Persatuan Islam Tolak Wacana Internasionalisasi Haji.

oleh Reporter

09 Maret 2018 | 09:25

JAKARTA - Munculnya propaganda tentang internasionalisasi penyelenggaraan haji dan urusan dua tanah suci Makkah dan Madinah membuat umat Islam Indonesia perlu merespon agar isu internasionalisasi tidak liar dan menjadi ancaman bagi stabilitas dua tanah suci dan wilayah sekitarnya. Pasalnya, hal tersebut akan menimbulkan problema besar, persengketaan serta perselisihan yang sangat berbahaya dan dapat memicu situasi chaos dalam pelaksanaan ibadah haji. Mantan Ketua umum Persatuan Islam (PERSIS), Prof Dr Maman Abrurrahman menyoroti wacana internasionalisasi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dari berbagai aspek. Diantaranya aspek politik. Menurutnya, jika ibadah dikaitkan dengan urusan politik, maka akan semrawut. "Kalau sudah menyangkut kesana (politik), orang itu akan berebut. Orang Indonesia mungkin akan mengaku paling berhak karena mayoritas. Termasuk orang Saudi karena keberadaan Ka'bah disana," ujar Prof Maman. Yang terpenting, kata dia, Makkah merupakan tempat untuk beribadah haji kepada Allah Swt. Guru besar Persis itu khawatir jika penyelenggaraan haji dikelola secara internasional akan banyak menimbulkan perbedaan dan gesekan yang berujung terhadap kondusifitas jamaah. "Nanti kalau sudah ada internasionalisasi kan jadi giliran. Nah, ini sangat merepotkan sekali," tukasnya. Karena itu, ia menyarankan negara yang mengusulkan wacana internasionalisasi lebih fokus kepada pengembangan ekonomi keummatan dan resolusi atas segala persoalan yang terjadi. "Sejak awal saya menolak internasionalisasi dari haramain itu," tegas alumnus Pesantren Gontor itu. Duta Besar Arab Saudi Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi menuturkan, wacana internasionalisasi merupakan konspirasi kelompok Syiah untuk menghancurkan Ka'bah. Hal itu terlihat pada tahun 300 H, kelompok Syiah membunuh 30.000 jamaah haji, merobek kiswah, membuat keonaran, dan hendak memindahkan Ka'bah ke Bahrain. "Dalam beberapa konferensi pers, mereka (Syiah) mengangkat isu internasionalisasi haji dan mengkritik daya tampung (jamaah) harus lebih banyak. Tapi bukan untuk kepentingan Islam, melainkan menghancurkan Masjidil Haram," kata Osama di rumah dinas Dubes Arab Saudi, di Menteng, Jakarta, Selasa (27/2). Osama menampik pernyataan pemerintah Iran yang mengatakan Arab Saudi tidak ada upaya untuk memerluas wilayah Masjidil Haram. Padahal, lanjut dia, APBN Arab Saudi lebih banyak dialokasikan untuk pelayanan dan pembangunan infrastruktur penyelenggaraan haji. Termasuk di wilayah Mina, Arafah, Muzdalifah, sarana transportasi, Rumah Sakit, fasilitas keamanan, dan lain-lain. Anggaran tersebut belum termasuk kompensasi bangunan di sekitar Masjidil Haram yang dihancurkan. "Hal itu kami lakukan untuk jamaah haji. Dimana ini bukan hanya untuk kepentingan Saudi, tetapi juga kepentingan seluruh umat Islam," tuturnya. "Anda bayangkan, Hajar Aswad selama 20 tahun tidak di tempatnya. Artinya, upaya untuk perluasan Al-Haram terus dilakukan secara berkelanjutan dari masa Imam Malik, Usmaniyah dan Su'udiyah," imbuh Osama. Semua pelayanan ini, simpul Osama adalah suatu kehormatan Raja Saudi untuk melayani umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Sehingga, Salman bin Abdul Aziz tidak mau disebut Raja, tetapi Khadimul Haramain (pelayan dua tanah suci). Osama menganalogikan, jika ada satu jengkal tanah Indonesia yang dirampas negara lain, tentu TNI dan rakyat akan bergerak untuk memertahankan kedaulatannya. "Maka bayangkan jika internasionalisasi dilakukan. Ini sesuatu yang tidak dapat diterima dan merupakan deklarasi perang. Kami tidak akan mundur sejengkal pun," tandasnya. Sebagai informasi, saat ini kapasitas Masjidil Haram mampu menampung lebih dari 20 juta jamaah. Selain itu, pemerintah Arab Saudi mengoperasionalkan 30.000 tentara guna mengamankan jalannya ibadah haji, 13.000 dokter operasi jantung dan kesehatan serta 75 ambulance yang berada di sekitar Masjidil Haram. Wakil Ketua Umum PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas mengatakan, pasca revolusi Khomaeini isu internasionalisasi sudah dibicarakan, namun tidak ada alasan mendasar. Sebab, Arab Saudi berupaya maksimal dalam pembangunan fasilitas dan pelayanan. "Kalau internasionalisasi dilakukan, tentu akan muncul lagi shalat Jumat empat kali dalam satu waktu yang mengikuti semua mazhab. Umat Islam di Indonesia tentu berada di belakang Saudi. Internasionalisasi penyelenggaraan haji bukan hanya persoalan Saudi, tetapi juga persoalan seluruh umat Islam di dunia," ucap Yunahar. Ketua MUI Jawa Timur Abdul Shomad Bukhori menegaskan sikapnya menolak usaha internasionalisasi pengelolaan haji di tanah suci. Ia menduga ada politisasi. Iran ingin mensyiahkan Timur Tengah khususnya dan dunia pada umumnya. "Pada (tahun) 2007 kami mengeluarkan kriteria kesesatan. Sehingga kami berani mengeluarkan fatwa bahwa Syiah sesat dan berbahaya, baik secara keagamaan maupun politik," tukasnya. Selain itu, kata Bukhori, ada 78 organisasi yang mendukung MUI Jawa Timur dalam merespon masalah nasional dan internasional. Termasuk dalam isu internasionalisasi, mayoritas organisasi di Jawa Timur menolak hal tersebut. "Kemenangan tidak terwujud jika tidak ada persatuan, persatuan tidak akan terwujud tanpa ukhuwah dan ukhuwah tidak terwujud tanpa agama," tutupnya. (/Ahmad Zuhdi).
Reporter: Reporter Editor: admin