu, jangan lupa bahwa banyak juga kaum muslimin yang berontribusi dalam misi kemanusiaan baik secara lokal, nasional dan  internasional.  Umat Islam memiliki orang besar yang berkonstribusi dalam misi kemanusian yang jarang diliput oleh media Barat, misalkan Dr. Abd al-Rahman Al-Sumait (1947-2013) adalah seorang dermawan Kuwait yang bergerak dalam misi kemanusian di 29 negara Afrika dibawah organisasi yang dipimpinya, Direct Aid. Kita harus dapat membedakan antar nilai-nilai Islam dan perbuatan yang dilakukan oleh umat Islam. Karena umat Islam tidak semuanya sama. Nilai-nilai Islam adalah tetap dan komprehensif sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Quran, bahwa kemulyaan, keadilan, kebebasan, kepentingan manusia adalah nilai Islam yang agung dan tidak pernah berubah. Al-Quran tidak mengkhususkan perilaku sebagian umat Islam sebagai sumber ajaran. Adanya kesalahan pemahaman terhadap sumber agama oleh sebagian cendikiawan atau ulama menyebabkan  kesalahan pemahaman generasi selanjutnya, karena generasi itu menerima pemahaman  dari para pendahulunya.  Kesalahan dari sebagian kecil para ulama dalam memahami teks al-Quran ketika berinteraksi dengan budaya menyebabkan kekacauan/chaos dan sikap radikalisme. Inilah salah satu penyebab utama teroris, radikal dan kejahatan atas nama sebuah agama. Kesalahan memahami teks kitab suci tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam, tetapi di kalangan penganut agama lainpun terjadi (Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dll). Misalkan radikalisme agama yang terjadi di Myamar yang dilkukan oleh pemeluk radikalisme Budha yang membunuh warga muslim yang tidak berdosa. Radikalisme agama ini tentunya tidak dilakukan oleh semua pemeluk Budha, tetapi dilakukan sebagian kecil dari mereka yang memahami teks kitab suci secara serampangan. Penulis, menyimpulkan bahwa penyebab radikalisme bermuara kepada keyakinan agama budaya, atau  berawal dari pemahaman terhadap  agama, budaya, kepercayaan, dan dogma apapun seperti  Marxisme, Kapitalisme, Sosialisme yang pasti memliki keyakinan yang akan mengakibatkan kekerasan. Penulis memandang bahwa penyebab radikalisme yang utama adalah, adany agama/dogma di sebuah kelompok kecil yang meluaskan atau mengedapankan ittiqaad/keyakinan yang merupakan kekhususan mereka dan dipaksakan keyakinan itu kepada orang lain. Alhasil, Itiqaad selain yang dipilihnya berdada dan yang berada dalam kekufuran. Hal ini terjadi juga dalam pemeluk agama dan dogma yang lain seperti dalam ajaran Marxisme. Ketika ranah itiqaad  mengalahkan ranah tasri’e/undang-undang dan ranah kemanusian maka terjadilah radikalisme. Sehingga fenomenanya  berputar dan berpusat pada masalah kufur dan iman, padahal ranah yang paling luas dalam agama termasuk Islam berkenaan dengan masalah kemanusiaan dan perundang-undanggan. Menurut pendapat saya, dalam al-Quran isinya sekitar 15 persen berbicara mengenai masalah undang-undang dan 80 persen perihal kemanuisaan. Pada saat kita mengesampingkan ranah tasrie’ dan insani daripada masalah ittiqaad maka di sinilah benih-benih radikalisme dan pentakfiran muncul. Sejatinya kita harus meletakjan ketiga ranah itu sesuai dengan fungsi dan kekhususannya. Setiap ranah seharunya tidak dicampurkan, keyakinan ada ranahnya tertentu, syariah  dan kemanusiaan juga terdapat ranah khususnya. Saat kita harus berbicara tentang kemanusiaan dengan yang lain, terdapat pembatasan dan kekhususan berkenaan dengan keyakinan yang kita tengah memasuki  kaidah ‘Laa Ikraaha Fiddien’ (tidak ada paksaan dalam memeluk agama)-tetapi seduah memeluk agama dipaksa untuk taat dan tunduk kepada keyakinannya. Sigkat kata, radikalisme akan subur, apabila kita menjauhkan diri dari ranah syariat dan kemanusian serta hanya berkonsentrasi kepada masalah ittiqaad saja. Kembali kepada soal diatas, sikap kemanusiaan Mandela dan Teresa dan Al-Sumait kita sangat menghormatinya karena telah memberikan distribusi dan contoh baik dalam perjalanan kemanusiaan.  Selain ketiga tokoh tersebut, terdapat tokoh lain yang menghabiskan kehidupannya dalam misi kemanusiaan, bahkan banyak orang-orang baik yang menghabiskan usianya untuk kemanusiaan baik itu di Rusia, Amerika dan Asia seperti di Jepang dengan Niwano Peace Foundation, yang dananya miliran dollar diperuntukkan bagi kemanusiaan. Singkatnya,  sikap segala upaya kemanusian kita mendukungnya dari mana asal dan apa itu namanya, bukankah الكلمة الحكمة ضالة المؤمن حيث وجدها جذبها. Artinya : ‘kalimat hikmah adalah sesuatu yang hilang dari mukmin, kapan saja ia ditemukan maka dia yang lebih utama memilikinya’. Hadist ini menurut para ahli, derajatnya dhoif. Tetapi dari segi isi dan tujuanya, seorang mukmin akan menerima serta mencari kebaikan dari mana dan dari siapa asalnya seiring dengan surat al-Maidah (5) ayat 8. Selanjutnya dalam menyikapi radikalisme dan takfiri yang terjadi di kalangan anak muda sebagaimana yang terjadi di Suria dan Irak. Terdapat analisa yang berbeda tentang Islam, apabila ditanya warga biasa, Islam yang mana yang benar dan yang akan dipilih? Tentunya kita tidak memilih Islam yang mana, tetapi yang dipilih adalah pemahaman Islam yang bagaimana ?. Karena di sini, sebenarnya berkaitan erat dengan pemahaman seseorang. Kita dituntut untuk membedakan Islam sebagai nilai-nilai, Kristen sebagai nilai-nilai dan begitu juga agama lainnya. Pertanyaan kita adalah, bagaimana sikap kita terhadap pemahaman kaum muslimin, karena iktilaf/perbedaan berawal dari pemahaman muslim, pemahaman orang Kristen atau pemahaman seorang Yahudi. Jadi bukan Islam yang mana kita pilih, tetapi kita akan mimilih pemahaman Islam yang mana? Kita berada di hadapan beragam orientasi dan pemahaman yang berbeda yang semua penyebnya itu berawal dari akal dan pemikiran manusia. Jadi penyebab radikalisme bukan bersumber dari Islam, tetapi berasal dari pemahaman manusia ketika berinteraksi dengan teks al-Quran atau Hadist Nabi. Bani Adam semuanya adalah mulia, bukankah seorang perempuan masuk neraka disebabkan seekor kucing : "دخلت امرأة النار في هرة ربطتها فلم تطعمها ولم تدعها تأكل من خشاش الأرض" Artinya : ‘Masuk neraka seorang wanita gara-gara seekor kucing yang diikat (sampai mati) tanpa diberi makan atau dilepaskan agar dia mencari mangsanya di luar’ (HR. Bukhori, No.3071). Mari kita lihat pokok agama secara komprehensif yang menghargai kemanusiaan. Manusia sangat mulya, maka janganlah bunuh agama dengan pemahaman kita, dan jangan lakukan pelecehan agama dengan keyakinan kita. Bagaimana kita membunuh sauadara kita sesama muslim, atau saudara kita yang berbeda agama, atau berbeda budaya yang minhaj kehidupannya berbeda dan beragam. Ini semua berkenaan dengan ijtihad, kita harus mengagungkan nilai-nilai ijtihad  karena pemahaman tetap pemahaman dan ijtihad tetap ijtihad. Pada saat sumber agama dan budaya dipahami tidak profesional oleh sebagian pemuka agama Kristen, Yahudi dan Islam maka pengamalannya juga salah. Karena mereka hanya terpusat kepada itiqaad/keyakinan dan meninggalkan sumber tasrie' dan kemanusian yang sangat luas ranahnya. Perbedaan keyakinan dengan yang lain dijadikan ranah utama maka akan berbahaya sekali, yang seharusnya kita harus membedakan antara masalah akidah dan interaksi/perilaku kehidupan, ansanah dan nilai-nila kemanusiaan. Sebagaimana terdahulu 80 persen teks al-Quran, teks Hadist dan juga dalam sumber Kristen dan Yahudi semuanya mayoritas berkenaan  tentang kemanusiaan. Bagaimana saya  menghapuskan 95 persen teks agama dan kita konsentrasi hanya terhadap  akidah yang sebenarnya adalah masalah pribadi yang sangat prinsip. Penulis beriman bahwa Allah itu satu, dan orang lain beriman bahwa Tuhan itu Trinitas, ini adalah masalah nasikh dan mansyukh kita tidak berikhtilaf pada masalah itu. Hubungan kita dengan mereka tidak berdasarkan kepada masalah keyakinan , ini urusan keyakinan lakum diinukum wa liya dien. Tetapi apa yang menyatukan kita?, yang menyatukan kita adalah ranah kemanusiaan, pemakmuran bumi, persaudaraan manusia, kemulyaan sesama, keadilan bersama, perdamain dan keamanan bersama. Sementara berkenaan keyakinan adalah ranah peribadi,  urusan/perkara masing-masing orang dan kita serahkan semuanya kepada Allah swt,  yang akan memisahkan antara  muslim dan non-muslim pada hari kiamat nanti. Wallahu A’lam.   *Ia adalah mantan dosen kimia dan pemikir Saudi yang aktif dalam forum dialog antar agama, Presiden International Islamic Forum for Dialogue (IIFD) berpusat di Irlandia, Wakil Ketua Motamar al-Alam al-Islami l The World Muslim Congress (WMC), dan penulis produktif yang telah menerbitkan lebih dari 75 buku dalam bahasa Arab dan Inggris. Diterjemahkan dan disusun ulang oleh Arip Rahman yang tinggal di Rabat-Maroko dari dialog.
Reporter: Reporter Editor: admin