Jakarta, persis.or.id - Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP PERSIS) Dr. K.H. Jeje Zaenudin, M.Ag mengungkapkan pandangannya mengenai dinamika politik saat ini.
Memasuki awal 2024, suhu politik nampaknya semakin panas. Tidak terkecuali di internal Jam'iyah. Bagaimana Ustaz sebagai Ketum PP PERSIS menyikapinya?
Saya berpikir situasi ini hal yang wajar dan normal saja. Menunjukkan bahwa atensi masyarakat cukup besar terhadap hajatan politik nasional, terutama menyangkut Pilpres.
Justru akan menjadi aneh jika masyarakat tidak peduli atau dingin-dingin saja terhadap agenda politik bangsanya sendiri.
Hanya saja kita sebagai lembaga Ormas tentu wajib ikut mengawal dan menetralisir agar antusias politik masyarakat jangan sampai berlebihan menjadi fanatisme tidak rasional dalam hal dukung mendukung pasangan calon presiden-wakil presiden.
Jangan sampai dukung mendukung itu jadi klaim-klaim teologis dan ideologis. Umpamanya sampai mengklaim bahwa paslon dukungannyalah yang Islami, paslon yang lain adalah ‘dajjal’, umpamanya.
Atau berkampanye bahwa yang tidak mendukung paslon pilihannya dianggap ekstrimis yang anti NKRI, atau sebaliknya distigma tidak sempurna keislamannya, dan lain sebagainya. Jelas cara seperti itu sudah keluar dari konteks pemilu yang beretika dan beradab.
Dalam hal ini, kita mengajak agar semua para mubaligh dan warga jamiyah memberi teladan yang baik, yaitu berpartisipasi politik yang aktif, positif, kontributif, selektif, dan beradab sebagai cerminan masyarakat yang iltizam kepada nilai-nilai Al Quran dan Sunnah.
Beberapa hari belakangan ini ada komunitas-komunitas yang mengklaim sebagai kumpulan keluarga besar PERSIS, alumni pesantren PERSIS, generasi muda PERSIS, dan sebagainya, memberi dukungan secara terbuka kepada pasangan Capres-Cawapres tertentu. Bagaimana Ustaz menanggapi itu?
Pertama. Sejak Musykernas II November lalu, sikap PERSIS secara lembaga sudah clear. Kita mengambil posisi netral dan independen dalam pengertian dan makna tidak berafiliasi dengan partai manapun dan tidak menerima tawaran jadi tim sukses paslon manapun.
Kita serahkan itu semua kepada hak masing-masing individu. Karena memang ormas secara lembaga tidak punya hak suara, hak suara itu milik masing-masing individu.
Tetapi jika secara moril kepemimpinan atau diminta oleh warga jamiyah harus memberi arahan, bisa saja menjelang beberapa hari pencoblosan memberi arahan atau panduan, walau bukan suatu keharusan.
Kedua. Saya sebagai Ketum tentu mencermati, menganalisis, dan juga mendapat masukan dari tim siasah, bagaimana dinamika dan perkembangan aspirasi politik pada umat secara keseluruhan, dan khususnya kalangan generasi muda yang sangat dominan, bisa jadi lebih dari 60 persen warga jamiyah adalah generasi muda.
Kita sebagai pimpinan pusat tentu saja harus sangat memahami, mengkaji, dan menyikapinya dengan hati-hati, sabar, dan bijaksana.
Para pemuda adalah aset kita yang sangat berharga. Gelombang pertumbuhan generasi muda jamiyah kita 15 tahun terakhir ini melahirkan trend dan aspirasi politik yang beragam.
Tentu sebagai induk organisasi, PERSIS harus mampu mewadahi, memenej, dan menyalurkan potensi itu secara baik dan benar.
Jangan sampai potensi dan aspirasi generasi muda itu diberangus, dibongsai, dipangkasi, dan dibuang terserak serak karena kita tidak memiliki institusi politik untuk menampungnya.
Jangan pula kita membiarkan dan melepasnya tanpa kendali sehingga dapat menjadi benalu yang merongrong pertumbuhan jamiyah yang sehat.
Maka, jika mereka mengklaim sebagai komunitas bagian dari keluarga besar PERSIS, ya, mereka berhak, walaupun secara hukum tidak bisa dipertanggungjawabkan formalitas dan pengakuannya oleh PP PERSIS.
Umpamanya lima orang mengklaim sebagai himpunan alumni lintas pesantren PERSIS dari ponpes PERSIS yang berbeda.
Walaupun umpamanya mereka hanya lima orang dan hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah. Tentu mereka tidak punya hubungan struktural apapun dengan PERSIS sebagai ormas.
Tapi jika mereka melanggar hukum, seperti mencemarkan nama baik PERSIS, mencatut nama besar dan lambang resmi PERSIS, dan sebagainya, bisa saja dituntut secara perdata atau pindana jika memang terjadi pelanggaran hukum.
Kita didik dan salurkan talenta politik generasi muda kita dengan kaidah-kaidah siasah yang berbasis adab dan akhlak Islami dalam bingkai jamiyah.
Lebih baik daripada mengeluarkan mereka dari jamiyah dan tidak mengakui mereka sebagau kader hanya karena beda pilihan.
Apa ajakan dan himbauan Ustaz kepada seluruh komponen Jamiyah dalam menyikapi tensi politik?
Saya berulang-ulang mengingatkan semua komponen jamiyah. Saat ini kita berada dalam transisi perubahan generasi jamiyah. Kita telah melewati usia satu abad perjalanan dakwah jamiyah.
Suka tidak suka kita akan menghadapi gelombang perubahan, termasuk dalam patadigma berpolitik. Maka tetaplah berpikir jernih, bersikap bijak dan proporsional. Jangan berlebihan menyikapi apapun.
Hajatan politik lima tahunan, adalah kontestasi visi, misi, dan program politik para paslon untuk lima tahun ke depan memimpin Indonesia yang lebih baik dan lebih Islami.
Jangan ditarik-tarik jadi seperti pertarungan akidah: antara iman dan kafir, atau seperti mau perang ideologi: antara ideologi Islam dan komunis, dan sebagainya.
Pikiran-pikiran seperti itu hanya akan merusak persatuan bangsa, dan membawa konflik ideologi masa lampau yang merugikan masa depan ummat Islam dan bangsa Indonesia.
[]