Oleh: Dr. Ihsan Setiadi Latief (Ketua Bidang Kominfo PP PERSIS)
Jangan mencampuradukkan olahraga dan politik? Tidak ada hubungannya antara sepakbola dan politik.
Hal itu sering didengung dengungkan banyak orang, mana mungkin? Bisakah event olahraga baik dalam skala regional, nasional maupun internasional bisa terjadi tanpa dukungan dan campur tangan politik?
Kasus Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang semula adem dan ditutup tutupi, setelah didesak oleh kekuatan politik opini publik dan media, baru diperhatikan.
Semua pejabat pemerintahan turun tangan. Bahkan pemilihan Ketua PSSI pun tidak terlepas dari campur tangan politik.
Dalam piala dunia dilarang kampanye LGBT meskipun ditentang negara negara besar, 7 negara yang pendukung LGBT seperti Wales, Belgia, Swiss, Denmark, Jerman, Belanda dan Inggris.
Mereka berencana mengenakan band One Love di lengan sebagai penanda soft campaign LGBT, tapi dilarang FIFA berdasar usulan Qatar.
Dukungan sebagai sikap politik pun sering disampaikan dalam berbagai event olahraga termasuk dalam sepakbola di piala dunia kali ini, bendera Palestina dalam beberapa pertandingan termasuk dalam pertandingan antara Maroko dan Portugal.
Mezut Ozil pun jadi sasaran kekerasan verbal dari pendukungnya sendiri, karena dianggap imigran yang bermain di Jerman dan dia beragama Islam dan mendukung kemerdekaan Palestina.
Beberapa negara Arab sudah menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel; Bahrain, Sudan, UAE, Mesir dan Maroko sendiri. Pertanyaannya apakah itu merupakan suara dari rakyatnya sendiri? Jelas tidak, setidaknya dalam perhelatan piala dunia ini disuarakan oleh suporter Maroko yang mendukung kemerdekaan Palestina.
Sebenarnya olahraga dan politik erat kaitannya. Tidak bisa tidak, meski orang bilang jangan dikaitkan. Karena dari awalnya olahraga kaitannya dengan politik.
Jadi sah-sah saja sikap politik disuarakan dalam event olahraga, sepanjang sesuai dengan nilai nilai kemanusiaan yang beradab dengan bersandarkan norma dan nilai agama yang berlaku.
[]