Siapakah yang mempengaruhi pemikiran keagamaan para ulama Persis? untuk menjawab pertanyaan ini tidak perlu penelitian yang mendalam, tengok saja perpustakaan, rujukan dan kitab apa yang diajarkan di lingkungan pesantren Persis. Menurut informasi Tamar Djaja, ada beberapa kitab yang mempengaruhi pemikiran A. Hassan antara lain Zadul Ma’ad karya Ibnu Qayyim, Nailur Authar karya as-Syaukani dan Fath al-Bari karya Ibnu Hazar al-Asqalani.. Dalam bacaan penulis selain ulama tersebut, para tokoh Persis sangat dipengaruhi para ulama mujaddid yang terkenal dengan slogan arruju ilal qur’an dan sunnah.
Sispakah mereka? Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad Abdul Wahhab, asy-Syahibi, As-Syaukani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
Pengaruh Ibnu Taimiyah (pada mulanya memang) hanya terbatas pada murid-murid yang terdekat seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Kasir dan Imam az-Dzahabi dan tidak meluas menjadi suatu gerakan. Akan tetapi, dalam jangka panjang, ia meresap ke dalam tubuh intelegensia keagamaan dan pada abad ke-12 H/18 M. Gerakan Wahabilah yang merupakan satu-satunya manifestasi, atau manifestasi yang paling terorganisir, dari pemikiran-pemikirannya. Muhammad Abdul Wahhab pemikirannya selalu diidentikan dengan Ibnu Taimiyah terutama dalam hal pembaharuan aqidah yang puritan.
Pada mulanya memang gerakan Wahabilah yang menyebarkan ajaran Ibnu Taimiyah ke seluruh dunia Islam tetapi kemudianpada abad ke-19, gerakan Sanusi di Libia dan ‘Padri’ di Sumatera Barat semuanya mencerminkan program Ibnu Taimiyah yang diterima lewat para wahhabiyyun namun apabila kita telusuri secara mendalam gerakan Wahabi tidak sepenuhnya merupakan duplikat pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah. Paling sedikit terdapat dua macam perbedaan antara sikap Ibnu Taimiyah dengan ciri khas gerakan Wahabi. Pertama, jika Taimiyah menyerang sufisme, maka serangannya tidak bersifat frontal berhubung ada segi-segi sufisme yang diakomodasi oleh Ibnu Taimiyah. Sebaliknya, gerakan Wahabiah menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun harus kita akui bahwa berkat jasa kamu Wahabilah pembabatan bid’ah, khurafat, dann takhayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara mengesankan. Perbedaan kedua adalah anti rasionalisme Wahabiah yang terlampau berlebihan. Ibnu Taimiyah juga melakukan kritik tajam terhadap rasionalisme, akan tetapi kritiknya itu tidak berakibat memojokkan penalaran rasional terhadap usaha perbaikan dalam berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Titik tekan kiritik ibnu Taimiyah terhadfap tasawuf yang dianggapnya sesat yakni tasawuf falsafi dan kaum rasionalis yang menabrak aqidah yang sudah keluar dari ushul sebagaimana kritik al-Ghazali terhadap filsafat
Selain yang telah disebutkan, sesungguhnya masih ada beberapa perbedaan antara Wahabi dengan Ibnu Taimiyah. Tindakan-tindakan kekerasan, terutama melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, seperti pernah dilakukan gerakan Wahabi terhadap pemerintahan Turki Usmani sekitar tahun 1813-1815, merupakan tindakan yang bertolakbelakang dengan dasar-dasar pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak membenarkan melakukan tindakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah betapun lalim dan rusaknya pemerintahan yang sah tersebut. Namun, bahwa gerakan Wahabi memiliki peranan amat penting bagi tumbuh subur dan berkembangnya gerakan tajdid dan ijtihad Ibnu Taimiyah ke berbagai dunia Islam, termasuk di dalamnya sebagian umat Islam Indonesia, agaknya memang telah diakui oleh para ahli sejarah pergerakan Islam.
Pengaruh pemikiran tajdid Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya Ibnu Qayyim dan Ibnu Katsir begitu kuat di kalangan para tokoh Persis, bagi A. Hassan. Setidaknya dalam perpustakaan ulama-ulama Persis karya mereka pasti ditemukan, bukan sekedar dipajang tapi rujukan utama. Kitab Majmu al-Fatawa dan Iqatidha Shiratim mustaqim akrab dibaca para ulama kita, penulis mengenali karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dengan Zad al-Ma’ad nya, Ibnu kasir dengan tafsir al-qur’an al-Adzim nya dari kajian bahsul kutub para asatidz di Pajagalan.
Selanjutnya ada sosok Ibnu Hajar dan Imam as-Syaukani termasuk ulama yang karyanya akrab dengan ulama Persis. Penulis selalu melihat kitab Fathul Bari dan Nailur Authar menjadi bacaan paforit ulama kita termasuk dikalangan muda Persis tidak lengkap literaturnya kalau tidak merujuk kitab ini. Di madrasah tahzibul waiyyah ustadz usman shalehudin dan di madrasah ustadz Ikin Shadikin kitab ini terus dikaji tidak pernah bosan.
Bagi Persis bulugh maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani seakan dijadikan kitab fiqh yang utama wallaupun sejatinya kitab ini dikatagorikan kitab hadis ahkam, namun dari kitab inilah fiqhul hadis yang menjadi ciri khas Persis terbentuk. Sosos Ibnu Hazar al-Asqalni (bukan Ibnu Hazar al-Haitami) tidak asing dikalangan penggiat hadis. Dengan kitab inlah A, Hassan memberikan terjemah dan syarahnya sehingga kitab ini akrab di masyarakat Indonesia, bahkan sampai sekarang banyak yang menterjemahkan ulang lagi
Kepakaran al Hafizh Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Bahkan sampai sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya beliau Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain. Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian). Seandainya kitab beliau hanya Fathul Bari, cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan keagungan kedudukan beliau. Karena kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah "Tidak ada kitab syarah shahih Bukhari yang melebihi Fath Al-Bari," kata Asy-Syaukani. Ibnu hajar walaupun beliau secara formal bermazhab syafii sebagaimana Ibnu kasir, namun ulama Persis melihat dari sisi pemikirannya mencerminkan ulama atau mujtahid yang independen dan berani berbeda dengan ulama mazhab yang dianutnya
Sementara as-Syaukani yang lengkapnya Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani dilahirkan pada hari Senin tanggal 28 Dzulqaidah 1173 H. Beliau besar di Shan’a (ibukota Yaman-pent), ayahnya seorang qadhi (hakim). Menghafal Al-Qur’an (sejak kecil) dan sejumlah ringkasan matan dari berbagai disiplin ilmu. Belajar dari para ulama yang ada di Shan’a sehingga bisa mengungguli semua rekannya. Tidak pernah melakukan perjalanan jauh (untuk belajar) karena tidak mendapatkan izin dari orang tuanya. Beliau memadukan antara belajar dan mengajar ketika belajar pada sejumlah syekhnya. Setelah itu beliau fokus untuk mengajar setelah menggali dan mengkaji semua yang ada pada guru-gurunya.
Dalam sehari beliau mengajar lebih dari sepuluh kajian dengan berbagai disiplin ilmu. Beliau menjadi seorang mufti(pemberi fatwa) pada usia dua puluh tahun. Banyak permintaan fatwa yang datang kepadanya berasal dari luar Shan’a padahal guru-gurunya saat itu masih hidup. Karena kecerdasannya beliau pernah mempelajari ilmu matematika, fisika, psikologi dan etika debat tanpa guru, tetapi dengan cara mengkaji dan membaca (otodidak). Beliau meninggalkan taklid dan membuangnya kemudian mengajak kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Ciri-ciri yang demikian itu terlihat pada karya-karyanya. Beliau memerangi bid’ah dan segala bentuk kesyirikan, mengajak untuk meninggalkan ilmu filsafat dan ilmu kalam, untuk kembali kepada aqidah salaf yang shahih.
Banyak sekali karya tulis yang telah beliau hasilkan, mayoritas dari kitab tersebut telah tersebar di masa hidup beliau sehingga menjadi tumpuan. Di antaranya terdapat 240 buku masih berbentuk manuskrif belum melihat cahaya (belum diterbitkan dalam bentuk kitab). Ada 3 Kitab yang akrab dan mempengaruhi nalar fiqh Persis adalah Nailul Authar Syarah Muntaqal Akhbar (4 jilid) dalam tafsir Fathul Qadir al-Jami’ baina Fann ar-Riwayat wad Dirayat fit Tafsir (5 jilid) dan dalam ushul fiqh Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul (1 jilid).
Selanjutnya para ulama modern yang mempengaruhi pemikiran keagamaan para tokoh Persis adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad rasyid Ridha. Syekh Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H. Beliau adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Beliau belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamal al-Din al-Afghani, seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.
Pemikiran Abduh antara lain adalah mengenai pembagian dua macam syariah yaitu qath’i (pasti penunjukanannya) dan zhanni (tidak pasti penunjukannya). Hukum syariah jenis pertama tadi merupakan hal yang wajib diketahui dan diamalkan tanpa interpretasi, karena ia jelas tersebut dalam Al-Quran dan sunnah Rasul. Sedangkan hukum syariah jenis kedua datang dengan tunjukan nash dan ijma’ yang tidak pasti. Hukum jenis kedua inilah yang menjadi lapangan ijtihad bagi para mujtahid. Dalam konteks ini, ijtihad yang dimaksudkan Abduh begitu jelas bahwa berbeda pendapat baginya adalah sesuatu yang wajar dan merupakan tabiat manusia. Tetapi yang salah adalah ketika perbedaan pendapat itu dijadikan tempat berhukum dengan tunduk pada pendapat tertentu tanpa berani mengkritik dan mengajukan pendapat lain. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam menyikapi hal tersebut adalah kembali kepada sumber aslinya yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Abduh juga terkenal sebagai tokoh yang menolak taqlid serta penyerang kebiasaan taqlid yang berkembang di masanya. Ia mengkritik para sarjana yang ketika itu sangat setia kepadamazhab yang dianutnya dan minim sekali kemauannya untuk melihat hukum kepada sumber Islam yang asli yaitu Al Quran dan Sunnah.
Dalam hal pendidikan, Abduh menginginkan umat Islam bangkit dari keterpurukan dengan memperbaiki bentuk pendidikan antara lain dalam hal kurikulum, metode pengajaran, dan pemberian pendidikan kepada wanita. Dalam bidang pendidikan formal, Abduh menekankan pada pemberian pengetahuan pokok yang berisi tentang pemahaman akidah, fiqih, sejarah Islam, akhlaq, dan bahasa.
Pemikiran Abduh begitu banyak mempengaruhi A. Hassan, Muhammad Nasir dan Isa Anshari, bahkan dapat dikatakan hampir sama. Sebagai contoh misalnya pemikiran Ahmad hassan mengenai dasar hukum Islam. Menurut A Hassan , dasar pokok hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Jika dari keduanya tidak ditemukan kaidah hukum yang eksplisit maka ditentukan berdasarkan istidlal seperti penggunaan qiyas, Istishab dan maslahah mursalah.
Tafsir al-Manar karya Abduh yang disusun oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha menjadi bacaan tafsir yang khatam dibaca A. Hassan, penulis melihatnya langsung bagaimana catatan tangan A. Hassan dalam perpustakaan pribadinya di pesantren Persis Bangil masih tampak dan bisa dipastikan A. Hassan membacanya secara serius dan setia ppoint terpenting ada catatan dan komentar. Selanjutnya yang mempengaruhi pemikiran keagamaan Persis adalah Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qalmuni, al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Beliau dilahirkan pada tanggal 27-5-1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M di sebuah desa bernama Qalmun, sebelah selatan kota Tharablas (Tripoli), Syam. Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha nasabnya sampai kepada Ahlul Bait dan masih memiliki pertalian darah dengan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.
Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia. Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaharuan di berbagai wilayah dunia Islam. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya.
Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha, antara lain, dalam bidang agama, pendidikan, dan politik. Di bidang agama, Rasyid Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat. Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan Sunah.
Ia membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Menurutnya, masalah yang pertama, Alquran dan hadis harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Di bidang pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia banyak mengimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di Kairo pada 1912 yang diberi nama Madrasah Ad-Da'wah wa Al-Irsyad.
Dalam bidang politik, Rasyid Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, ia banyak melihat penyebab kemunduran Islam, antara lain, karena perpecahan yang terjadi di kalangan mereka sendiri. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin. Dia menganjurkan pembentukan organisasi Al-jami'ah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) di bawah naungan khalifah. Tidak menutup kemungkinan penamaan jaimiyyah Persis dengan persatuan Islam terinspirasi faktor ide Abduh dan Rasyid disamping faktor internal umat Islam di Indonesia perlu adanya persatuan dalam politik dan aqidah.
Masih adakah jaringan ulama pembaharu lainnya yang mempengaruhi pemikiran ulama persis? Tentu masih ada antara lain imam as-Syatibi dengan al-Itisham nya, as-shon’ani dengan subulus salam nya, Ibnu Jauzi dengan al-maudhu’at nya, Ahmadf Syakir dengan umadah nya dan pemikir modernis lainnya dari Indo Pakistan seperi Muhammad Iqbal, Nadwi dan Maududi para tokoh Persis mengapresiasinya.
Bersambung Insya Allah,,,,,
Penulis: Dr. Latief Awaludin.
Ciganitri, 24 januari 2018.