Bandung - persis.or.id, Tindakan penangkapan oleh pihak kepolisian terhadap Nurul Fahmi yang membawa bendera bertuliskan kalimat Tauhid (Laa ilaaha illallah) dinilai mencederai perasaan umat Islam.
Nurul Fahmi (29) merupakan seorang Hafidz Quran, dirinya langsung ditangkap dan dengan cara yang tak etis, pasalnya Fahmi ditangkap sedangkan kondisi istri baru saja melahirkan.
Akhirnya umat Islam terperanjat karena nyatanya hanya bendera bertuliskan kalimat tauhid saja yang dipersoalkan oleh pihak kepolisian, sedangkan coretan coretan lain dan kalimat kalimat lain tak dipermasalahkan oleh Polri. Sungguh ironis, tak mampu menjalankan supremasi hukum.
Bayu T. Possuma, Ph.D, anggota Dewan Pakar Wahdah Islamiyah, menilai jika kalimat tauhid ditempel atau dituliskan kepada bendera dianggap menghina dan menodai, maka setidaknya ada dua implikasi.
"Pertama, Benderanya dianggap lebih mulia dan kalimat tauhidnya sesuatu yang rendah. Sehingga ketika bendera ditempeli kalimat tauhid, bendera tersebut menjadi rendah dan ternoda. Ini adalah bentuk kesyirikan", ujarnya.
"Kedua, Kalau dianggap kalimat tauhidnya menodai bendera, maka kalimat tauhid dianggap sesuatu yang tercela, noda dan hina, karena bisa menodai bendera. Ini jelas masuk dalam penistaan agamanya", ungkapnya.
Polri dapat dituntut balik dengan pasal penistaan agama, karena bagi kaum Muslimin kalimat tauhid adalah kalimat yang mulia bukan noda dan cela. Sekalipun pada akhirnya Nurul Fahmi dibebaskan. Yang jadi persoalannya adalah tindakan penangkapan langsung oleh pihak kepolisian terhadap masalah ini.
Kalau penulisnya dianggap punya niat menghina bendera dengan menuliskan kalimat Tauhid, maka tuntutan hukum penistaan agama lebih berat lagi, karena kalimat tauhid dianggap hina dan bisa dipakai untuk menghina. (*)