Tulisan ini hendak berbicara tentang manusia. Makhluk unik yang senantiasa mengundang simpati para pemikir dalam wacana luas kemanusiaan. Betapa tidak? Di dalam diri manusia sendiri terselubung begitu banyak teka-teki, yang sampai detik sekarang pun belum bisa terpecahkan. Beruntung bagi manusia yang memilih beragama Islam, sedikit banyaknya teka-teki tersebut sudah bisa dijawab, tanpa harus beradu pikir dengan yang lainnya. Contoh kecil saja, kenapa manusia memiliki kecenderungan beragama? Maka, di antara jawabannya tercantum dalam surat Ar Rum ayat 30, yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk beragama tauhid (fitrah).
Konsep fitrah di atas, telah dikonfirmasi oleh terminology filsafat barat, yang mengatakan bahwa manusia berkedudukan sebagai homo religious, yakni sebuah pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kecenderungan untuk mempercayai, beragama atau menyembah sesuatu. Barangkali inilah yang dimaksud Muhammad Natsir, dalam bukunya yang berjudul Islam Sebagai Dasar Negara (2014). Dalam buku tersebut, beliau memaparkan bahwa; paham hidup yang menggerakan jiwa rakyat Indonesia adalah agama, maka konsekuensinya asas negara pun harus berlandasakan agama. Lebih jauh, di dalam bukunya yang lain, yang berjudul Revolusi Indonesia (2017), ia menggambarkan betapa beratnya perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang tidak luput dari pekikan takbir para Kiyai.
Berbicara Indonesia dan pekikan takbir saat ini, tentu menjadi suatu hal yang menarik, karena tak jarang, suara takbir saat ini kerap diasosiasikan sebagai ekspresi intoleran, bahkan sebagai ancaman, hingga tak jarang mengundang pejorasi (ejekan) dari beberapa golongan. Yang menggelitik pikir, kenapa ekspresi kegamaan dipandang sebagai simbol intoleransi, lalu yang jadi pertanyaan, apa makna toleransi itu sendiri? Lalu kenapa harus lilin yang menjadi simbolnya?
Pertama, kenapa harus lilin, barangkali pemaparan Hieronimus bisa membantu menjawab pertanyaan tersebut. Hieronimus atau yang lebih dikenal dengan julukan Santo Jarome, yakni salah seorang pelopor penterjemah Injil (347-420 M) dalam magnum opus-nya yang berjudul Contra Vigilantium menjelaskan tentang awal mula penggunaa nyala lilin, yang diadopsi dari budaya Romawi, dalam ummat Kristiani sendiri nyala lilin digunakan sebagai penghormatan untuk sakramen Mahakudus, dan penyerta dalam prosesi liturgy (peribadatan). Dengan kata lain penggunaan lilin dalam prosesi keagamaan Kristiani sendiri, merupakan paktik heterodoksi (bid’ah). Jika betul menyalakan lilin bagian dari prosesi liturgy (ibadah), maka simbolisasi toleransi dengan hal tersebut, malah justru menjadi ekspresi sentiment sara.
Kedua tentang makna toleransi. Sependek yang penulis tahu, toleransi berasal dari bahasa Latin, tolerare yang artinya membiarkan, jika sepakat toleransi artinya ‘membiarkan’, kenapa tidak dibiarkan saja takbir itu berkumandang. Terlepas dari semua itu, pada kenyataannya Islam mengajarkan saling menghormati, tapi tidak ada agama yang mengajarkan toleransi. Dalam arti yang lain, tidak ada agama yang ‘membiarkan’ pemeluknya berprilaku seenaknya. Jangan-jangan konsep toleransi sendiri, hanya akal-akalan saja, buktinya suara takbir dipandang selogan kaum intoleran. Jika demikian adanya, maka penulis patut bangga, karena kemerdekaan Indoensia, mengalir dari darah para syuhada intoleran, seperti yang Muhammad Natsir jelaskan.
***
Penulis: Dede Irawan, Bidgar Dakwah Pemuda Persis Cileunyi