Persis.or.id - Dalam menyambut hajat akbar jamiyyah, Persatuan Islam menggelar seminar internasional terkait maqashidus syariah, pada Sabtu (18/06/2022) di Hotel Horison Bandung.
Hadir pada kegiatan tersebut tiga ahli di bidang fikih dan ushul fikih dari Mesir dan Malaysia, yaitu Dr. Washfi Asyur Abu Zaid dan Dr. Muhammad Shafwan. Sementara itu, PERSIS diwakili oleh Dr. Haris Muslim, M.A.
Dr. Washfi menguraikan tentang sisi strategis maqashidus syariah dalam penetapan hukum. Pada awal paparannya, beliau menyampaikan sejumlah terminologi selain istilah maqasidus syariah, juga disampaikan pemahaman fatwa, hingga fungsi dan peran seorang mufti. Secara khusus, Washfi menyebutkan bahwa mufti memiliki posisi seperti nabi.
Terdapat lima hal yang patut diperhatikan bagi para mujtahid dalam melakukan perannya, di antaranya adalah pemahaman terhadap keterangan-keterangan syar’i, baik teks maupun konteks dan pembahasan terhadap dalil-dalil kontradiktif serta penyelesainnya.
Sementara itu, beliau menegaskan bahwa fatwa dan dinamisasinya tidak dapat dilepaskan dari empat elemen, yaitu tempat, waktu, manusia, dan keadaan atau kondisi yang ada.
Adapun pembicara kedua, Dr. Muhammad Shafwan menyampaikan proses pembuatan fatwa di Malaysia. Secara umum, umat Islam di Malaysia memegang madzhab Imam Syafi'i. Dua majelis fatwa yang ada, yaitu Jawatan Kuasa Negeri dan Jawatan Kuasa Kebangsaan berpegang pada Madzhab Syafi'i dalam penetapan hukum atau penetapan fatwanya.
Maqashidus syariah dan fatwa yang akan dibuat haruslah memiliki prinsip-prinsip berikut:
1. Fatwa hendaklah bersandarkan kepada dalil syari yang muktabar;
2. Fatwa yang diputuskan perlu menguraikan maalat al-af’al;
3. Menguraikan khilaf dalam sesuatu permasalahan;
4. Fatwa yang diputuskan harus memperhatikan kebiasaan (‘uruf) yang muktabar;
5. Manhaj mufti dalam berfatwa perlu bersifat sederhana dan wasatiyah;
6. Fatwa yang diputuskan mestilah sesuai dengan zaman dan seiring dengan kefahaman akal mereka.
Sedangkan pembicara ketiga, Dr. Haris Muslim menyoroti eksistensi Dewan Hisbah sebagai majelis yang membahas dan menetapkan suatu hukum, atas persoalan-persoalan yang muncul di tengah umat.
Di awal paparannya, beliau menguraikan secara singkat profil dan sejarah Dewan Hisbah yang awalnya bernama Majelis Ulama Persatuan Islam pada 1956. Kemudian, berubah nama menjadi Dewan Hisbah pada 1967.
Sejak awal kehadirannya, majelis fatwa ini telah membahas dan menetapkan hukum lebih dari 200 persoalan. Masalah-masalah yang dikaji dan dibahas tidak hanya persoalan seputar akidah dan ibadah, tetapi juga muamalah.
Beberapa persoalan kontemporer yang telah dibahas dan diputuskan dalam sidang Dewan Hisbah adalah terkait hukum euthanasia, bank ASI, dan lainnya.
Ia pun menyebutkan, metodologi istinbat hukum Dewan Hisbah Persatuan Islam berpijak pada dua sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Selanjutnya, menggunakan perangkat-perangkat ijtihadi semisal ijma, qiyas, dan lainnya.
Terkait maqashidus syariah yang berkembang, Dewan Hisbah dinilai belum menjadikannya sebagai salah satu bagian khusus dalam istinbat hukum. Walaupun demikian, asas-asas yang dijadikan pijakan dalam maqashidus syariah telah terintegrasi dalam produk-produk hukum yang dihasilkannya. Misalnya, hifdz ad-din, hifdz an-anfs, hifdz al-‘Aql, hifdz an-Nasl, dan hifdz al-maal.
Kontributor: Muslim Nurdin
Editor: Dhanyawan