Oleh : Ust. Drs. Uus M Ruhyat
UNTUK mengetahui bagaimana pemikiran Persis tentang demokrasi, sungguh tepat apabila kita menelaah pemikiran A. Hassan dan M. Natsir sebagai tokoh dan figur sentral dalam pemikiran dan pelaksanaan siyasah.
Demokrasi lahir dari rahim peradaban Yunani kuno yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh peradaban Barat. Pada mulanya, ide demokrasi banyak diragukan oleh kalangan filsuf di antaranya Plato dan Aristoteles. Menurut keduanya, demokrasi merupakan sistem terburuk dari semua sistem pemerintahan yang berdasarkan hukum dan yang terbaik dari semua pemerintahan yang tidak mengenal hukum.
Menurut sejarah perkembangannya, demokrasi yang stabil berlangsung pada abad ke-19, ketika institusi demokrasi perwakilan pertama kali mengakar di Amerika Serikat, kemudian berkembang di sebagian besar negara-negara Eropa Utara dan Barat, serta segelintir negara Amerika Latin.
Dengan waktu yang tidak terlalu lama, 29 dari 64 negara di dunia mengambil bentuk pemerintahan yang mirip dengan pemerintahan demokrasi.
Ternyata, ide penerapan pemerintahan demokrasi itu berkembang juga di negeri-negeri Muslim yang baru terlepas dari penjajahan, seperti Indonesia. Hal itu wajar karena umat Islam dalam suatu negeri bercita-cita hendak lepas dari penjajahan, menuju negara dan bangsa yang bebas mengemukakan pendapat, berpolitik, berserikat, dan berkumpul, serta tuntutan pemerintahan yang memiliki perwakilan dan melibatkan rakyat.
Pandangan para ulama terhadap demokrasi, ada yang menolak secara radikal dan ada yang menerima dengan selektif dan modifikatif. M Natsir pernah mengatakan, “Islam bersifat demokratis”.
Dalam arti, Islam anti-istibdad, antiabsolutisme, antisewenang-wenang. Oleh karena itu, pengertian demokrasi dalam Islam memberikan hak kepada rakyat supaya mengkritisi pemerintahan. Ia juga mengatakan, Islam hanya mungkin berhasil dalam sistem demokratis.
Dengan pandangan seperti itu, berarti M. Natsir mengakui, demokrasi dan Islam ada kesamaan dan perbedaan. Ini karena sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada mekanisme demokrasi atau keputusan dewan perwakilan, mengingat ada hal-hal yang merupakan prinsip yang tidak boleh digugat oleh keputusan manusia, seperti mempersoalkan babi haram, judi, perzinaan, dan sebagainya.
Menurut dia, Islam tidak usah demokrasi seratus persen bukan pada otokrasi seratus persen. Islam adalah Islam. Islam adalah sintesis antara demokrasi dan otokrasi. Hal itu disebabkan politik dalam Islam tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada kemauan mayoritas parlemen.
Keputusan itu tidak dapat melampaui batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan. Oleh karena itu, hal-hal yang sudah prinsip dalam Islam tidak mesti diserahkan dengan keputusan mayoritas manusia, atau dengan sistem undian separuh tambah satu suara.
Pandangan dia tentang konsep ini dikemukakan pada pidato dalam Sidang Konstituante 1957.
Dia memperkenalkan demokrasi dalam Islam dengan istilah theistic democracy, yaitu demokrasi yang berlandasan nilai-nilai ketuhanan. Maksudnya, keputusan mayoritas rakyat yang berpedoman kepada ketuhanan atau dengan kata lain kebebasan yang dibatasi oleh syariat.
Berdasarkan pandangan dia, keputusan rakyat yang berpedoman pada nilai-nilai ketuhanan dapat dianggap sebagai ijma` kaum Muslimin yang mengikat untuk tempat dengan zaman tertentu. Oleh karena itu, dia meyakini, prinsip-prinsip Islam tentang syura (musyawarah) lebih dekat kepada rumusan-rumusan demokrasi modern, dengan meletakkan prinsip-prinsip hudud (batas-batas) dan etik keagamaan sebagai panduan dalam mengambil keputusan.
Dengan demikian, M. Natsir dalam hal ini menyamakan syura (musyawarah) dengan demokrasi.
A. Hassan menyatakan dalam bukunya Islam dan Kebangsaan, Pemerintahan Cara Islam, Islamlah yang lebih dahulu mempraktikkan prinsip-prinsip demokrasi bukan negara-negara Eropa, dengan dalil Nabi Muhammad saw., telah mendidik umatnya bersikap demokrat. Hal itu bisa dilihat dari perkataan Abu Bakar Shidiq dan Umar bin Khattab ketika terpilih menjadi khalifah.
Dalam khutbahnya, Abu Bakar mengatakan, “Wahai manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, tetapi bukanlah aku yang terbaik di antara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan baik bantulah, dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku….”
Seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab mengatakan dalam khutbahnya, “Barang siapa di antara kalian melihat ketidakbenaran dalam diriku maka hendaklah dia meluruskannya….”
Selanjutnya, menurut A. Hasan, sikap seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab tersebut menjadikan syariat (Al-Quran dan Sunnah Nabi) dan demokrasi atau “rembukan dengan rakyat” dalam bahasa A. Hassan sebagai dasar dari pemerintahan Islam.
Dalam pandangan A. Hassan, demokrasi yang mengandung prinsip kebebasan, persamaan, dan keadilan tidaklah bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, prinsip demokrasi ini tidak berdiri sendiri, harus dibarengi atau dibatasi hukum-hukum yang tertera dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Sama halnya dengan pandangan M. Natsir sebelumnya.
Walaupun dalam sistem demokrasi banyak kekurangannya, pada umumnya, kedua tokoh tersebut menerima demokrasi sebagai sistem politik yang menghargai nilai-nilai kebebasan, persamaan, dan keadilan yang sesuai dengan ajaran Islam dan praktik Nabi dan sahabatnya.
Kecenderungan penerimaan konsep demokrasi pada pemikirannya hanya dipandang sebagai suatu “cara” dan bukan tujuan dalam pengertian mendukung “kedaulatan rakyat secara mutlak” karena suara rakyat tidak boleh melangkahi syariat. Tepatnya, demokrasi sebagai “cara” untuk mencapai tujuan, yakni terlaksananya syariat Islam.
Oleh karena itu, gagasan demokrasi menurut mereka bersifat demokrasi teokrasi. Disebut teokrasi karena demokrasi harus didasarkan pada syariat yang merupakan basis bagi konstitusi negara dan mengikatnya secara moral. Disebut demokrasi karena rakyat menikmati hak untuk terlibat dalam segala aspek dalam proses menjalankan urusan-urusan negara. (*)