Memahami Insiden Pembakaran Al-Qur’an di Swedia Sebagai Pemicu dan Simbolisasi Gerakan Islamophobia Global

oleh Reporter

30 Januari 2023 | 13:20

Oleh: Drs. Muhammad Yamin, M.H.
(
Anggota BKBH PERSIS)

 

Selama setidaknya dua dekade terakhir, episode berulang Islamofobia mengalami peningkatan yang sulit dibantah telah terjadi di Eropa dan berimbas ke berbagai belahan lain di dunia.

Itulah yang terjadi pada 21/1/2023 lalu di depan Keduataan Besar Turki di Stocklholm, ketika politikus sayap kanan Denmark-Swedia, Rasmus Paludan, melakukan tindakan keji dengan membakar Al-Qur'an, kitab suci bagi umat Islam yang meyakininya sebagai firman Tuhan.

Hanya berselang satu hari, pada 23/1/2023 politisi sayap kanan Eropa lainnya mengambil bagian dalam adegan serupa. Politisi Belanda Edwin Wagensveld, ketua gerakan sayap kanan, PEGIDA, merobek beberapa bagian halaman Al-Qur’an suci sebelum kemudian membakarnya.

Begitulah fenomena umum yang terjadi di Eropa, beberapa tokoh politik sayap kanan yang ingin menarik perhatian publik dan konstituen mereka, dengan menimbulkan kontroversi melakukan tontonan (yaitu membakar Al-Qur'an) yang bertujuan untuk menimbulkan kebencian dan memusuhi miliaran Muslim di seluruh dunia.

Ketika umat Islam menuntut perhatian dan tindakan tegas atas tindakan kontroversial tersebut, yang dengan tepat menggambarkannya sebagai ujaran kebencian, segera mereka berdalih dengan dukungan dari pihak berwenang setempat, menyatakan dan berargumen bahwa itu hanya sebuah tindakan kebebasan berekspresi.

Bukan sebuah kebetulan bagi Paludan, yang sebelumnya dinyatakan bersalah atas rasisme, seperti juga tokoh sayap kanan Eropa lainnya memilih Al-Qur'an sebagai sasaran kebencian mereka. Mereka sangat menyadari bobot kitab suci dalam kehidupan dan identitas miliaran umat Islam, sehingga keputusan untuk membakar Al-Qur’an adalah keputusan yang diperhitungkan dan disengaja.

Paludan memiliki sejarah retorika rasis dan Islamofobia yang terdokumentasi, serta terlibat dalam percakapan seksual eksplisit dengan anak di bawah umur. Secara berulang dia telah menyerukan pelarangan dan pengusiran Muslim dan menggambarkan Islam sebagai "agama yang jahat dan primitif". Sejak tahun 2019 hingga 2023 ini, setidaknya lima kali Paludan melakukan tindakan rasial terhadap Islam dengan membakar halaman-halaman Al-Qur’an secara terbuka.

Jaringan Analisis Pemantauan Ekstremis (eman-network) melaporkan, bahwa politisi sayap kanan itu sebelumnya menyebut Al-Qur’an sebagai "buku besar pelacur" dan "mendesak para pengikutnya untuk buang air kecil di atas lembaran halaman Al-Qur’an".

Mengingat pandangan antimuslim yang sangat jelas ini, keputusan Paludan (berkali-kali) juga Edwin Wagensveld untuk membakar Al-Qur'an didorong oleh kebencian terhadap Islam. Tindakan ini dilakukan oleh tokoh sayap kanan bukan untuk mengekspresikan haknya untuk kebebasan berekspresi dan berbicara, tetapi dia memprakarsai pembakaran Al-Qur'an karena berusaha menyerang umat Islam. Tujuannya akhirnya jelas: Untuk menimbulkan rasa sakit dan luka bagi seluruh umat Islam di dunia, dan menjadi pemicu bagi tindakan serupa - atau yang lebih dari itu – di seluruh dunia.

Tindakan Paludan dan Edwin Wagensveld Sebagai Sebuah Simbolisasi

Masyarakat Barat mengalami kegagalan untuk memahami bahwa hak atas kebebasan berekspresi tidak mutlak. Ada perlindungan yang diperlukan untuk memastikan seluruh masyarakat merasa aman dan adil di balik hak kebebasan berekspresi. Dan tentu ada tanggung jawab untuk menjaga hak orang/kelompok lain di balik kebebasan siapa pun.

Begitupun, hak atas kebebasan berekspresi - dan apapun yang dilindungi atas namanya - bersifat subyektif. Mereka yang berada dalam posisi berkuasa sering kali memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tinjauan singkat atas kasus-kasus yang melibatkan jurnalis, akademisi, dan aktivis hak asasi yang telah dibungkam atau menghadapi tuntutan hukum karena pekerjaan mereka “hanya” karena mereka memberi perhatian kritis pada pembersihan etnis Palestina di Israel, telah dengan jelas menggambarkan subjektivitas (standar ganda) tersebut.

Contoh lain dari subjektivitas itu bisa dilihat pada 25 Januari 2023 lalu, ketika Twitter dan YouTube tunduk pada tekanan dari pemerintah India untuk menghapus referensi dan dokumentasi apa pun ke situs BBC yang menaruh perhatian pada peran PM Narendra Modi dalam program antimuslim Gujarat yang mematikan dan mengakibatkan meninggalnya ribuan nyawa muslim Gujarat pada tahun 2002.

Kejahatan rasial, terutama yang menargetkan muslim yang terlihat, terus terjadi, begitu pula pembatasan dan larangan jilbab yang semakin meningkat. Tindakan vandalisme dan pembakaran masjid tidak ada habisnya, dan di banyak negara pihak berwenang telah mengambil tindakan yang cukup besar untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil muslim, menutup organisasi dan masjid dan memenjarakan tokoh muslim.

Sama seperti kebebasan berekspresi yang digunakan untuk membenarkan Islamofobia, hal itu juga jarang diangkat ketika hak-hak umat Islam dibatasi. Muslim yang aktif secara politik dan mempertanyakan kebijakan yang bersifat islamofobia dianggap sebagai "ekstremis" dan "simpatisan teroris", membuat mereka rentan terhadap tuntutan pidana.

Bahkan akademisi muslim yang mempelajari islamofobia pun tidak aman dari tuduhan ini, seperti yang digambarkan dengan penargetan profesor Farid Hafez oleh otoritas Austria.

Dalam insiden-insiden ini, hanya ada sedikit diskusi seputar hak umat Islam atas kebebasan berekspresi. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bagaimana hak-hak yang tidak dapat dicabut diterapkan secara subyektif, seringkali merugikan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan rentan.

Media arus utama memperkuat kiasan antimuslim dengan membingkai suara-suara seruan keadilan masyarakat muslim sebagai permusuhan dan "ekstremis", mengkonstruksi mereka sebagai individu-individu yang berpikiran tertutup dan keras yang ingin membungkam kritik dan debat.

Sementara itu, Pembakaran Al-Qur'an adalah seruan simbolis untuk kekerasan terhadap umat Islam. Ini dimotivasi oleh fanatisme antimuslim dan dilakukan baik oleh individu maupun pemerintah berwenang yang memiliki sejarah mengambil bagian dalam tindakan provokatif, yang ditujukan untuk memusuhi dan melecehkan umat Islam seperti di Prancis dan Denmark, sebagai contoh.

Referensi untuk "kebebasan berekspresi" dalam konteks seperti itu tidak lebih dari kedok pandangan antimuslim, terutama karena hak muslim untuk bebas berekspresi semakin dibatasi di seluruh dunia, bahkan di negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia dan Arab Saudi.

Kegagalan untuk mengatasi insiden kebencian dan subjektivitas kebebasan seperti itu menciptakan lingkungan di mana islamofobia menjadi lebih normal terjadi di mana pun di dunia. Pada akhirnya semua itu menghasilkan lingkungan yang memusuhi dan berbahaya bagi umat Islam.

Apa yang bisa dilakukan Umat Islam dan Pemerintah indonesia?

Menteri luar negeri Swedia, Tobias Billstrom, menggambarkan tindakan Paludan sebagai "mengerikan" tetapi merujuk pada "perlindungan kuat" negara untuk kebebasan berekspresi dalam konstitusi Swedia sebagai alasan pihak berwenang tidak menghentikan acara tersebut.

Amerika Serikat menanggapi dengan cara yang sama, menggambarkan tindakan itu sebagai "sangat tidak sopan" tetapi berhenti mengutuknya. Sangat menarik bahwa pihak berwenang gagal (atau mungkin hanya tidak ingin) melihat insiden seperti itu sebagai bermotivasi kebencian dan berbahaya, mengingat kriminalisasi mereka atas perilaku serupa yang menargetkan kelompok islam yang terpinggirkan.

Media Eropa, yang umumnya memandang pembakaran Al-Qur’an baru-baru ini di Stockholm sebagai provokasi, membatasi diri untuk menyampaikan reaksi dari dunia muslim. Pers terutama berfokus pada bagaimana insiden tersebut telah membahayakan tawaran keanggotaan NATO Swedia yang dijegal Turki. Organisasi gereja Eropa tidak mengeluarkan kecaman, sementara kelompok masyarakat sipil di Eropa diam saja.

Namun, tidak dapat diterima bahwa organisasi-organisasi muslim di Eropa dan belahan dunia lain, bahkan tidak berusaha membuat siaran pers untuk mengutuk tindakan Paludan juga Wagensveld. Reaksi yang diredam dapat dilihat sebagai indikator betapa nilai-nilai agama secara bertahap terkikis.

Kurangnya sistem hukum pidana standar di antara negara-negara Eropa menambah kesulitan untuk mencegah lebih banyak tindakan semacam itu. Di beberapa negara, termasuk Swedia, Denmark, juga Jerman, orang bebas menghina dan tidak menghormati agama apa pun.

Karena tindakan seperti membakar AlQur'an tidak termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional, nampaknya sudah waktunya negara-negara mayoritas muslim menginisiasi Konvensi Internasional untuk melindungi situs suci, simbol keagamaan atau praktek ibadah keagamaan. Agar di masa depan tidak ada lagi penodaan dan pelecehan terhadap kitab suci dan praktik keagamaan Islam dengan berkedok kebebasan berkespresi atau dalih-dalih politik internasional apa pun.

Berkaca dari kasus Nupur Sharma pada Juni 2022 lalu yang dipecat dari jabatannya sebagai Juru Bicara Partai Bharatiya Janata (BJP) di India, setelah sebelumnya Sharma menghina Nabi Muhammad dalam sebuah wawancara di televisi. Hal itu bisa terjadi berkat kesatuan dan persatuan pemimpin dan penguasa muslim dunia dalam melakukan tekanan terhadap pemerintah PM Narendra Modi.

Dalam menyikapi kasus pembakaran Al-Qur’an dan pelecehan terhadap praktek keagamaan Islam, bersatunya para penguasa muslim dan berbagai organisasi Islam Internasional, akan memberi dampak nyata. Seperti yang pernah dilakukan dengan baik dalam kasus Nupur sharma.

Hal itu bisa diawali dengan diupayakannya sebuah Konvensi Internasional untuk melindungi kitab suci dan simbol serta situs suci umat Islam. Dan Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia bisa memulai langkah ini dengan menginisiasi, kemudian melakukan soft diplomacy sekaligus mengajak negara-negara mayoritas muslim untuk memulainya.

Masyarakat muslim indonesia pun, memiliki kewajiban untuk mendukung, bahkan mendesak pemerintah untuk memulai inisiatif tersebut.

Sudah waktunya, muslim Indonesia dan pemerintah Indonesia melakukan aksi nyata yang bisa memberi dampak dalam melindungi dan menjaga kehidupan keagamaan. Dan tidak hanya berhenti pada narasi-narasi kosong dengan mengutuk, membuat pernyataan kecaman, atau bahkan hanya sekedar mem-posting dan men-tweet di sosial media.

Mengingat migrasi umat Islam ke Eropa, agama harus dimasukkan dalam lingkup perlindungan yang lebih luas, termasuk dalam dimensi hukum sekuler. Umat Islam adalah bagian dari kehidupan publik dan praktik normatif hukum harus diterapkan sesuai dengan itu.

Wallahu’alam

[]

(dh)

 

Reporter: Reporter Editor: admin