Kolaborasi Alumni Pesantren Tradisional dan Modern untuk Pesantren Postmodern
Oleh. Usman Adhim, S.H.I. (Penggiat Pendidikan & HKI)
Dalam dinamika pendidikan Islam di Indonesia, pesantren selalu menjadi benteng moral dan intelektual umat. Namun, di tengah cepatnya perubahan zaman, muncul tantangan baru yang menuntut sistem pendidikan pesantren untuk beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya. Di sinilah pentingnya kolaborasi alumni dari pesantren tradisional dan modern untuk membangun wajah baru pesantren, yaitu pesantren postmodern yang lebih responsif, transformatif, dan reflektif, serta relevan dengan kebutuhan sekaligus tantangan zaman.
Para alumni pesantren tradisional seperti An-Nuqoyah Guluk-Guluk Sumenep, diharapkan mampu membawa nilai kuat yang khas berupa kedalaman ilmu - ilmu klasik (turats), ketekunan dalam tradisi sanad keilmuan, dan keteguhan dalam menjaga adab serta akhlak santri. Mereka adalah pewaris keilmuan ulama salaf yang menempatkan keberkahan, ketaatan, dan sanad keilmuan sebagai fondasi pendidikan.
Sementara itu, alumni pesantren modern seperti Daarussalam Gontor, pesantren Al – Amin Prenduan Sumenep juga pesantren At – Tanwir Bojonegoro, diharapkan mampu menyumbangkan semangat keterbukaan, manajemen pendidikan yang sistematis, disiplin, dan wawasan global yang luas. Sebagai alumni pesantren modern terbesar dan tersohor, sudah tidak diragukan lagi bahwa mereka terbiasa berpikir konseptual, analitis, dan mampu menjembatani tradisi keilmuan Islam dengan konteks global. Adapun alumni pesantren seperti Persis Abu Hurairah Sapeken, memiliki karakter dakwah yang kuat, semangat rasionalisasi ajaran Islam, serta keberanian dalam menyuarakan reformasi keagamaan yang berdasar pada pemahaman teks yang murni dan logis.
Jika kekuatan-kekuatan pesantren tradisional dan modern tersebut, yang tercermin dalam diri alumni - alumninya dapat disinergikan, maka akan lahir pesantren postmodern yang tidak hanya menanamkan nilai – nilai kedisiplinan, mengajar kitab kuning dan bahasa Arab atau bahasa inggris, tetapi juga melatih berpikir kritis, literasi, kepemimpinan (leadership), dakwah, kewirausahaan, dan kepekaan terhadap isu - isu pendidikan dan kemanusiaan, serta lingkungan. Pada akhirnya, pesantren postmodern tidak akan lagi membenturkan salafiyah dan khalafiyah, tetapi justru memadukan keduanya dalam satu tarikan nafas : “al-muhafazhah ‘ala "al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah." yaitu menjaga nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik.
Kolaborasi yang efektif dan produktuf antar - alumni lintas masa dan tradisi ini, akan mampu membuka ruang dialog kritis konstruktif yang lebih luas. Para alumni tradisional menjadi penjaga akar spiritual dan keaslian keilmuan, sedangkan alumni modern menjadi penggerak inovasi dan pembaharuan sistem yang terpadu (integralistic system), yang secara ersama - sama, mereka dapat membangun pesantren yang bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga pusat transformasi sosial, laboratorium peradaban, dan ruang lahirnya ulama - intelektual yang berkarakter Indonesia dan berwawasan global.
Pada akhirnya, pesantren postmodern akan hadir dengan tanpa kehilangan ruh keislaman, tetapi justru menemukan bentuk baru keislaman yang transformatif, adaptif, terbuka, dan membumi. Di tangan para alumni pesantren lintas masa yang bersatu padu, pesantren bukan lagi nostalgia masa lalu, melainkan indutri sumberdaya manusia generasi emas, peta jalan arah baru menuju masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik.
BACA JUGA:Menguak Rahasia Sukses Pendidikan di Cina