Santri Panggung Digital, Mitos atau Fakta?

oleh Lani Lasna Ulhaq

13 Desember 2025 | 14:16

Santri TikTok: Mitos Baru dan Krisis Adab Digital Santri

Fenomena maraknya santri Persis yang membuat konten TikTok—dengan gaya gen-Z yang cenderung centil, penuh gimmick, gestur dramatis, dan kadang menabrak adab keilmuan—semakin sulit diabaikan.


Terlebih setelah kemunculan Film Khoas, yang tanpa sengaja ikut melambungkan romantisasi kehidupan pondok, santri, dan segala aksesorinya.


Lalu lahirlah label baru: “Santri TikTok”. Label yang terlihat sepele, namun sesungguhnya adalah produk ideologis yang sedang bekerja.


Secara denotatif, itu hanya berarti santri yang bermain TikTok. Secara konotatif, itu menggambarkan santri yang larut dalam budaya FOMO—takut ketinggalan tren, takut tidak eksis, takut tidak dilihat.


Namun pada level mitos, seperti kata Roland Barthes, label itu mulai membentuk realitas baru yang dianggap natural, padahal sangat politis dan sarat rekayasa sosial.


Mitos itu berkata: “Santri itu sama saja dengan remaja kebanyakan. Tidak ada bedanya. Identitas keilmuan tidak punya wibawa apa-apa.”


Di sinilah problem sebenarnya dimulai. Ketika seorang remaja umum berjoget di TikTok, itu hanya hiburan. Ketika seorang santri berjoget, menirukan sound trend, membuat pose imut, atau memakai narasi cinta-cintaan ala K-teen drama—itu langsung menabrak citra moral yang selama ini menjadi pilar keberadaannya.


Thalibul ‘ilm adalah identitas sakral. Tapi platform digital mengubahnya menjadi komoditas visual. TikTok tidak peduli apakah seseorang santri, penuntut ilmu, atau muadzin. TikTok hanya mengenal satu hukum: yang tampil, menang; yang tidak tampil, tertelan. Dan sebagian santri masuk ke hukum itu tanpa perisai adab.


Lebih tajam lagi: Yang membuat konten tidak selalu banyak, tapi yang sedikit itulah yang membentuk mitos publik. Publik melihat satu video “cringe”, lalu otaknya menafsir: “Begini santri Persis sekarang.” Seolah-olah semua pondok sedang mengalami delegitimasi akhlak.


Ironisnya, mitos ini tidak hanya merusak citra santri, tapi juga menggerogoti rasa takut (al-haybah) mereka terhadap ilmu.


Bagaimana mungkin seseorang memuliakan Al-Qur’an jika ia lebih takut kehilangan likes daripada kehilangan adab?


Dalam epistemologi santri, puncak kehinaan bukanlah kurang ilmu, melainkan rusaknya adab. Dan adab digital adalah wilayah paling sering diabaikan. Film Khoas—yang semestinya menjadi ruang refleksi—malah dimanfaatkan sebagian untuk self-branding, memamerkan romantika palsu “dunia pesantren” demi views.


Maka, kita tidak sedang berbicara tentang sekadar jogetan atau viral-viral lucu. Kita sedang berbicara tentang pergeseran identitas.


Tentang hilangnya garis batas antara ruang privat pondok dan panggung liar TikTok. Tentang santri yang kehilangan orientasi keilmuannya karena terseret algoritma.


Maka “Santri TikTok” memang mitos baru. Mitos yang dibentuk oleh: Platform yang menormalisasi pamer diri; FOMO yang mengikis rasa malu; Minimnya adab digital di kalangan penuntut ilmu; Ketidaksiapan pondok menghadapi dunia yang tak lagi mengenal tembok; Kultur validasi instan yang menggantikan kultur ketekunan.


Mitos ini tidak boleh dianggap remeh. Karena kalau santri kehilangan ruhul ilm—jiwa ilmu—maka yang tersisa hanyalah kostum santri tanpa rohnya. Pondok bisa membangun gedung, tapi tidak semua pondok bisa melahirkan adab. Dan adab yang bocor akibat budaya viral adalah kerusakan yang tak terlihat, namun paling susah dipulihkan.


Santri bukan aktor.

Santri bukan seleb.

Santri bukan penghibur.

Santri adalah penjaga wajah agama.


Jika wajah agama dipertontonkan tanpa adab, maka yang rusak bukan hanya citra pondok—tapi martabat ilmu itu sendiri. []

BACA JUGA:

Dari Santri untuk Indonesia: Inisiator Riset Pertanian Sirkular Lahir dari Pesantren PERSIS

Reporter: Lani Lasna Ulhaq Editor: Taufik Ginanjar