Sudah hampir 3 semester saya diamanahi tugas mengajar mata kuliah Sejarah Peradaban Islam 1 di STAI Persis Garut, khususnya Jurusan Ilmu Hadis. Rupanya benar apa kata asatidz saya dulu, bahwa mengajar adalah cara terbaik untuk ‘mengawetkan’ ilmu yang telah kita pelajari. Dan yang saya alami, “mengajar’ juga mampu ‘memperbaharui’ ilmu yang telah kita pelajari itu.
Kita akan sampai pada pemahaman dan perspektif baru yang muncul dari pokok pembahasan yang sama yang kita pelajari dulu di bangku kuliah. Pemahaman dan perspektif baru ini saya dapatkan ketika menjelaskan sebuah pokok pembahasan dalam sejarah Islam di ruang kelas. “Oh iya ya”. Begitu pikiran yang muncul dalam benak saya ketika bicara di depan kelas.
Di awal perkuliahan mata kuliah ini, saya selalu mengajukan pertanyaan sederhana kepada rekan-rekan mahasiswa. Kenapa harus “Sejarah Peradaban Islam”, tidak “Sejarah Islam” saja. Lalu pembahasan selanjutnya adalah terkait dengan apa itu peradaban dan seterusnya. Jadi kata “peradaban” merupakan kaca mata yang kita gunakan dalam perkuliahan tersebut untuk memahami perjalanan sejarah Islam itu sendiri. Sebab memang demikian pada kenyataannya.
Mengalirlah materi demi materi perkuliahan, sejak era Nabi Muhammad SAW, empat khalifah terpilih, dan peristiwa-peristiwa pelik sejak Perang Jamal, Shiffin, hingga peristiwa di Karbala. Sejak itu, kita lalu dihadapkan tumbuh dan runtuhnya dinasti-dinasti Islam sejak Bani Umayyah, lalu Abbasiyyah dengan berbagai dinasti-dinasti independen yang ada dalam waktu yang bersamaan di berbagai wilayah yang berbeda, misalnya Bani Fathimiyyah yang Syiah di Mesir dan Bani Umayyah II di Spanyol.
Ketika menjelaskan topik ini, dalam benak saya muncul sebuah pertanyaan.”Atas dasar apa kita merangkai setiap fragmen sejarah sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga Dinasti Turki Utsmani? Atas dasar apa kita mengkait-eratkan Bani Umayyah dengan Bani Abbasiyyah? Atas dasar apa Bani Umayyah II di Andalusia kita bingkai dalam keutuhan sejarah Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan di kota Baghdad?”.
Jika merujuk pada peristiwa sejarah yang menjadi pembatas antara periode Bani Umayyah dengan Bani Abbasiyah, tentu kita akan memahami bahwa kehadiran Negara Monarki Bani Abbasiyah merupakan anti-tesa dari eksistensi Negara Monarki Bani Umayyah yang memang sedang melemah. Pendiri Negara Bani Abbasiyah dijuluki Ash Shaffah, Si Penumpah Darah. Sebab Negara Abbasiyah didirikan di atas pertumpahan darah keluarga kerajaan Bani Umayyah.
Lalu, mengapa kita harus membingkai episode Bani Umayyah dengan Bani Abbasiyah? Bukankah keduanya merupakan dua sejarah dari dua negara yang berbeda dan saling menegasikan satu sama lain?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lama bertengger di benak saya. Sebab seketika saya teringatkan pada konsep “peradaban” yang diselipkan dalam “sejarah Islam” itu sendiri. Jika, waktu saya belajar Ilmu Sejarah di semester satu dulu tentang adagium “Sejarah adalah Politik Masa Lalu”, maka sindrom ini suka tidak suka juga terjadi dalam sejarah Islam.
Sejarah Islam, setidaknya dalam hal periodesasi, adalah sejarah politik Islam, sejarah tumbuh dan runtuhnya negara-negara Islam, sejarah saling serang dan saling bunuh demi perebutan kekuasaan. Melalui kecenderungan “Sejarah adalah politik masa lalu” maka, sebagaimana diinginkan sebagian orientalis, sejarah Islam merupakan sejarah yang penuh dengan konflik sejak dini, tanpa nuansa transedensi, dan digerakkan semata-mata oleh hasrat duniawi.
Lalu sampailah saya pada pentingnya meletakkan narasi masa lalu umat Islam dalam konteks peradaban. Kepada rekan-rekan mahasiswa, dalam pertemuan pertama perkuliahan, saya sampaikan bahwa peradaban Islam adalah sebuah pohon; ditanam benihnya sehingga menghujam menjadi akar ke dalam bumi, dalam periode sirah nabawiyyah, tumbuh dan berkembang pada periode khalifah yang empat, dan mulai tumbuh kuncup-kuncup bunga ketika Bani Umayyah memimpin, lalu dapat dipetik buahnya pada masa Bani Abbasiyyah dan Bani Umayyah di Kordova. Buah-buah peradaban ini bahkan dapat dipetik dan dinikmati oleh orang-orang non-muslim, sebagaimana mereka pada saat itu sedang hidup dalam masa-masa kegelapan (the dark ages).
Demikianlah kehidupan umat Islam, dalam situasi politik yang fragmentatif, kerja-kerja (dakwah) peradaban lah yang mampu mengeratkan tenun keumatan kita. Marilah bersama-sama kita menuju titik pertemuan yang sama antara kelompok-kelompok yang fragmentatif dan bipolar ini, yaitu titik peradaban.
***
Penulis: Imam Sopyan
(Dosen Sejarah Islam STAI Persatuan Islam Garut)