Oleh: Naufal Al-Zahra, S.Pd. (Bidang Hukum, HAM, dan Analisis Kebijakan Publik PW Pemuda PERSIS Jawa Barat)
Permasalahan lingkungan dan perubahan iklim sedang menjadi tren perbincangan masyarakat dunia. Antonio Gutteres, selaku Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerangkan di muka pers pada 27 Juli lalu, bahwa kini era pemanasan bumi (global warming) telah berakhir. Saat ini, bumi sedang memasuki awal dari era pendidihan global (global boiling).
Global boiling yang disinggung oleh Sekjen PBB itu didasarkan pada laporan para ilmuwan. Mereka mengungkapkan, suhu bumi dewasa ini tercatat menjadi suhu terpanas sepanjang riwayat planet bumi. Hal ini turut berlaku juga dengan suhu di lautan yang mencapai titik paling panas sepanjang sejarahnya.
Penggunaan bahan bakar fosil dan efek gas emisi yang hasilkan rumah kaca di berbagai negara menjadi dalang utama di balik meningkatnya suhu bumi baru-baru ini.
Dampak yang ditimbulkan dari fenomena global tersebut di antaranya ialah kebakaran lahan, mencairnya es di sejumlah benua, dan suhu panas yang dirasakan secara langsung oleh kita.
Global boiling menjadi semakin kentara dirasakan masyarakat dunia manakala musim kemarau sedang berlangsung.
Di Indonesia, musim ini pada umumnya terjadi sepanjang bulan April hingga September. Artinya, pada bulan ini, Indonesia masih mengalami musim kemarau.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, perubahan musim di negeri ini justru menjadi tidak menentu akibat perubahan iklim global yang berubah drastis.
Dampak Global Boiling
Kebakaran lahan menjadi fenomena yang mudah sekali dijumpai di tengah musim kemarau dan fenomena global boiling.
Pada pertengahan bulan Agustus yang lalu, lahan di sekitar Patung Kujang Sapasang, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, yang baru saja diresmikan oleh Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat dilanda kebakaran. Kobaran api dan asap hitam pekat mengepul di bawah terik matahari yang panas.
Selain itu, insiden serupa yang sangat menyita perhatian masyarakat kita akhir-akhir ini adalah kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat.
TPA yang terletak di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat tersebut merupakan salah satu tempat pembuangan sampah terbesar di Jawa Barat.
Di tempat itu, sampah-sampah yang berasal dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi menumpuk.
Luas wilayah lahan yang digunakan menjadi tempat pembuangan itu mencapai 25 hektar, dengan kapasitas penerimaan sampah hingga 2 juta ton perhari.
Lahan yang dihuni oleh tumpukan sampah itu tiba-tiba terbakar pada 19 Agustus yang lalu. Puntung rokok yang masih menyala diduga kuat menjadi penyebab terbakarnya lahan pembuangan sampah tersebut.
Api yang semula hanya membakar sebagian kecil TPA Sarimukti, dengan mudahnya merambah menuju area lainnya.
Suhu udara yang berada di atas rata-rata, ditambah dengan musim kemarau menyebabkan kobaran api sulit dipadamkan. Akibatnya, kebakaran terus berlangsung di TPA tersebut selama lebih dari satu pekan.
Di samping itu, kebakaran ini membuat Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan status darurat sampah untuk kawasan Bandung Raya pada 24 Agustus lalu.
Status darurat sampah yang diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat berdampak pada penutupan TPA Sarimukti untuk sementara waktu.
Status itu juga memaksa 4 pemerintah daerah untuk menandatantani kesepakatan mengurangi 50% sampah ke TPA tersebut.
Dilansir dari situs jabarprov.go.id, pengurangan angkutan sampah dari 4 daerah ini diharapkan agar masing-masing pemda dapat mengajak dan mengeduksi warganya untuk mengurangi dan mengolah sampahnya sendiri.
Tanggungjawab Bersama
Di samping masalah suhu udara yang makin panas dan polusi udara yang kian memburuk, permasalahan sampah masih menjadi nominasi isu lingkungan yang tak kunjung selesai.
Padahal, kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya sesungguhnya telah dikampanyekan sejak dini di lingkungan sekolah, bahkan di tengah keluarga.
Sudah tak terhitung, ada berapa puluh atau mungkin berapa ratus komunitas dan aktivis lingkungan Indonesia terjun mengajak dan memberikan edukasi kepada masyarakat ihwal pembuangan dan pengelolaan sampah.
Salah satu komunitas yang belakangan ini aktif mengajak masyarakat untuk membersihkan lingkungan dari sampah yang menggunduk adalah Pandawa Group.
Berbagai aksi mereka ketika membersihkan sampah di tempat publik menuai pujian berlimpah dari sebagian masyarakat Indonesia.
Gelombang apresiasi yang tertuju pada aksi-aksi Pandawa Group, seharusnya membuat kita bercermin pada diri kita sendiri.
Sampai kapankah kita akan menjadi masyarakat yang terus bertepuk tangan menyaksikan usaha mereka? Kapan jasad ini bergerak untuk mengentaskan permasalahan klasik ini?
Mencari solusi atas permasalahan lingkungan pada dasarnya merupakan tanggungjawab umat manusia. Selama kaki-kaki kita ini masih berpijak pada planet bumi yang sama, selama itu pula amanat untuk menjaga bumi hadir di pundak kita.
Potensi untuk menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia salah satunya terdapat pada jutaan tangan umat Islam.
Dengan jumlah pemeluk sebesar 200 juta orang, umat Islam seharusnya tampil menjadi pelopor dalam menyelesaikan masalah sampah.
Doktrin-doktrin Islam berkenaan dengan kebersihan dan keindahan sepatutnya menjadi pedoman para pemeluknya agar senantiasa menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan.
Prosedur pengolahan sampah yang telah dikampanyekan oleh berbagai komunitas lingkungan dapat dipastikan akan makin luas manfaatnya jika turut dilakukan oleh unit-unit terkecil umat Islam di Indonesia.
Pola 3R (reduce, reuse, recycle) yang sering didemonstrasikan komunitas lingkungan sudah tiba saatnya untuk direplikasi oleh berbagai komunitas dan organisasi masyarakat Islam.
Seandainya berbagai perkumpulan Islam, dari tingkat pusat hingga cabang bahkan ranting mencanangkan gerakan pemberdayaan masyarakat secara kolektif seperti menyelenggarakan lokakarya daur ulang sampah, menggelar kompetisi produk daur ulang sampah, dan bahu-membahu turun ke jalan membersihkan lingkungan dari sampah, niscaya program-program tersebut akan turut berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan sampah.
Menengok kondisi bumi kita yang sedang tidak baik-baik saja, kini, bukan lagi saatnya kita sibuk berwacana mengutip ribuan dalil soal pentingnya menjaga lingkungan.
Alih-alih sekadar berwacana, saat ini, adalah saatnya kita untuk menyingsingkan lengan baju, bergerak bersama atas nama umat Islam menghidupkan dakwah lingkungan secara riil sebagai manifestasi hakikat ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Wallahu alam.
[]
Editor: Fia Afifah
Ilustrasi: Freepik.com