Rumahku memang kejam, tidak lagi busur yang menikam
Berjalan kaki tak peduli telapak legam menghitam
Aku boleh saja berkilah, namun sebrang sana ada yang lupa kata indah
Bukan lagi hari, mereka menanggung beban tiada henti tanpa permisi
Berlayar di atas kayu lusuh lebih berarti, daripada harus mati dalam balutan ironi
“Saya juga manusia”, bisiknya dalam derita
Saat keberadaannya dianggap kubangan parit tak berguna
Kami egois, melupa kalian saat penguasa kami sendiri semakin bengis
Ya Rabb,,,
Jika kau anggap kami sebagai hamba-Mu tanpa tersebab
Lalu, akibat mana lagi yang harus kami terima tanpa beradab
Pagi ini, kutuang secangkir kopi hangat
Di ujung sana, rasa pahit kopi sama sekali tak ingat
Ya Rabb,,,
Lihatlah mata mereka yang selalu sembab
Keringnya saja tak pernah dirasa meski sekejap
Inilah karunia, inilah karunia,,,
Saat seluruh mata dunia sengaja melupanya
Saat terbujur kaku di atas kapal, menjadi satu-satunya bekal
Adakah yang melupa bahwa di dunia tiada yang kekal?
Ya Rabii,,,
Siksa demi siksa, tubi demi tubi
Caci demi caci, kematian tengah dinanti
Sedetik pun tak kuasa kami menyembah, pantasakah nyawa ini kupersembahkan?
Ya Ilahi,,,
Biarkan saja kami pergi tanpa sepotong roti
Meski dahaga dan lapar menjadi makanan setiap hari
Kenyang tidaklah kami cari, ibadahlah dambaan kami selama ini
Tuhan…
Jika Engkau tiada pernah tidur, Tunjukkan!
Kami tidak sedang meragukan kekuasaan
Tidak pula amnesia terhadap pujian
Kami hanyalah hamba, yang selalu ingin hidupkan kekuatan dalam do’a
Meski kucuran darah adalah terbiasa
Meski desingan peluru selalu dirasa
Meski sakit adalah nikmat yang dilupa
Tuhan, pantaskah kami kau sebut hamba?
***
Oleh:
Ali Muhtadin, Sekretaris Pesantren Sastra Pemuda Persis