Refleksi 21 Tahun Hima Persis; Menegaskan Visi Gerakan Hima Persis

oleh Reporter

25 Maret 2017 | 03:03

Oleh; Nizar A. Saputra, Ketua Umum PP Hima Persis *** Tahun ini, Hima Persis genap berusia 20 tahun. Rentang waktu yang cukup lama dalam sebuah proses kedewasaan dan kematangan gerakan. Selama rentang waktu tersebut, tentu Hima PERSIS banyak mengalami berbagai pergulatan, pencarian kekokohan dan kematangan konsep dan formulasi gerakan yang ideal.Dinamika tersebut, saya yakin, akan terus terjadi seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman. Ada tiga dimensi, dalam pemikiran saya, yang perlu diperjuangkan dan dijadikan cita-cita ke depan oleh Hima Persis. Tiga dimensi ini saya lebih suka menyebutnya dengan tiga visi Hima Persis ke depan. Ketiga visi tersebut didasarkan pada tiga hal. Pertama, Hima Persis sebagai bagian dari otonom PERSIS. Kedua, Hima Persis sebagai bagian dari gerakan Mahasiswa dan komponen bangsa Indonesia. Ketiga, Hima Persis sebagai bagian dari Umat Islam secara umum. Pertama, sebagai bagian dari otonom Persis, Hima Persis tidak boleh tercerabut dari cita-cita ideal Persatuan Islam. Adanya nama Persis dibelakang Hima merupakan ikatan sekaligus tanggungjawab moral untuk satu rasa, satu pemikiran dan satu tujuan/cita-cita. Konsekuensinya, Hima Persis mau tidak mau harus punya formulasi bagaimana mewujudkan masa depan Persis. Sederhananya, Hima Persis harus mempunyai visi ‘kePersis-an’. Visi ini saya sebut dengan istilah visi kejamiyyahan Hima Persis. Kata-kata jamiyyah disini, meskipun sebetulnya mempunyai makna yang bisa general (umum), namun dalam hal ini maksudnya adalah visi kePersisan Hima Persis. Visi kepersisan ini, bukan bermaksud merubah Persis ala Hima Persis. Namun, mem’Persis’kan seperti Persis yang sebenarnya. Menjaga dan melanjutkan cita-cita dan tujuan Persis. Mengambil ruh dan api yang menjadi corak dan karakter Persatuan Islam seperti para founding fathernya. Apa itu? Dalam pandangan saya, Persis dengan tafaquh fiddinnya dan Persis sebagai harokah tajdid harus dijaga dan diteruskan oleh Hima Persis. tafaqquh fiddin dan tajdid akan bisa dilakukan melalui tradisi ilmiyyah atau tradisi intelektual. Dalam pandangan Howard Federspil dan Deliar Noer, Persis merupakan organisasi yang tidak mementingkan kuantitas, tetapi mengutamakan kualitas. Karenanya jumlah anggotanya tidak banyak,tapi terdiri dari kelompok intelektual. Bahkan sedari awal Persis didirikan berawal dari kelompok diskusi. Kelompok yang anti kejumudan, membuka pintu ijtihad seluas-seluas-luasnya. Inilah yang harus diingat oleh hima persis. Sejak didirikan, Persis terbiasa dengan tradisi intelektual. Kekuatan intelektual inilah yang menyebabkan Persis diperhitungkan di tingkat nasional. Hima Persis harus bisa menjaga  dan meneruskan tradisi intelektual dan menghidupkan ijtihad dalam segala aspek, terutama dalam muamalah. Selama ini, Persis lebih banyak fokus pada purifikasi aqidah dan ibadah, ijtihad fiqih ubudiah. Sementara ijtihad muamalah, baik itu siyasah, iqitishodiyah dan ijtima'iyah belum banyak dilakukan. Padahal A. Hassan dulu melakukan ijtihad tidak hanya dalam fiqih ibadah saja, tetapi mulai dari siyasah (islam dan kebangsaan, merebut kekuasaan), iqitishodiyah. Natsir juga begitu aktif melakukan ijtihad politik dan sosialnya (siyasah wa ijtima’iyyah). Pun dengan Isa Ansori. Tentu, penyebutan tadi tidak bermaksud untuk heroisme sejarah atau romantisme sejarah, namun kesadaran sejarah sangat penting supaya kita tahu tentang bagaimana menjaga dan meneruskan ruh tradisi intelektualisme yang menjadi karakter khas (khittah)  Persis. Maka disinilah  hima persis tidak boleh melupakan viši kejamiyyahan sebagai tanggung jawab moral kepada Persis. Kedua, sebagai bagian dari kelompok gerakan mahasiswa dan komponen bangsa Indonesia, Hima Persis tidak boleh tercerabut dari corak dan karakter khas gerakan mahasiswa yakni kekuatan intelektual dan politik moral. Hima Persis harus menegaskan posisinya sebagai gerakan mahasiswa yang peduli terhadap masa depan bangsa dan negaranya. Mengkaji secara serius masa depan bangsa dan negara Indonesia. Tanggungjawab gerakan mahasiswa pada umumnya seperti itu untuk bangsa dan negaranya. Namun demikian, Hima Persis punya tugas atau tanggungjawab lebih karena sudah membawa Islam dalam namanya. Artinya, suka atau tidak, konsepsi Islam menjadi sesuatu yang sangat penting bagi Hima Persis. Maka sebagai organisasi mahasiswa Islam yang berada di wilayah territorial Indonesia, kita punya tanggungjawab lebih yakni tanggung jawab keIslaman dan Kebangsaan. Untuk menegaskan hal tersebut (tanggungjawab keislaman dan kebangsaan), harus dirumuskan terlebih dahulu bagaimana sikap Hima Persis kaitannya dengan hubungan agama (Islam) dan negara. Dalam khazanah Pemikiran Islam, ada tiga pandangan atau paradigma dalam melihat Islam (agama) dan relevansinya dengan negara. Yang pertama, Paradigma integralistik (unifed paradigm) Paradigma integralistik adalah suatu paradigma yang menempatkan agama dan negara sebagai kesatuan yang utuh. Wilayah agama meliputi politik atau negara sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Illahi" (divine soveregnty), karena pendukung paradigma ini menyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di "Tangan Tuhan".  Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I’tiqad menyatakan bahwa agama dan negara adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap. Yang kedua, Paradigma Simbiotik, Paradigma ini menempatkan relasi Agama dan Negara bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Al Mawardy mengatakan: “kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia”. Argumen ini didukung oleh Ibnu Taimiyah: sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar, sebab tanpa kekuasaan negara, agama tidak bisa berdiri tegak”. Yang ketiga, Paradigma Sekularistik, Paradigma ini mengajukan pemisahan agama atas Negara dan pemisahan negara atas negara. Ali abd Ar-Raziq menjelaskan: “Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintah tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita milki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman”. Dalam hal ini, hima persis memandang agama dan negara tidak bisa dipisahkan, saling membutuhkan. Karenanya, hima persis punya tanggungjawab bagaimana merumuskan negara dan agama (islam)  dalam konteks Indonesia. Wajib menentukan dan merumuskan bagaimana masa depan bangsa dan negara Indonesia dengan perspektif Islam. Inilah yang perlu kita rumuskan dalam tataran strategis dan teknis. Rumusan ini saya menyebutnya sebagai viši kenegaraan hima persis. Islam dan Negara dalam pandangan Hima Persis mempunyai relasi yang tidak bias dipisahkan. Negara adalah wadah perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai Islam. Terlebih, secara historis, filosofis, yuridis, Islam dan Negara Indonesia mempunyai keterikatan yang sangat kuat. Indonesia dan Islam mempunyai ikatan yang sangat kuat. Indonesia dikenal sebagai negara mayoritas muslim di dunia. Lebih dari 88% penduduk Indonesia memeluk agama Islam. tidak hanya itu, dalam hal pembangunan negara, bahkan sejak awal perjuangan kemerdekaan Indonesia, umat Islam telah banyak berkontribusi. Tidak salah jika dikatakan, Umat Islam merupakan salah satu pemilik saham bangsa ini. sebagai mayoritas, secara moral umat Islam Indonesia mempunyai tanggungjawab menentukan arah kemajuan dan kejayaan bangsa ini. umat Islam harus lebih pro aktif memberikan berbagai solusi problematika kebangsaan. Jika umat Islamnya terbelakang dan serba tertinggal, maka Indonesia juga akan mengalami hal yang sama. Sebaliknya, apabila umat Islamnya maju, selalu menjadi bagian terdepan dalam pembangunan bangsa, maka begitu pula yang akan terjadi pada negara Indonesia. Secara historis, sebagai bagian dari komponen bangsa Indonesia secara umum, dan secara khusus sebagai bagian dari umat islam indonesia, kita mempunyai modal yang sangat besar dalam merumuskan masa depan bangsa dan negara Indonesia ini. Selain karena mayoritas, muslim di Indonesia juga punya saham besar dalam merumuskan dasar Negara Indonesia. Pancasila dan UUD 45 adalah hasil konsensus antara kelompok nasionalis secular dan nasionalis religious. kesepakatan itu merupakan kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan yang hanya didapat secara susah payah, didasarkan atas “memberi dan mengambil”. Karenanya, adalah tugas kita meneruskan cita-cita besar para pendiri bangsa ini. Selain modal sejarah, kita juga punya modal secara yuridis. Sebab, jika mau jujur Pancasila dan UUD 45 saat ini adalah hasil dari dekrit soekarno 5 JULI 1959. Dalam dekrit tersebut, piagam Jakarta yang di dalamnya terdapat klausul 'dengan kewajiban melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya' dinyatakan sebagai bagian yang menjiwai dan satu rangkaian konstitusinal dengan  UUD 45. Dengan demikian, merumuskan dan atau memperjuangkan nilai - nilai islam dalam negara indonesia tidaklah bertentangan dengan konstitusi negara kita. Maka viši kenegaraan (daulah) Hima Persis adalah bagaimana memformulasikan nilai-nilai islam dalam bingkai NKRI. Fokus tujuan kita ke depan adalah bagaimana merumuskan islam dalam kehidupan bernegara kita di Indonesia. Karenanya, Hima Persis ke depan bisa memulainya dengan secara serius untuk jangka panjang melakukan pendidikan politik dan legislasi plus pemahaman falsafah Hukum Islam (Ushul Fiqih). Setelah itu, bersiap untuk mengabdi pada Negara baik itu di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif atau pun tetap dalam civil society yang dengan teguh memperjuangkan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ketiga, sebagai bagian dari umat Islam secara umum, terlebih ada kata-kata Persatuan Islam yang melekat di Hima Persis, suka atau tidak, mengharuskan kita untuk berkontribusi pada dunia Islam. Sebagai mayoritas Muslim terbesar di dunia, muslim Indonesia harus berperan aktif menjadikan Indonesia sebagai pusat dunia Islam. bukan hal yang mustahil Indonesia bisa menjadi penentu dan kiblat dunia Islam. apalagi, di Indonesia begitu melimpah sumberdaya alam, mulai dari pertambangan, pertanian dan kelautan plus letak geografisnya yang sangat strategis untuk membangun kekuatan ekonomi. Begitu juga dengan Sumber Daya Manusianya. Tidak sedikit, bangsa kita yang diperhitungkan di dunia internasional. Artinya, Indonesia mempunyai seluruh elemen yang bisa dikatakan cukup lengkap untuk menjadi pusat peradaban dunia, terutama dunia Islam. Hima Persis harus punya visi besar ke depan untuk mewujudkan semuanya itu. Visi besar ini saya istilahkan dengan visi dauliyah (visi internasionalisme) Hima Persis. Dalam sejarahnya, Peradaban Islam pernah berhasil mengalami masa keemasan menguasai dan mempengaruhi dunia sampai ± 8 abad. Dalam masa keemasan tersebut, peradaban Islam mencapai puncak ketinggiannya serta menjadi peradaban hegemonic dan dominant di tingkat dunia, mengungguli semua peradaban lain yang pernah lahir pada waktu itu. Superioritas politik, ekonomi, militer dan ilmu pengetahuan pernah di pegang kaum muslimin. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan hukum sejarah, Peradaban Islam mengalami kemunduran hampir dalam berbagai hal. Mulai dari Politik, Ekonomi, Pendidikan, budaya dan ilmu pengetahuan jauh tertinggal dari Barat. Ada banyak factor yang menyebabkan Peradaban Islam mengalami kemunduran. Philip K. Hitti (1964; 415) menunjuk jatuhnya Bagdhad di tangan pasukan Tartar (1258) sebagai sebab utama kemorosotan atau kemunduran Dunia Islam. Sebab, sejak itu, wilayah demi wilayah Dunia Islam berhasil dikuasai Tartar. Banyak bangunan-bangunan dihancurkan, ribuan orang mati secara tragis dibunuh. Teror yang sangat dahsyat yang dilancarkan pasukan Tartar membuat kecil hati kaum muslimin. Sebenarnya, pasca kehancuran Bagdhad oleh pasukan Tartar, kejayaan Islam dalam bidang politik seakan berhasil dipulihkan dengan munculnya Kekhalifahan Turki Utsmani. Turki Utsmani berhasil membangun peradaban islam karena letak geografisnya yang strategis. Turki menjadi transit perdagangan jalur darat yang memanjang dari Asia ke Eropa, dari Afrika ke Eropa. Semua barang dagangan dari Asia dan Afrika yang menuju Eropa transit di Turki dan harus membayar pajak. Dengan pajak-pajak transit yang dikutip dari jalur perdangan itulah Turki berhasil membangun angkatan perang yang kuat, sehingga mereka berhasil mempertahankan kekhilfahannya lebih kurang 500 tahun. (Louis Gardet dan Muhammad Arkoun, 1983: 78-79). Namun, ketika Vasco Da Gama menemukan Tanjung pengharapan (The Cape of Good Hope) pada tahun 1498, terjadi perubahan radikal tidak saja pada peta perdangan internasional yang ada pada saat itu, tetapi juga peta politik internasional. Perdagangan yang semula menempuh jalur darat, berpindah melalui laut. Pedagang-pedagang muslim yang semula memonopoli perdagangan laut di pantai-pantai Samudera India, sejak saat itu mendapat persaingan dari kapal-kapal dagang Portugis. Kapal-kapal Portugis yang dipersenjatai lengkap dan memadukan perdagangan dengan pembajakan, memukul hancur armada dagang Muslim di dekat Diu, Gujarat Selatan. Sejak itu, persaingan perdagangan di pantai-pantai Samudera India hanya berlangsung antara para pedagang Barat saja. dampaknya cukup luar biasa, pusat-pusat peristiwa internasional beralih ke Barat dan perkembangan yang cukup berarti di Timur Tengah berhenti. Praktis, Turki Utsmani menjadi lemah, bahkan kekhilfahan tersebut mengalami keruntuhan. Di sisi lain, muncul kongsi-kongsi dagang Eropa di hampir seluruh negerai Timur. Mereka nyaris memonopoli seluruh hasil bumi Hindia Timur yang mereka alirkan langsung ke negeri mereka lewat jalur laut. Hasil perdagangan dari jalur baru ini, tentu saja membuat mereka berhasil meraih keuntungan besar yang semakin menumbuhkan industry dan perdagangan mereka. Dengan kekuatan ekonomi itu pulalah, Barat membangun kekuatan politik yang besar. (Afif Muhammad, 2004;30) Perubahan radikal pada peta ekonomi internasional inilah, menurut Qureshi (1978: 242), yang sebenarnya merupakan persoalan yang lebih gawat dibandingkan dengan pemusnahan-pemusnahan yang dilakukan bangsa Tartar, karena hal tersebut memacetkan perekonomian negeri-negeri Muslim Timur. Sayangnya, kaum muslimin tidak menyadari hal itu. Baik Kekhalifahan Turki Utsmani maupun Persia dan Mughal yang besar, tidak mengambil langkah-langkah penyembuhan terhadap situasi tersebut. Turki Utsmani nampaknya terlalu mengandalkan pajak transit sebagai penopang perekonomian mereka, sehingga tidak terlihat berusaha mengembangkan pertanian dan industry dengan cara yang lebih maju. Terlebih menguasai dan memanfaatkan laut sebagai pondasi pembangunan ekonominya. Di sisi lain, Barat begitu siap dengan jalur laut dalam membangun kekuatan politik dan ekonomi. Sejarah Peradaban Islam diatas penting untuk disajikan sebagai gambaran bahwa apa yang menjadi kunci kejayaan peradaban Islam dulu ada semuanya di Indonesia. Artinya, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi pusat peradaban dunia Islam dan dunia internasional. Belajar dari kemajuan dan kemunduran Peradaban Islam di atas, Indonesia bisa mengambil ibroh yang sangat besar. Apalagi, Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi lautan. Dari total wilayah Indonesia, dua pertiganya atau 70% nya adalah lautan. Saking luasnya lautan Indonesia, kata Yudi Latif, (2015: 251) bila peta Indonesia ditumpangkan pada peta Amerika Serikat dan Eropa, akan tampak jelas sifat kebaharian (kemaritiman) Indonesia. Di atas peta Amerika Serikat, Indonesia membentang dari Laut Pasifik di Barat sampai Laut Atlantik di Timur Sementara di atas peta Eropa, Indonesia membentang dari London di Barat sampai Laut Kaspia di Timur. Perbandingan tersebut menandaskan bahwa luas laut Indonesia kurang lebih sama dengan Amerika Serikat dan lebih luas dari Eropa. Sebagai negara yang dominan berwilayah lautan, tentu Indonesia memiliki peluang menjadi sumbu utama dalam keilmuan, ekonomi, politik dan pertahanan. Ragam keunikan hayati dan nonhayati yang terkandung di dalam laut, mulai dari ikan, tumbuh-tumbuhan, permata, mutiara dan mineral lainnya, bila dicermati dengan serius dan diteliti dengan baik, akan menghasilkan ragam keilmuan dan pengetahuan yang penting. Luasnya lautan Indonesia, bisa dijadikan lahan observatorium sekaligus laboratorium keilmuan bahari yang handal. Demikian halnya dengan poros ekonomi, sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia memiliki potensi kebangkitan ekonomi berbasis maritime. Apalagi, Indonesia memiliki empat titik strategis yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Malaka, yang dilalui 40% kapal-kapal perdagangan dunia. Kondisi strategis tersebut dapat memberikan peluang besar memfasilitasi Indonesia menjadi industry perdagangan serta pelayaran maritime dunia. Selain itu, letak geografis Indonesia yang berada diantara dua benua (Benua Asia dan Australia), dan diapit oleh dua Samudera (Hindia dan Pasifik) yang merupakan kawasan paling dinamis dalam pencaturan ekonomi maupun politik, semakin menguatkan akan kejayaan dan potensi kekuatan ekonomi dan politik Indonesia di dunia. Dengan keberadaan yang sangat strategis tersebut, bukan tidak mungkin, Indonesia bisa jauh melebihi Turki Utsmani dan Peradaban Barat, karena tidak hanya mengandalkan potensi ekonominya dari pajak-pajak transit perdagangan dunia melalui jalur lautan. Namun, kekuatan ekonominya juga bisa didapatkan dari kekayaan lautan yang sangat luas yang dimiliki Indonesia. Itu hanya dari satu perspektif saja, dari perspektif letak geografis yang strategis dan potensi kelautan di Indonesia, belum lagi dari aspek lainnya seperti pertambangan dan pertanian. Karenanya, sekali lagi, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi pusat peradaban dunia internasional dan dunia Islam. maka, visi dauliyah Hima Persis punya tujuan ke sana. Memang terlihat utopis, tetapi tidak ada yang tidak mungkin. Tiga visi besar Hima Persis tersebut adalah refleksi saya selama dikader dan digembleng di Hima Persis, terutama setelah diberikan amanah untuk menakodai Hima Persis. hasil pergulatan dan refleksi terhadap ulul albab sebagai falsafah gerakan Hima Persis, refleksi terhadap gagasan Trias Politika dan refleksi terhadap ‘Jargon’ Hima Persis: Ilmiah, progresif, revolusioner. Wallahu A’lam.
Reporter: Reporter Editor: admin