Saudarakah Kita?

oleh Reporter

22 November 2016 | 15:44

Rumahku memang kejam, tidak lagi busur yang menikam Berjalan kaki tak peduli telapak legam menghitam Aku boleh saja berkilah, namun sebrang sana ada yang lupa kata indah Bukan lagi hari, mereka menanggung beban tiada henti tanpa permisi Berlayar di atas kayu lusuh lebih berarti, daripada harus mati dalam balutan ironi   “Saya juga manusia”, bisiknya dalam derita Saat keberadaannya dianggap kubangan parit tak berguna Kami egois, melupa kalian saat penguasa kami sendiri semakin bengis   Ya Rabb,,, Jika kau anggap kami sebagai hamba-Mu tanpa tersebab Lalu, akibat mana lagi yang harus kami terima tanpa beradab Pagi ini, kutuang secangkir kopi hangat Di ujung sana, rasa pahit kopi sama sekali tak ingat   Ya Rabb,,, Lihatlah mata mereka yang selalu sembab Keringnya saja tak pernah dirasa meski sekejap   Inilah karunia, inilah karunia,,, Saat seluruh mata dunia sengaja melupanya Saat terbujur kaku di atas kapal, menjadi satu-satunya bekal Adakah yang melupa bahwa di dunia tiada yang kekal?   Ya Rabii,,, Siksa demi siksa, tubi demi tubi Caci demi caci, kematian tengah dinanti Sedetik pun tak kuasa kami menyembah, pantasakah nyawa ini kupersembahkan?   Ya Ilahi,,, Biarkan saja kami pergi tanpa sepotong roti Meski dahaga dan lapar menjadi makanan setiap hari Kenyang tidaklah kami cari, ibadahlah dambaan kami selama ini   Tuhan… Jika Engkau tiada pernah tidur, Tunjukkan! Kami tidak sedang meragukan kekuasaan Tidak pula amnesia terhadap pujian Kami hanyalah hamba, yang selalu ingin hidupkan kekuatan dalam do’a Meski kucuran darah adalah terbiasa Meski desingan peluru selalu dirasa Meski sakit adalah nikmat yang dilupa Tuhan, pantaskah kami kau sebut hamba?     ***   Oleh: Ali Muhtadin, Sekretaris Pesantren Sastra Pemuda Persis
Reporter: Reporter Editor: admin