Lelaki gemuk berkaos hijau 242 itu menyodorkan sebotol minuman pelepas dahaga, sambil membungkukkan badan, sangat santun, dan tersenyum. Saya tersanjung menerimanya. Terharu.
Saya sama sekali tak mengenalnya, dia pun sama. Tetapi, pin Pusat Zakat Umat (PZU) PP Persis yang saya pakai di kaos putih itu boleh jadi berbicara tentang saya. Wajahnya terlihat letih, tapi dia tak mampu menyembunyikan kebahagian melayani umat.
Terus terang saja, sebelumnya saya ingin membeli air dingin es untuk melepas dahaga di tengah lautan umat yang memadati Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Saya batalkan, karena sebotol minuman yang disodorkannya tadi jauh akan terasa lebih dingin, lebih menyejukkan, sampai ke jantung, karena datang dari tangan yang paling ikhlas.
Lelaki berkaos hijau 242 itu tak sepanggung dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, atau sebaris dengan Ketua Umum PP Persis KH Aceng Zakaria. Tak pula berteriak takbir, atau menyanyikan mars 242.
Dia berada di lingkungan “garis marginal” dalam kerumunan umat. Tak banyak bicara, apalagi orasi. Dia hanya membagai-bagikan minuman dalam botol untuk yang lewat.
Berjasakah dia untuk silaturahmi akbar yang fenomenal itu? Dia pahlawan “senyap”, lalu pulang ke rumahnya - mungkin naik angkot - dan tanpa penjemputan atau pengawalan, kecuali disambut sang bidadari di muka pintu rumahnya.
Saya melangkah, lalu berpapasan dengan laki-laki dan perempuan berbaju sangat lusuh, tapi dengan wajah yang tampak ceria, dan sorot matanya yang terlihat tajam. Karung yang dibawa mereka penuh dengan botol minuma kosong. Oh,... rupanya mereka berbahagia bakal punya uang, lebih dari hari-hari biasa ketika mereka memungut sampat bekas tuan-tuan kaya.
Tahukah mereka tentang arti filosofis 242, tentang silaturahmi akbar, tentang mereka yang ada di panggung seberang sana? Mereka hanya tahu, hari itu amat banyak botol minuman yang berserakan, yang sudah jadi sampah, tapi bisa dijual untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Silaturahmi akbar hari Sabtu itu jadi berkah untuk manusia “ashgar”.
Saya duduk bersila, agak jauh di seberang monumen, sambil mendengarkan orasi-orasi. Kehadiran Kapolri Jenderal Tito sangat dihormati umat Persis, didengar suaranya, disambut tepuk tangan orasinya. Polri siap bekerja sama dengan Persis. Bertambahlah setelah NU dan MU. Maka, Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat jadi saksi bisu tentang kita : Polri dan Persis satu panggung.
Penulis: Dean Al-Gamereau.