Penulis: Ilham Habiburohman S.H
(Anggota Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum PP Persis)
Direstuinya anak beserta menantu dari Presiden Joko Widodo; Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution ataupun putri dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin; Siti Nur Azizah untuk maju menjadi calon Pejabat daerah pada Pilkada yang akan diselenggarakan akhir tahun 2020, membuat publik gaduh dengan munculnya kembali perdebatan mengenai ‘Politik Dinasti’.
Padahal bukan satu hal yang baru, sebab dalam setiap rezim yang berkuasa politik dinasti acapkali terjadi. Era Soeharto misalnya, yang mengangkat putri sulungnya ‘Mbak Tutut’ menjadi menteri, megawati yang mempertahankan clan-nya di partai banteng, hal yang serupa juga dilakukan SBY dengan mempercayakan Posisi strategis pada Putranya Agus Harimurti Yudhoyono di Partai Demokrat menjadi rentetan panjang pengaruh ‘orang dalam’ yang masih tumbuh sumbur di Indonesia.
Bahkan bukan hanya tingkat nasional, semangat desentralisasi kekuasaan atau optimalisasi fungsi otonomi daerah membuat jabatan daerah menjadi hal yang menggiurkan untuk di eksploitasi, misalnya dinasti Atut Chosiyah di Banten, dinasti Bangkalan di Madura, Rita Widyasari di Kutai Kartanegara yang menggantikan ayahnya, dan masih banyak lagi. Praktik politik dinasti semakin subur setelah MK pada 8 juli 2015 membatalkan pasal 7 huruf (r) Undang-Undang No. 8 tahun 2015 tentang pilkada, yang menerangkan, syarat calon kepala daerah tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
Barangkali inilah yang disebut oleh Walter Annenberg bahwa ‘kekuatan terbesar bukanlah kekuasaan uang, namun kekuasaan politik’ sehingga acapkali aturan, etika dan moral di-bypass dengan memanfaatkan kepopuleran, untuk melanggengkan kekuasaan sekalipun bukan dengan orang yang sama namun memiliki keterikatan darah, persaudaraan ataupun perkawinan. Adapula adagium yang sangat populer pernah di ucapkan mantan presiden Amerika; Abraham Lincoln, bahwa jika ingin menguji karakter seseorang maka berilah ia kekuasaan’. Histori ‘politik dinasti’ yang masih menjamur menjadi bukti bahwa kekuasaan merupakan suatu yang menggiurkan untuk dipertahankan.
Menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah bangsa kita tidak memiliki ketegasan hukum ? atau hukum dibentuk untuk mengakomodir kepentingan sebagian individu? atau hukum itu eksis namun nihil dari nilai moral dan etik, atau sebaliknya; ‘politik dinasti’ layak dan lazim untuk dibenarkan?. mengapa pertanyaan seperti ini muncul, kenapa diksi etik dan moral mesti disandingkan dengan politik?. Sejatinya Etika memberikan dasar moral kepada politik. Menghilangkan etika dari kehidupan politik berimplikasi pada praktek politik yang bersifat machavellistis, yaitu politik hanya sebagai alat untuk melakukan segala sesuatu, baik dan buruk tanpa mengindahkan kesusliaan, norma dan berlaku seakan bernuansa positivistik (bebas nilai).
Kesadaran akan tanggung jawab moral dikesampingkan demi sebuah jabatan. sepertinya gaungan untuk membumikan nilai-nilai pancasila yang bercita-cita menghadirkan keadilan dan manusia yang beradab hanya sepanjang satu kali nafas, tak lebih. Acapkali pancasila hanya digunakan sebagai palu godam untuk meng-gebuk dan meminggirkan pihak-pihak yang tidak senang, kritis dan mengganggu kenyamanan penguasa.
Sekilas memang tidak ada yang salah, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Namun Hukum tidak berdiri sendiri, ada batas nilai tersirat yang mesti disadari dan dipatuhi secara bersama. Etika secara teori lahir dengan munculnya akan tragedi berupa kekacauan yang berlangsung baik level Individu, kelompok, dunia atau bahkan alam semesta. Etika akan terus relevan pada setiap zaman karena kehidupan manusia terus menerus ditandai oleh pertarungan antara baik dan buruk.
Etika mendasarkan diri pada rasio untuk menentukan kualitas moral kebajikan, maka disebut juga sistem filsafat yang mempertanyakan praksis manusia berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajibannya. Sehingga hukum tidak bebas nilai, ia menopang etika dan moral untuk sebuah tujuan yang bisa disebut seperti yang diistilahkan aristoteles sebagai eudemoni atau kebahagiaan.
Secara umum pejabat publik atau “public office” diartikan sebagai ‘A position or occupation established by law or by act of goverment body, for the purpose of exercising the authority of the goverment in the service of the public’. Disebut sebagai pejabat publik ditinjau dari sejauh mana kewenangan yang ia miliki dan kekuatan legitimasi hukumnya.
Politik melekat pada pejabat publik, sehingga pejabat publik pun terikat oleh etika, ketika pejabat publik tidak mengindahkan nilai tersebut, maka berdampak buruk pada kebiasaan-kebiasaan bernegara, kepercayaan masyarakat, kurangnya kapabilitas dan ancaman penyalahgunaan kekuasaan. Siapa yang berwenang menilai pejabat publik telah memenuhi nilai etika?. Tentu yang paling mendasar adalah tanggung jawab moral nya, karena menjadi pejabat publik bukan hanya soal tanggung jawab tugas, bersamaan dengannya ada kepantasan dan kepatutan yang mesti di jaga dan menjadi contoh.
Jika scope-nya diperluas berkaitan dengan etika pejabat publik, ternyata bukan hanya soal politik dinasti, contoh kasus; Mantan Hakim MK yang dikemudian hari menjadi menjadi Menteri, begitupula Mantan Kaporli yang baru saja lengser dilantik menjadi menteri, atau dwifungsi ABRI yang melibatkan pimpinan TNI memangku kebijakan sipil dengan dalih ikut mengatasi krisis kesehatan dan masih banyak lagi. Secara konstitusi merupakan hak yang dilindungi dan dibenarkan, namun secara etika jauh dari nilai kepantasan dan kepatutan. Kepantasan dan kepatutan bisa hadir dari trauma masa lalu, kebiasaan bernegara, aspek sosial dan budaya, bahkan agama.
Di Korea selatan misalnya, ketika seseorang menjadi hakim, temannya akan mengatakan, “kita tidak bisa bertemu lagi selain di tempat pernikahan”, artinya integritas dan martabatnya benar-benar dijaga, menjauhi fitnah, agar masyarakat yakin bahwa ia menjalankan tugas jabatannya bukan untuk sebagian pihak apalagi kehendak politik praktis.
Jauh di masa lalu Rasulullah sebagai role model hidup bukan hanya diutus sebagai Nabi namun juga bertugas dan bertanggung jawab sebagai kepala pemerintahan yang menjadi konsekuensi logis bahwa pejabat publik mesti memberi uswah; contoh, agar masyarakat bisa memegang ucapannya; sehingga menghadirkan keharmonisan dan ketaatan, sebagaimana janji Allah :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau penduduk kota-kota beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Taqwa diartikan juga sebagai perilaku berhati-hati, menjaga diri dari segala hal yang dilarang oleh Allah, dan mematuhi perintah-Nya. Pejabat yang taqwa akan menjadi rahmat bagi negeri. Sebaliknya, jika pejabat tidak bersikap hati-hati atau bertaqwa maka bisa menjadi laknat dan musibah. Jika di analogikan dengan ilmu jarh wa Ta’dil (Ilmu tentang menilai perawi hadis), seorang perawi hadis yang diragukan ‘adalah atau keadilannya, bisa menyebabkan riwayat hadis yang ia sampaikan tertolak atau derajatnya lemah. ‘adalah disini bukan hanya berkaitan dengan kecerdasan dan kepintaran namun termasuk didalamnya keseharian atau moralitas yang terjaga.
Etika dan moral adalah dua hal yang didasari atas kebiasaan dan kesepakatan bersama. Kebaikan menjaga nilai tersebut bukan hanya menjadi keharmonisan namun juga mengangkat martabat dan pribadi yang menjaganya. Derajat yang lebih tinggi dari kedua nilai tersebut disebut Akhlaq, yakni penilaian baik dan buruk berdasar pada aturan Qur’an dan Sunnah; untuk membentuknya butuh pendidikan dan latihan, bukan hanya dengan kata-kata dan perilaku indah yang menyenangkan orang, melainkan harus didasari atas keikhlasan. Jika tidak demikian, akhlaq tersebut hanya akan menjadi tipuan dan rayuan yang berbahaya. Wallahu a’lam bisshawaab