Reaktulisasi Konsep Pelarangan Kemunkaran

oleh Reporter

10 April 2018 | 15:03

Salah satu ciri umat Islam dinyatakan sebagai umat terbaik adalah karena umat ini memiliki kewajiban risalah dakwah – amar ma’ruf dan nahi munkar- yang tidak dimiliki oleh umat lainnya (QS-3 :104). Barometer keimanan seseorang dalam Islam diukur berdasarkan kepada keimanan dan ketaqwaan hanya kepada Allah SWT, antara lain terutama dengan menjalankan kewajiban risalah dakwah tersebut (QS- 49 : 13). Berbeda dengan Yahudi yang mendeklarasikan dirinya sebagai bangsa pilihan karena mereka berasal dari keturunan utama para Nabi yang diutus ke dunia.

Tentunya seseorang akan menjadi muslim paripurna apabila selalu menjalankan risalah dakwah diatas, bukan hanya untuk kepentingan individu tetapi juga bagi kepentingan kolektif. Namun seorang muslim juga harus memiliki perhatian dan sensitif tinggi kepada sesama unat, untuk saling menasehati dan bersabar dalam ketaqwaan, guna meningkatkan dan menjewantahkan perbaikan mutu kesabaran dan ketaqwaan sesama umat tetap terjaga.

Kalau kita cermati beberapa kandungan ayat suci Al-Quran terutama yang berkaitan dengan topik kali ini, Allah SWT memuji para pelaku penegak risalah dimaksud, dan sebaliknya Dia mencela orang-orang yang tidak mengindahkan anjurannya. Allah SWT berfirman, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka selalu durhaka dan melampuai batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu” (QS – 4 : 78-79).

Semua yang dibenci dan diharamkan syari’at adalah kemunkaran. Berkenaan dengan pelarangan kemunkaran, penulis memandang perlunya reaktulisasi pemahaman dan konsep tersebut, terutama berkaitan dengan pemahaman konsep nahi-munkar yang terdapat dalam sebuah hadist yang cukup populer di kalangan masyarakat muslim, berbunyi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ،فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ .

Artinya : “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemunkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, maka barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan tangannya) hendaklah ia mengubah dengan ucapannya, dan barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan ucapnya) maka hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (HR. Muslim).

Ketidaktepatan pemahaman hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini terjadi di kalangan umum yang memandang bahwa pengubahan kemunkaran merupakan kewajiban setiap muslim sesuai dengan tartib dan urutan teks hadist, yaitu : tangan, lisan dan hati. Ringkasnya, setiap muslim hendaknya berupaya semaksimal mungkin untuk menghentikan kemunkaran dengan tangannya. Apabila tidak mampu dengan tangan, maka dengan lisannya dan apabila tidak mampu juga, maka cukuplah hati kita mengingkari dan menolaknya, bukan justru mendukungnya.

Memang perintah amar ma’ruf nahi-munkar hukumnya Wajib al-Ain. Tetapi pemahaman tersebut, tampaknya perlu dikaji ulang karena terdapat kesalahan pada saat mengamalkannya hadist ini, walaupun niat awalnya benar. Namun tidak semua niat yang benar membuahkan hasil yang benar dan diterima di sisi-Nya. Misalkan dengan berlandaskan hadist ini, sekelompok melihat pusat tempat kemunkaran kemudian mereka melakukan sweeping dengan membawa bermacam senjata tajam, lalu menghancurkan tempat tersebut dengan kekuatan tangan–perubahan dilakukan dengan tangan sesuai tartib teks hadist-.

Kejadian dimaksud harus dibayar mahal karena selain menyebabkan anarkhi sehingga menelan korban dan stabilitas negara terganggu seperti yang dilakukan oleh beberapa oknum kelompok tertentu. Payahnya, disamping mencoreng reputasi umat terutama pasca peiliputan media lokal maupun internasional pada saat anarkhi yang sering memojokkan, sekilas terkesan seolah-olah umat Islam dipandnag lebih mengutamakan jalan kekerasan dalam pengampaian sasaran dan tujuannya.

Maka untuk menghindari hal yang tidak diharapkan, seyogyanya bentuk perintah dari hadist diatas adalah untuk -مِنْكُمْ- diantara kalian- yaitu penkhususan. Contohnya, barang siapa diantara kalian melihat orang sakit, maka obatilah – tentunya setelah ada arahan dan anjuran dari dokter. Atau barang siapa yang melihat mobil melaju kencang melebihi batasan kecapatan yang ditentukan, maka polisi berkewajiban menghentikan aksi tersebut. Mungkin salah satu syarat penerapan hadist ini adalah hendaknya seseorang memiliki kemampuan untuk melarang kemunkaran dengan ketiga media tersebut. Jadi tidak semua orang dapat menerapkan hadist diatas sekehendak hati dalam ber-nahi munkar.

Tangan lebih kuat daripada lisan, lisan lebih kuat daripada hati, tampaknya tidak selalu tepat dengan kenyataan. Padahal yang namanya keimanan sejatinya bersemayan dalam hati dan refleksinya dalam perbuatan anggota tubuh, baik itu dengan menggunakan tindakan tangan maupun ucapan lisan. Dengan demikian, maka hati lebih kuat daripada keduanya (tangan dan lisan) karena hatilah yang mengerakan keduanya.

Kembali kepada hadist diatas, maka secara utuh dapat disimak bahwa isim isyarah/ demonstrative pronouns َذَلِكَ yang bermakna itu bukan ini, menunjukan kepada yang jauh -li lbai’d yaitu tangan- bukan kepada yang dekat –lil qhorib-, yaitu hati. Kenapa demikian ? karena sesungguhnya hati yang terkuat jika berkaitan erat dengan Allah SWT, misalkan ketika seorang berdoa makan yang akan dikabulkan doanya antara lain apabila niat dalam hatinya kuat/khusyu’. Dengan demikian hati harus lebih kuat dan lebih berpengaruh melebihi kekuatan tangan dan lisan.

Berdasarkan pengalaman untuk masalah ini tidak selamanya media pelarangan nahi- munkar dilakukan secara tartib. Hal itu disesuaikan dengan kadar besar kecilnya kemunkaran, bisa jadi langsung dengan tindakan ucapan (lisan), kemudian hati dan terakhir dengan mengunakan aparat Pemerintah (tangan), yang tentunya memerlukan proses dan pengamatan yang lebih arif dan bijaksana sesuai dengan kondisi dan media mana yang harus diutamakan.


Pelarangan kemunkaran dapat dilakukan secara tartib–tangan, lisan dan hati-, tentunya harus sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan oleh ulama. Yaitu dengan landasan bahwa bentuk isim mausul dan istifham inkarl/kata sambung -مَنْ man- tidak ditujukkan untuk semua kelompok dalam satu paket yang dapat menggunakan media pelarangan kemunkaran. Adapun klasifikasi orang yang dapat bertindak dengan ketiga media tersebut adalah :

Pertama : kalimat ‘hendaklah ia mengubah dengan tangannya’ adalah dikhusukan penguasa atau pemerintah, kedua : kalimat ‘maka barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan tangannya) hendaklah ia mengubah dengan ucapannya’ ini ditujukan bagi ulama termasuk tholibul ilmi –yang memahami agama dengan baik- dan ketiga : kalimat ‘barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan ucapnya) maka hendaklah ia mengubah dengan hatinya’ ini dapat dilakukan oleh semua unsur umat tanpa pengecualian asal memenuhi syarat taklif.

Selanjutnya bahwa kadar atau ukuran kemunkaran kecil dan besar serta pengaruhnya tentunya akan berbeda. Misalkan kewajiban bapak memerintahkan anaknya yang berusia 10 tahun untuk mendirikan sholat fardhu. Apabila si anak dalam usia tersebut belum terbiasa sholat –meninggalkan sholat adalah bentuk kemunkaran- maka si bapak sesuai perintah Rasulullah SAW dapat memukul (pukulan yang tidak menyakitkan) anak tersebut jika meninggalkan kewajiban sholat. Dalam kasus semisal itu, dapat digunakan ketiga media nahi munkar karena kadar kemunkarannya tidak terlalu besar dan semua orang tua kemungkinan besar dapat bernahi-mungkar yang dilakukan oleh anaknya.

Berkenaan dengan kemunkaran kolektif (Bar dan Night Club) yang kadar kemunkarannya sangat besar menurut pandangan syariat, maka yang memiliki otoritas untuk bertindak dan mengubah kemunkaran tersebut adalah yang memiliki kemampuan, yaitu penguasa atau pemerintah. Apabila dalam kemunkaran semacam ini yang bertindak perorangan atau sekelompok non-pemerintah, sangat dikuawatirkan akan menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Justeru dalam pencegahan terhadap sebuah kemunkaran akan menimbulkan fitnah yang lebih besar dan dapat memicu pertumpahan darah.

Akhirul kalam, ketidaktepatan memahami hadist diatas telah banyak menyebabkan jatuh korban manusia dan mengakibatkan adanya ancaman rasa takut akibat berbagai aksi kekerasan. Untuk itu diperlukan reaktulisasi pemahaman hadist diatas secara profesional, agar masa kelabu yang menimpa umat Islam saat sekarang, kiranya tidak akan dialami kembali dikemudian hari. Sehingga predikat Sebaik-Baiknya Umat tetap layak disandang oleh umat ini sebagai pelaku utama dalam mengemban misi dakwah ke seantero dunia.

Bogor, 10 April 2018

Penulis: Dr. H. Arip Rahman, Lc, DESA

Reporter: Reporter Editor: admin