Terdapat dua pandangan diametral tentang demokrasi, yakni pandangan yang mendukung demokrasi dan yang menolak demokrasi.
Pandangan yang mendukung demokrasi memiliki beberapa argumentasi sebagai berikut:
Pertama, demokrasi mengedepankan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat merupakan prinsip demokrasi yang utama. Pemerintahan demokrasi disebut sebagai pemerintahan “dari, oleh, dan untuk” rakyat. ”Dari rakyat,” berarti penguasa (eksekutif) adalah pemegang mandat rakyat untuk melaksanakan kehendak-kehendaknya. ”Oleh Rakyat,” berarti dipilih rakyat, lewat proses pemilihan, dari kalangan rakyat, bukan karena keturunan, warisan ataupun wasiat (wahyu). Dan ”Untuk rakyat”, berarti kekuasaan dijalankan demi kepentingan rakyat guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan menjaga hak-hak (asasi) nya.
Kedua, demokrasi memberikan peluang kebebasan dalam pengambilan keputusan. Dalam setiap masalah, keputusan diambil dengan musyawarah, baik dengan mufakat atapun pungutan suara (voting). Yang menang adalah pihak mayoritas. Di sini berlaku, kebenaran ditentukan secara kuantitatif, oleh kehendak mayoritas. Hukum adalah milik mayoritas.
Ketiga, demokrasi menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Ide kedaulatan rakyat hanya mungkin tegak dalam masyarakat penganut paham kebebasan (al-hurriyah), khususnya kebebasan beragama.
Keempat, demokrasi memberikan pembagian kekuasaan (power sharing), kekuasaan Negara dibagi menjadi kekuasaan eksekutif (kabinet), legislatif (parlemen), yudikatif (kehakiman). Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan ditangan satu orang yang akan mendorongnya menjadi diktator.
Kelima, demokrasi memberikan ruang pemilihan umum, baik untuk pemilihan presiden ataupun anggota parlemen, sebagai bentuk partisipasi rakyat sebagai pemilik kedaulatan secara langsung dalam menentukan corak pemerintahnya. Pemilu dilaksanakan untuk merealisasikan sistem perwakilan
Sementara pandangan yang menolak demokrasi memiliki argumentasi lain lagi;
Pertama, demokrasi bukan ajaran Islam. Pemaksaan istilah serupa itu hanya akan menyesatkan dan mengaburkan pengertian Islam itu sendiri.
Kedua, demokrasi dipandang bukan berasal dari ajaran Islam, tetapi berasal berasal dari tradisi kaum kafir. Sayyid Quthub mengingatkan larangan umat Islam melakukan tasyabbuh atau menyerupai orang kafir: “Rasulullah melarang kaum muslimin bertasyabbuh dalam pakaian dan penampilan, gerak dan tingkah laku, perkataan dan adab, karena dibalik semua itu terdapat perasaan batin yang membedakan konsep, manhaj dan watak jamaah Islam dengan konsep, manhaj dan watak jamaah lainnya.
Rasulullah juga melarang kaum muslimin untuk menerima (hukum/aturan/ideologi) selain dari Allah SWT. Padahal manhaj yang Allah berikan kepada umat ini adalah untuk diwujudkan di muka bumi.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Aku diutus menjelang Hari Kiamat dengan pedang sampai Allah disembah dan tidak ada sekutu baginya. Dia menjadikan rizkiku ada di bawah bayangan tombakku. Dia menjadikan kehinaan dan kekerdilan bagi siapa saja yang menentangku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut”. (HR. Ahmad, dengan sanad hasan)
Ketiga, berdasarkan pada prinsip ini, demokrasi merupakan aqidah kaum kafir yang harus ditolak.
Keempat, demokrasi adalah suatu sistem yang menjadikan sumber perundang-undangan, penghalalan, dan pengharaman sesuatu adalah rakyat, bukan Allah SWT. Pemilihan umum berfungsi untuk memilih wakil-wakil di parlemen (lembaga legislatif). Hal ini berarti bahwa yang dipertuhan, yang disembah, dan yang ditaati---dalam hal perundang-undangan---adalah manusia, bukan Allah. Ini adalah tindakan menyimpang, bahkan membatalkan prinsip Islam dan Tauhid; dan
Kelima, demokrasi menimbulkan mafsadat, karena sistem politik diubah dari sistem tauhid menjadi sistem syirik karena yang menjadi patokan hukum demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Karena itu, jargon yang diusung para penentang demokrasi adalah; tegakkan syariat dan tinggalkan demokrasi.
Dari dua pandangan yang sangat diametral antara yang mendukung dan yang menolak demokrasi, sesungguhnya terdapat titik temu yang dapat menjembatani antara dua kubu yang berbeda itu.
Pertama, prinsip keadilan (justice). Umat Islam diwajibkan untuk membangun tatanan peradaban yang adil. Sebagai komunitas yang beriman, Umat Islam harus mampu menegakkan keadilan dalam setiap perkataan dan perbuatan.
Jika terjadi perselisihan di tengah masyarakat, seorang mukmin wajib mengedepankan rekonsiliasi antar sesama mukmin untuk menjaga perdamaian. Dalam menetapkan hukum, Umat Islam wajib berlaku adil dan amanah. Bagi umat Islam, berlaku adil adalah keharusan dalam menetapkan keputusan hukum di antara manusia.
Kedua, prinsip persamaan (equality). Islam tidak mengenal perbedaan. Manusia semua diciptakan sama, dalam hak dan kewajiban. Islam mewajibkan manusia untuk bisa menerima perbedaan, warna kulit, dan suku bangsa. Prinsip persamaan, juga merupakan wujud dari pengakuan Islam atas penghargaan hak-hak asasi manusia.
Islam secara tegas menyatakan, bahwa perbedaan paling esensial dihadapan Sang Maha Pencipta, hanyalah dalam hal ketakwaan. Sebagaimana firman Allah, "Wahai sekalian manusia, Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa". (QS. al Hujurat, 49: 13).
Ketiga, prinsip kebebasan (freedom). Prinsip kebebasan berada pada tempat istimewa dalam Islam. Allah berfirman dalam Al Qur-an, surat Al Baqarah ayat 256, "Tidak ada paksaan dalam memeluk (agama) Islam". Ayat itu mengandung makna, bahwa kebebasan adalah fitrah.
Manusia adalah makhluk terhormat yang diberikan kemuliaan oleh Allah SWT untuk mempunyai kebebasan memilih. Tentu saja, kebebasan dalam ajaran Islam itu adalah kebebasan yang berakhlak, yang membawa manfaat, bukan kebebasan yang melebihi batas, sehingga mengganggu ketentraman kehidupan umat manusia. Prinsip kebebasan dalam Islam juga mengandung arti, bahwa ajaran Islam menghargai semua wujud kemajemukan agama dan sosial budaya sebagai sunnatullah.
Ajaran Islam sangat menghargai sikap toleransi, sebagai tata-nilai sosial yang penting dalam membina hubungan muamalah antara umat Islam dengan pemeluk agama lain. Islam memandang penganut agama lainnya secara sejajar dan terbuka untuk dapat diajak terlibat aktif dalam membangun sebuah iklim sosial yang majemuk.
Keempat, prinsip musyawarah (dialog). Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 159, ”Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...”.
Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan agar Umat Islam menjadikan musyawarah atau dialog sebagai awal dari setiap proses pengambilan keputusan. Beliau selalu meminta nasihat atau saran kepada sahabatnya tentang suatu masalah. Bahkan, musyawarah merupakan salah satu kunci sukses kepemimpinan beliau.
Dari diskursus yang berkembang tentang demokrasi, apalagi problem fikih siyasah kekinian yang sudah merembet, bukan hanya berkaitan dengan keberadaan Negara dan kepala Negara, tetapi juga cara-cara teknis pengangkatannya, terdapat beberapa rekomendasi yang perlu dikaji lebih jauh, dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut;
Pertama, para sahabat terdahulu menentukan berbagai cara dalam menyikapi pemilihan pemimpin, sehingga hal ini merupakan persoalan ijtihadi yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Kedua, demokrasi sebagaimana dilakukan di Indonesia atau di Negara modern lain, perlu ditempatkan pada proporsi yang tepat; apakah dibolehkan selama untuk kepentingan maqashid syariah; apakah hanya dijadikan alat atau strategi pemenangannya; atau justru sebagai sebuah tradisi yang dapat diberi label bid’ah.
Ketiga, Indonesia tidak dapat disebut negara yang mempertuhankan demokrasi, karenanya tidak dapat juga disebut negara kafir atau syirik karena beberapa hukum syariah diadopsi oleh negara.
Keempat, dalam pandangan Islam, demokrasi sebaiknya disebut demokrasi Islam atau Theo-democracy.
Kelima, Dalam urusan umuri dinikum (agama), tidak bisa dimusyarahkan lagi, sedangkan dalam urusan umuri dunyakum (duniawi), bisa dimusyawarahkan.
Keenam, Pembatasan masa jabatan dalam kepemimpinan, tidak ada dasar hukum syar’i.
Ketujuh, demokrasi dalam Islam harus dibangun berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah; sementara demokrasi sebagai tata nilai yang mendewakan hak asasi manusia bertolak belakang dengan ajaran Islam; dan
Kesembilan, demokrasi sebagai alat, dapat diisi dengan nilai-nilai Islam.
Dari pertimbangan di atas, saya mengusulkan beberapa hal:
Pertama, istilah demokrasi sebaiknya diganti dengan Syuro. Syuro di jam’iyyah Persis, baik cara dan masa kepemimpinan seyogianya mencontoh sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin.
Kedua, Amandemen terhadap Undang-Undang buatan manusia termasuk Qanun Asasi dan Qanun Dakhili, boleh dilakukan karena sifatnya pilihan-pilihan, kecuali yang bersifat taabudi.
Ketiga, Persis harus menolak demokrasi sebagai sebuah nilai yang mempertuhankan rakyat. Persis menjadikan demokrasi hanya sebagai mekanisme/alat untuk melakukan proses Islamisasi.
***
Penulis: Prof Dr. H Dadan Wildan