Zionisme-Israel Dalam Lintasan Sejarah

oleh Redaksi

19 Februari 2025 | 08:15

Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum

Zionisme Era Eksodus Yahudi-Zionis ke Palestina


Imigrasi Yahudi ke Palestina ini terjadi sejak tahun 1881 sebelum gerakan Zionisme internasional dideklarasikan oleh Theodor Herzl tahun 1897. Namun ide perpindahan ke Israel ini sejak awal telah diilhami oleh ide-ide kaum yang menganut paham Zionis yang nanati bersama Herzl mendeklarasikan gerakan Zionisme internasional. Gelombang perpindahan kedua terjadi antara tahun 1904-1914 yang membawa sekitar 40 ribu orang Yahudi ke Palestina. Setelah berakhir Perang Dunia I terjadi gelombang perpindahan ketiga (1919-1923) dan keempat (1924-1929). Saat itu, Palestina sudah di bawah The British Mandate (Mandat Inggris) yang sangat menyokong didirikannya negara nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina, terutama setelah digagasnya Deklarasi Balfour tahun 1917. Dengan adanya deklarasi ini, Pihak Inggris membayangkan bahwasanya tanah air Yahudi akan menjadi dalih bagi klaim Inggris untuk menguasai negeri ini. Mereka juga membayangkan bahwa meraka akan mendapatkan dukungan dari warga Yahudi di Rusia dan Amerika dalam pertempuran melawan Jerman.


Munculnya Nazisme di Jerman tahun 1933 mendorong gelombang imigrasi keempat bangsa Yahudi ke Palestina. Pada tahun 1922 jumlah penduduk Yahudi di Palestina hanya 11%. Gelombang imigrasi keempat ini telah menaikkan jumlah orang Yahudi di Palestina secara signifikan hingga mencapai angka 33%. Adalah Peristiwa Holocaus (pembantaian bangsa Yahudi oleh Nazi) yang telah sangat signifikan membawa pada perubahan ini. Sampai akhir Perang Dunia II jumlah penduduk Yahudi di Palestina mencapai sekitar 600.000 jiwa. Jumlah ini sangat signifikan mengingat jumlah penduduk Palestina seluruhnya hanya sekitar 1,3 juta jiwa.


Karena sejak awal muncul protes dari bangsa Arab-Palestina terhadap keberadaan bangsa Yahudi di tanah mereka, situasi di Palestina terus menerus tegang. Bahkan, tahun 1937 muncul pemberontakan Arab terhadap penguasa Mandat Inggris. Pemberontakan ini mendorong Inggris mengubah kebijakan yang memperlonggar eksodus bangsa Yahudi dari berabagai belahan dunia, terutama dari Eropa, ke Palestina. Pada tanggal 17 Mei 1939 Inggris mengumumkan Naskah Putih yang berisi prinsip-prinsip baru tentang Palestina. Kebalikan dari kebijakan lama, pemerintah mengusulkan pendirian, dalam sepuluh tahun, negara Palestina Merdeka yang dihubungkan dengan Inggris oleh suatu perjanjian khusus.


Ketentuannya yang terpenting adalah mengenai imigrasi dan transfer tanah. Pada kedua hal ini, Inggris sebenarnya mengabulkan tuntutan orang-orang Arab, yaitu para imigran dibatasi hingga 75.000 orang untuk lima tahun berikutnya, dan setelah itu dihentikan sama sekali. Sementara itu, Palestina akan dibagi ke dalam tiga zona: pertama, zona yang memperbolehkan transfer tanah dari golongan Arab ke Yahudi; kedua, zona yang membatasi tindakan itu; dan ketiga, zona yang melarang sama sekali adanya transfer tanah itu.  


Naskah Putih ini, sekalipun belum memuaskan pihak Arab, namun telah mencatat kemenangan cukup berarti bagi mereka. Pada saat yang sama kelompok Zionis merasa sangat terganggu dengan munculnya kebijakan itu. Mereka menganggap bahwa kebijakan itu telah menyalahi Deklarasi Balfour. Zionis Yahudi kemudian menuntut agar Inggris mencabut kembali kebijakan itu. Belum sempat ketegangan antara keduabelah pihak reda, keburu meletus Perang Dunia II pada bulan September 1939 yang ditandai dengan jatuhnya Pearl Harbour ke tangan Jepang.



Era Dukungan Amerika


Ketika meletus Perang Dunia II konflik Arab-Yahudi di Palestina agak sedikit mereda karena pihak Sekutu tengah berkonsentrasi menghadapi blok Jerman-Jepang-Itali. Untuk itu, banyak sekali pasukan Sekutu yang berada di kawasan Palestina. Bila orang-orang Arab memaksakan meneruskan gerilya, sama saja dengan bunuh diri. Sebab, Israel berada di pihak Sekutu yang dimotori oleh Amerika.


Gencatan senjata Arab-Yahudi di Palestina hanya berlangsung sampai tahun 1943 karena dinodai oleh gerakan terorisme yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap pemerintah Inggris. Ada dua faktor yang menyebabkan munculnya gerakan ini. Pertama, adanya peningakatan luar biasa imigrasi Yahudi ilegal dari Eropa yang diduduki Nazi. Para Korban penyiksaan Nazi datang berbondong-bondong ke Palestina. Sementara, atas dasar Naskah Putih, pemerintah melarang mereka masuk ke Palestina. Mereka yang datang akhirnya diungsikan ke kamp-kamp penampungan di Siprus dan wilayah di seberang Palestina lainnya. Kedua, meningkatnya tekanan dari kelompok Zionis Amerika. Pada tanggal 11 Mei 1942 Organisasi Zionis Amerika bersidang di New York dan menghasilkan Program Biltmore yang diajukan oleh David Ben Gurion, ketua Komisi Eksekutif Agen Yahudi. Program Biltmor berisi: (1) pendirian negara Yahudi yang mencakup seluruh Palestina; (2) pembentukan militer Yahudi; (3) penolakan Naskah Putih tahun 1939 dan diteruskannya imigrasi tak terbatas ke Palestina yang tidak hanya diawasi oleh Inggris, tapi juga oleh Agen Yahudi. Karena alasan itu, orang-orang Yahudi berani memprotes kebijakan Inggris.


Keberanian mereka juga didukung oleh keberhasilan Zionis Amerika melobi Kongres Amerika Serikat agar mendukung usaha-usaha mereka untuk membatalkan Naskah Putih hingga kedatangan mereka ke Palestina tidak perlu dibatasi. Banyak badan legislatif negara bagian di AS yang mengesahkan resolusi pro-Zionis di atas. Bahkan pada bulan Februari 1944 Kongres AS mengeluarkan sebuah resolusi yang berisi permintaan untuk dibukanya kembali Palestina untuk imigran Yahudi tanpa pembatasan dan pembangunan kembali Palestina sebagai suatu “persemakmuran Yahudi yang bebas dan demokratis.” Resolusi ini juga mengharapkan campur tangan Pemerintah AS secara resmi untuk mencapai tujuan itu.


Resolusi Kongres AS ini memang tidak sampai jadi diberlakukan karena Jendrall Marshall berkenbeberatan atas resolusi itu karena hanya akan merugikan hasil perang Sekutu. Namun, berkat lobi-lobi yang dilakukan agan-agen Zionis kepada para petinggi AS, niat kaum Yahudi itu secara resmi mendapat dukungan dari Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt. Atas dasar dukungan itu, orang-orang Yahudi berani menentang kebijakan Inggris yang secara de jure masih menjadi pemegang kekuasaan atas Palestina.


Setelah itu, pemerintah Amerika terus menekan Inggris agar mencabut kembali kebijakan Naskah Putih-nya. Berkali-kali Inggris melakukan pembicaraan dengan pihak AS. Pihak Inggris tetap ingin mempertahankan diplomasi tradisional mereka untuk tidak memusuhi Arab. Oleh sebab itu, Inggris tetap berkeras untuk tetap melakukan pembatasan bagi para imigran Yahudi. Masalah tetap tidak selesai. Akhirnya, Inggris membawa masalah ini ke hadapan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tanggal 2 April 1947.


Dalam majelis PBB inilah Yahudi semakin mendapatkan angin segara karena mayoritas dukungan di Majelis Umum berasal dari Amerika dan Karibia yang menyokong mereka. Pada tanggal 29 November 1947 Majelis Umum PBB memutuskan untuk membagi wilayah Palestina berdasarkan kesatuan ekonomi. Melalui pembagian wilayah ini, kaum Yahudi berhasil mendapatkan 2/3 wilayah palestina meliputi: Yaffa, Galilea Timur sampai Lembah Esdraelon, daerah pantai dari Haifa hingga ke Selatan Yaffa, dan sebagian besar Negeb. Sisanya di bagian tengah dan timur Palestina diserahkan kepada bangsa Arab. Sementara Yerussalem dan Bethlehem berada di bawah pengawasan pemerintahan yang bertanggung jawab langsung kepada dewan Perwalian PBB. Keputusan PBB juga memperhatikan keputusan Inggris yang akan mengakhiri mandat atas Palestina pada tanggal 1 Agustus 1948, tanggal berdirinya negera Israel Raya. Inilah titik awal keberhasilan gerakan Zionisme merebut tanah Palestina.


BACA JUGA:

Palestina: Situs Kebenaran Risalah Allah

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon