Pesantren Persis Abu Hurairah Hari Ini

oleh Reporter

23 Mei 2018 | 09:55

Hal lain yang menjadi keunggulan dakwah Persis di Sapeken adalah keberadaan Pesantren Persis Abu Hurairah. Meski tidak bernomor resmi dari PP. Persis, tetapi nama pesantren ini adalah Pesantren Persis, seperti halnya Pesantren Persis Bangil yang menjadi induknya. Pesantren Persis Abu Hurairah berdiri sejak tahun 1976 dan merupakan lembaga pendidikan Islam pertama di Kepulauan Sapeken. Sampai usianya yang ke-43 tahun saat ini, Pesantren Persis Abu Hurairah telah banyak melahirkan para alumni yang tersebar ke seluruh pelosok nusantara. Pesantren juga memiliki peran di tengah-tengah umat sebagai ujung tombak perubahan di kepulauan Sapeken, meski dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. 

Pesantren Persis Abu Hurairah berada pada dua lokasi, yaitu MTs dan MA yang terletak berdampingan dengan Masjid Agung, terdiri dari satu gedung sarana sekolah dua lantai, lengkap dengan asramanya. Sementara lokasi yang kedua di tempat yang tidak terlalu jauh dari lokasi pertama untuk jenjang RA, TK dan SDIT. Untuk tingkat MTs dan MA, pada tahun 2018 ini seluruh santrinya berjumlah 83 orang laki-laki dan 103 orang perempuan, dengan asatidz sebanyak 41 orang. Termasuk dua orang mahasiswi dari STAI Persis Garut yang sedang pengabdian di sana, yakni Nur Annisa Destiani dan Novi Laily Kurniawati. Berdasarkan penuturan alumninya, dalam empat tahun terakhir ini memang ada penurunan jumlah santri. Padahal pada angkatan 2012 silam lulusan kelas 3 MA-nya saja sampai 150 santri lebih. Salah satu penyebabnya adalah karena di pulau-pulau lain sudah mulai didirikan pesantren-pesantren, sehingga tidak semua anak didik di berbagai pulau itu mesantren di Abu Hurairah lagi.

Kedisiplinan yang diterapkan di Pesantren Abu Hurairah cukup ketat. Pada selasa pagi, penulis sempat berkeliling pesantren. Penulis sempat keheranan menemukan sekitar 20 orang santri pria berada di luar kelas, tepatnya di halaman pesantren, sedang bersama-sama menghafalkan hafalan yang ditugaskan. Padahal pada hari itu sedang ada ujian akhir tahun. Ketika penulis tanya kepada para asatidz, ternyata alasannya sebagai hukuman, karena mereka tidak shalat tahajjud dan kesiangan shalat shubuh berjama’ah. Maka mereka diberi hukuman “dijemur” dahulu sambil menghafalkan tugas hafalan dan ujiannya siang hari selepas jadwal resmi. Ustadz Dailami sendiri menegaskan, jangankan santrinya, Ustadznya saja jika ada yang terrlambat datang 3 menit dari waktu seharusnya, seluruh santri diperintahkan untuk mendorong Ustadz tersebut keluar dari kelas dan jangan masuk.

Sebagaimana lumrahnya pesantren tradisional, Pesantren Abu Hurairah juga sangat mengandalkan swadaya dari masyarakat sekitarnya. Sebab dari dialog penulis dengan dua mahasiswi STAI Persis Garut yang sedang pengabdian di sana, iuran SPP bulanan tingkat Tsanawiyyah hanya Rp. 15.000,-, sementara tingkat Aliyah hanya Rp. 20.000,-. Itu pun konon masih memberatkan orangtua santri yang umumnya menjadi nelayan. Bagi orangtua yang mampu mengeluarkan biaya berlebih untuk sekolah anaknya, rata-rata tidak memasukkan anaknya ke Pesantren Abu Hurairah, melainkan ke pesantren-pesantren di Jawa atau Sulawesi. Jadi yang mesantren di Abu Hurairah umumnya memang dari kalangan bawah. Penulis tidak menelisik lebih jauh apakah ada subsidi dari Kementerian Agama atau tidak, meski tampaknya tidak ada. Hal inilah yang meninggalkan kesan di penulis perihal bangunan pesantren, yang hemat penulis jika diukurkan pada standar yang ada di Bandung—mohon maaf—kurang representatif untuk dijadikan sarana belajar yang ideal. Melalui tulisan ini penulis mengetuk para alumni Pesantren Abu Hurairah di seluruh pelosok nusantara untuk sedikit memperhatikan Pesantren ini, demikian juga para aghniya di jam’iyyah Persis. Sebab Pesantren Persis Abu Hurairah ini ibarat jantungnya bagi dakwah Persis di Sapeken. Harus terus dirawat dan bahkan ditingkatkan sarana prasarananya agar lebih maksimal lagi dalam menunjang dakwah Persis di Kepulauan Sapeken. (/NS)

 

Reporter: Reporter Editor: admin