Takhrij Hadis “Ramadhan Diawali Rahmat”

oleh Reporter

27 Mei 2017 | 06:03

Bulan Ramadhan kembali hadir, kegiatan keagamaan pun marak kembali. Maka tak heran kalau para muballigh dan penceramah mulai penuh dengan kesibukan. Dalam menyampaikan tabligh atau ceramahnya, seringkali mereka menyampaikan hadis-hadis berkaitan dengan fadhilah (keutamaan) Ramadhan sebagai motivasi agar kaum muslimin meningkatkan ibadah dan amal shaleh di bulan yang penuh berkah tersebut. Kendati demikian, tidak selamanya hadis-hadis fadhilah Ramadhan yang mereka sampaikan itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Memang, di antara hadis-hadis itu ada yang shahih, tetapi juga tidak sedikit yang dha’if (lemah), bahkan parah tingkat kedha’ifannya, alias maudhu’ (palsu). Salah satu hadis populer berkaitan dengan fadhilah Ramadahn yang patut kita perhatikan adalah hadis yang artinya “Bulan Ramadhan itu awalnya rahmat, tengahnya maghfirah, dan akhirnya pembebasan dari neraka.” Teks Hadis Teks hadis tersebut adalah sebagai berikut : عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ Dari Abu Hurairah, ai berkata, Rasulullah saw bersabda, “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.” Takhrij Hadis Hadis ini diriwayatkan oleh al-‘Uqaili, Ibnu ‘Adi, al-Khatib al-Baghdadi, al-Dailami dan Ibnu ‘Asakir. Susunan rawi dalam sanadnya adalah Sallam bin Sawwar, dari Maslamah bin al-Shalt, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.[1] Menurut al-Suyuthi hadis ini dha’if (lemah), dan menurut Syaikh al-Albani, hadis ini Munkar.[2] Kedua pernyataan ini tidak bertentangan, karena hadis Munkar adalah bagian dari hadis dha’if. Hadis Munkar adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat rawi yang pernah melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang fasiq.[3] Hadis munkar termasuk kategori hadis yang sangat lemah dan tidak dapat dipakai sebagai dalil apa pun. Sebagai hadis dha’if (lemah), ia menempati urutan ketiga sesudah Matruk (semi palsu) dan Maudhu’ (palsu).[4] Sumber kedha’ifan hadis ini adalah dua orang rawi yang bernama Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin al-Shalt. Menurut ahlu al-naqd (kritikus hadis) Ibnu ‘Adi (w. 365 H), Sallam bin Sawwar (Sallam bin Sulaiman bin Sawwar), Abu al-‘Abbas al-Tsaqafi adalah munkar al-hadits (hadisnya munkar). Menurut Abu Hatim, “Ia rawi yang tidak kuat”.[5] Sementara menurut Ibnu Hibban, “Tidak boleh dijadikan hujjah (pegangan), kecuali apabila ada rawi lain yang meriwayatkan hadisnya.”[6] Sedangkan Maslamah bin al-Shalt, menurut Abu Hatim al-Razi, Abdurrahman menceritakan dari ayahnya “Dia matruk al-hadis (hadisnya Matruk)”.[7] Dalam ilmu hadis, hadis Matruk adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat rawi yang dituduh sebagai pendusta.[8] Maksudnya, dalam hadis Matruk rawinya dituduh sebagai pendusta ketika meriwayatkan hadis, karena perilaku sehari-harinya dusta. Sementara dalam hadis Maudhu’ rawinya adalah pendusta.[9] Hadis Maudhu’ (palsu) dan Matruk (semi palsu) adalah sama-sama lahir dari rawi pendusta. Jadi hadis ini Munkar dan Matruk, dua kategori hadis dha’if yang cukup berat, alias syadid al-dha’fi. Oleh sebab itu, hadis ini tidak bisa dijadikan dalil dan tidak layak disampaikan dalam ceramah atau pengajian, kecuali disertai penjelasan tentang kedha’ifan hadis tersebut.[10] Riwayat lain Dalam disiplin ilmu hadis, sebuah hadis yang dha’if dapat meningkat kualitasnya menjadi Hasan Lighairih (hasan karena dukungan eksternal) apabila ada riwayat (sanad) lain yang sama kualitasnya, tetapi hal ini dengan syarat bahwa kedha’ifan hadis tersebut bukan karena ia diriwayatkan oleh rawi pendusta atau fasiq.[11] Berkaitan dengan hadis di atas, terdapat riwayat lain, bahkan dapat dikatakan bahwa hadis yang kita bahas ini adalah merupakan penggalan dari riwayat ini, karena riwayatnya lebih panjang. Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut : عَنْ سَلْمَانَ قَالَ خَطَبَنَا رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ الله صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَمَنْ أَدَى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ وَشَهْرٌ يُزْدَادُ فِيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ مَنْ فَطَّرَ فِيْهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ وَعِتْقَ رَقَبَةٍ مِنَ النَّارِ وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ قَالُوْا لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفْطِرُ الصَّائِمُ فَقَالَ يُعْطِي الله هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ أَوْ شُرْبَةِ مَاءٍ أَوْ مُذْقَةِ لَبَنٍ وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَاَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ. -ابن خزيمة- Dari Salman, ia berkata : Pada akhir bulan Sya’ban Rasulullah saw mengkhutbahi kami, beliau bersabda : Hai manusia ! bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang padanya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan telah menaungi kamu. Allah tetapkan shaum sebagai satu kewajiban, dan shalat pada malamnya sebagai tathawu’ (sunat). Siapa yang mendekatkan (melaksanakan) sesuatu kebaikan (sunat), maka (pahalanya) seperti (pahala) bagi orang yang menunaikan kewajiban. Dan siapa yang menunaikan kewajiban, (pahalanya) seperti (pahala) yang menunaikan kewajiban sebanyak tujuh puluh kali. Bulan itu adalah bulan (penuh dengan) kesabaran dan bersabar itu pahalanya adalah surga. Bulan penuh dengan kebaikan, bulan yang akan bertambah rizki seorang mukmin. Barang siapa memberi makan yang shaum pada bulan itu baginya maghfirah bagi dosa-dosanya dan lehernya akan terlepas dari api neraka, dan baginya (orang yang memberi makan) akan mendapat pahala seperti pahala yang diberikan kepada yang shaum tanpa terkurangi sedikitpun dari pahalanya itu. Para sahabat bertanya, kami semua tidak mendapatkan sesuatu untuk memberi makan yang shaum, beliau menjawab : Allah akan memberi pahala seperti ini kepada orang yang memberi makan yang shaum walaupun hanya dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau sesuatu yang dicampur dengan susu. Dan bulan itu adalah bulan yang awalnya penuh rahmat, pertengahannya penuh maghfirah dan akhirnya pembebasan dari neraka. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya dan juga yang lainnya dengan sedikit perbedaan redaksi. [12] Namun sayang, hadis ini pun dha’if karena pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud’an, Yusuf bin Ziyad  al-Nahdi, dan Iyyas bin Ghafar. Menurut ahlu al-naqd (kirtikus hadis) Yahya bin Ma’in, “Ali bin Zaid bin Jud’an adalah laisa bihujjah (tidak dapat dijadikan hujjah)”. Menurut Abu Zur’ah, “Ali bin Zaed bin Jud’an laisa bi al-qawiy (tidak kuat)”, dan begitu pula menurut ulama yang lainnya seperti Abu Hatim, An Nasai dan Ibnu Khuzaimah. Menurut Imam Ibnu Hajar, "Ia dha’if".[13] Berkaitan dengan Yusuf bin Ziyad al-Nahdi. Mengenai kedha’ifannya ditegaskan oleh al-Nasai. Sementara al-Bukhari dan Abu Hatim menyatakan dia sebagai rawi yang “Munkar al-Hadits (hadisnya diinkari)”. Dan al-Daraquthni menyatakan, “Dia rawi yang termasyhur dalam meriwayatkan hadis-hadis yang bathil.”[14] Dalam ilmu kritik rawi hadis (al-jarh wa al-ta'dil), rawi yang mendapatkan penilaian seperti di atas, apabila ia meriwayatkan hadis, maka hadisnya itu tidak dapat dijadikan dalil dalam agama.[15] Imam Ibnu Khuzaimah sendiri yang meriwayatkan hadis tersebut nampaknya masih meragukan otentisitas hadis tersebut. Sebagaimana sebelum menuturkan hadis tersebut beliau menyebutkan : باب فضائل شهر رمضان, إن صح الخبر "Bab tentang fadhilah-fadhilah bulan Ramadhan, apabila hadis berikut ini shahih"[16] Dr. Muhammad Mustafa al-A'zhami menyatakan, "Hadis ini sanadnya dha’if", Imam al-Albana (al-Fathu al-Rabani 9/233) menyatakan, "Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya, kemudian berkata, 'jika hadisnya shahih'. Diriwayatkan pula oleh Abu Syaikh Ibnu Hiban dalam al-Tsawab, Ali bin Zaed bin Jud'an dha’if."[17] Pada riwayat al-Baihaqi dan al-Haitsami[18], selain diriwayatkan melalui rawi-rawi dha’if di atas, juga terdapat pada sanadnya rawi yang majhul (tidak dikenal) yaitu Iyyas bin Ghafar. Menurut Ibnu Hajar, “Aku tidak mengenal rawi bernama Iyyas.”[19] Dengan keterangan tersebut, hadis riwayat Ibnu Khuzaimah ini tidak dapat memperkuat hadis riwayat al-‘Uqaili di atas, dan begitu pula sebaliknya, karena yang menjadi faktor kedha’ifan keduanya sangat fatal. Memang ada pendapat, bahwa hadis dha’if dapat dijadikan dalil untuk beramal kebaikan (fadhail al-a'mal), tetapi ada syarat-syarat tertentu, antara lain kedha’ifan hadis tersebut tidak parah. Sementara hadis fadhilah Ramadhan yang ini kedha’ifannya cukup parah. Dengan demikian, hadis ini tidak dapat dijadikan dalil apapun. Bila Ramadhan dengan berbagai bentuk ibadah yang disyariatkan di dalamnya adalah sebuah "anugerah terindah" bagi setiap muslim, maka dengan dha’ifnya hadis tersebut tidak menyebabkan "bulan penuh berkah" itu berkurang atau hilang keberkahannya, karena tak sedikit fadhilah-fadhilah Ramadhan telah diungkap dalam berbagai hadis yang shahih. Dan banyaknya hadis shahih tersebut cukup menjadi bukti agungnya bulan Ramadhan ini, sekaligus menjadi motivasi yang tinggi bagi setiap muslim untuk memaksimalkan ibadah dan menggapai derajat taqwa di dalamnya. Wallahu a'lam bi al-shawab Referensi; [1] HR. Ibnu ‘Adi, al-Kamil Fi al-Dhu’afa’ al-Rijal 3/331, al-‘Uqaili, al-Dhu’afa’ al-Kabir 2/162, al-Dailami, al-Firdaus al-Akhbar 1/68. Lihat pula,  al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir 1/432, al-Munawi, Faidhu al-Qadir 3/86, al-Albani, Silsilat al-Ahadits al-Dha’ifah 4/70. [2] al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir 1/432, al-Albani, Silsilat al-Ahadits al-Dha’ifah 4/70. [3] Al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 94. [4] Al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 94. [5] Mizan al-I’tidal 2/178. [6] al-Majruhin 1/342. [7] al- Jarhu Wa al-Ta’dil 8/269, al-Dhu’afa’ Wa al-Matrukin 3/119. [8] al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 93. [9] al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm.  64-65. [10] Lihat, Musthafa ‘Azami, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin, hlm. 84. [11] al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 64-65. [12] HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah 3/191, al-Baihaqi, Syu’abu al-Iman 3/305-306, al-Haitsami, Musnad al-Harits 1/412, al-Khatib al-Bagdadi, Maudhih Auham al-Jam’i Wa al-Tafriq 2/149 dengan sedikit perbedaan redaksi. [13] Al- Jarhu Wa al-Ta’dil 6/185, Tahdzib al-Kamal 20/434-446, Taqrib al-Taqrib 1/413. [14] Lisan al-Mizan 6/321, Mizan al-I’tidal 4/465, al-Majruhin 3/133. [15] Ushul al-Takhrij Wa al-Dirasat al-Asanid, hal. 166. [16] Shahih Ibnu Khuzaimah 2/910. [17] Tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah 2/910. [18] Lihat. al-Baihaqi, Syu'ab al-Iman 3/305-306 dan al-Haitsami, Musnad al-Harits 1/412, al-Muthalib al-'Aliyah 2/322 no. 1050. [19] Tahqiq Syu’ab al-Iman 3/305.   *** Penulis: Ahmad Wandi, koordinator Pusat Kajian Hadis Pemuda Persis (Lembaga Kajian Turats Dan Pemikiran Islam PP. Pemuda Persis), Wakil Ketua PD. Pemuda Persis Kab. Bandung Barat, Ketua PC. Pemuda Persis Lembang.
Reporter: Reporter Editor: admin