Mengapa Jam’iyyah PERSIS Ada?: Menegaskan Peran Jam’iyyah PERSIS di Tengah Umat

oleh Reporter

28 Juli 2022 | 04:10

Oleh:
Cepi Hamdan Rafiq, S.Th.I
(Ketua Bidang Pendidikan PP Pemuda PERSIS)

 

A.  Realita Hidup Berjam’iyyah

Di jam’iyyah Persatuan Islam (PERSIS) yang tercinta ini, tidak sedikit yang masih belum terlalu memahami tujuan keberadaan jam’iyyah PERSIS itu sendiri. Dari mulai anggota maupun simpatisannya, baik dari kalangan PERSIS sebagai induk organisasinya maupun dari kalangan badan otonomnya terkhusus Pemuda PERSIS. Hal tersebut dapat dibuktikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Secara kuantitatif misalnya, di beberapa level pimpinan, baik di tingkat pimpinan jamaah maupun di tingkat pimpinan cabang, masih banyak yang mengeluhkan kurangnya kehadiran dan keaktifan anggotanya dalam kegiatan-kegiatan jam’iyyah, terutama dalam hal kurangnya antusiasme anggota dalam mengikuti halaqah keilmuan. Sedangkan secara kualitatif, para pimpinan sering mengeluhkan aspek ketidakharmonisan berjam’iyyah (konflik internal), baik antar personal (anggota/tasykil pimpinan) maupun antar lembaga (PERSIS dengan otonomnya).

Dari dua fakta tersebut, ketika seorang anggota belum menyadari pentingnya ilmu dan masih belum bisa keluar dari pusaran konflik—yang sejatinya justru dengan berjam’iyyahlah konflik dapat teratasi, kondisi seperti itu menggambarkan masih kurangnya pemahaman para anggota akan hakikat dan tujuan didirikannya jam’iyyah PERSIS. Maka, yang hendak ditekankan pada tulisan ini adalah pentingnya memahami dan menentukan tujuan dalam segalah hal.

Dr. Khalid bin Hamid al-Hazimi dalam bukunya Ushul at-Tarbiyyah al-Islamiyah pernah mengutip apa yang disampaikan Abdurrahman Albani dalam bukunya Ushul at-Tarbiyyah fie Dhau’ al-Islamiyyah. Beliau menjelaskan nilai-nilai positif yang akan didapat setelah terlebih dahulu menentukan tujuan:

  1. Mengarahkan dan menentukan tujuan aktivitas seseorang, serta menjauhkannya dari segala sesuatu yang tidak menyampaikan pada tujuan, atau yang akan merusaknya dan menghalanginya.
  2. Mencegah seseorang dari ketergesa-gesaan dalam menyelesaikan sesuatu, karena sesungguhnya ia telah mengetahui tujuan dari apa yang seharusnya Ia perbuat.
  3. Standar penilaian untuk sebuah aktivitas.
  4. Membantu menuju sebuah kesuksesan dengan mengefektifkan waktu dan tenaga. 

B.  Hakikat Tujuan Hidup Manusia

Manusia perlu menyadari tujuan hidupnya, demi untuk menyesuaikan langkah dan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan tujuan itu. Untuk menentukan tujuan hidup, hendaklah menoleh kembali ke pangkal hidup di mana hidup itu dari Allah dan kemudian akan kembali kepada Allah. Bagi orang yang memiliki pandangan hidup seperti itu, sudah barang tentu Ia akan menyesuaikan tujuan hidupnya dengan tujuan Allah yang telah menghidupkannya. Dalam Al-Qur’an surah Adz-Dzariyat ayat 56 disebutkan tujuan Allah menciptakan manusia,

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS Adz-Dzariyat [51]: 56)

Sesuai dengan tujuan itu, maka hakikat tujuan hidup manusia ialah mengabdi kepada Allah agar mendapat ridha-Nya; mengabdikan diri kepada Allah dengan arti hidup sesuai dengan kehendaknya; segala aktivitas dalam kehidupan sesuai dengan petunjuknya, baik dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, atau kehidupan bernegara.

Termasuk hidup dalam tatanan sosial. Hidup saling berhubungan satu dengan lainnya itu merupakan kehendak Allah, demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Terkait dengan hal tersebut, Al-Maraghi pernah menafsirkan kata lita’arafu yang merupakan tujuan mengapa Allah Swt. menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (QS Al-Hujjurat [49]: 13). Menurut beliau, tujuannya agar di antara mereka terjadi saling mengenal dan saling menolong untuk kemaslahatan mereka (Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz II, hlm. 142).

C.  Asal Mula Konflik (Ikhtilaf)

Secara sunnatullah, Allah Swt. telah menjadikan manusia sebagai ummatan wahidatan, umat yang hidup bersatu/berjama’ah (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 213). Yakni, umat yang senantiasa bahu membahu sebagian dari mereka dengan yang lainnya dalam menjalani kehidupannya, yang dia tidak akan bisa hidup kecuali dengan cara  bersatu dan saling menolong satu dengan lainnya. Masing-masing dari mereka hidup dengan pekerjaannya, akan tetapi kekuatan jiwa dan badannya begitu terbatas untuk menutupi semua kebutuhannya. Maka, menjadi satu kemestian untuk menggabungkan kekuatan yang lain dengan kekuatan dirinya. (Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz II, hlm. 122)

Sebagian mufassir menuturkan bahwa keadaan mereka hidup bersatu di masa antara Nabi Adam a.s. dan Nuh a.s., berlangsung selama 10 kurun, dan mereka semuanya berada pada syari’at yang benar. Namun, setelah itu terjadilah ikhtilaf/perselisihan (Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, Juz IV, hl. 275).

Perselisihan terjadi bukan disebabkan tidak adanya aturan, melainkan lebih disebabkan lemahnya jiwa dan akal manusia. Sehingga, seringkali hasil keputusan akalnya tidak memberi hasil yang menenteramkan dalam kehidupan sosial mereka, tetapi malah justru meragukan yang mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara mereka. Al-Baqilani menjelaskan tentang makna surah Al-Baqarah ayat 213, Allah Swt. berfirman:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ ...

Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan....”.

Yakni, bahwa awal mulanya manusia itu berada pada fithrah Allah yaitu bersatu, dia mengambil keputusan terhadap apa yang ditunjukkan oleh akal kepadanya dalam hal keyakinan dan amal. Namun, penyerahan (keputusan) manusia kepada akal mereka tanpa petunjuk ilahiyah, hingga membawa mereka kepada ikhtilaf. Pada akhirnya, muncul banyak keragu-raguan tanpa dapat menyampaikan pada yang dimaksud dari keyakinan-keyakinan dan hukum-hukum. (Dr. Wahbah bin Mushtafa Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 1, hlm. 247)

Perselisihan di antara manusia, selain disebabkan oleh lemahnya akal, juga disebabkan oleh dorongan hawa nafsu (ittiba’ul hawa) yang melemahkan jiwa manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt., “Dan manusia dijadikan bersifat lemah,(QS. An-Nisa [4]: 28). Para mufassir menjelaskan bahwa kelemahan manusia ini dari semua aspek. (Abdurrahman bin Nashir bin Sa’di, Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manan, hlm. 175). Di antaranya, menurut Al-Istambuli, lemah dalam menentang hawa nafsunya tanpa ada kemampuan untuk menghadapi ajakannya dan kekuatannya; Ia juga tidak bersabar ketika mengikuti hawa nafsu, dan tidak mampu mempergunakan kekuatan dalam menanggung beban ketaatan. (Isma’il Haqy bin Mushtafa Al-Istambuly, Tafsir Ruh Al-Bayan, Juz 2, hlm. 122)

Oleh karena itu, disebabkan perselisihan yang sering terjadi di antara manusia, baik dalam menentukan akidah-akidah benar yang mesti dijadikan sebuah keyakinan maupun hukum-hukum yang mesti dijadikan sebuah pedoman aktivitas ibadah mereka—baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama mereka—mengakibatkan manusia tidak dapat hidup dengan maslahat, aman, tentram, dan sejahtera.

Tatkala terjadi perselisihan di antara manusia pada saat itu, terutama dalam memahami dan mengamalkan agama Allah, sebagian kelompok memilih berada dalam kekufuran. Mereka mencampuradukkan kebenaran yang diwarisinya dengan kebatilan yang menyusup kepada mereka. Seperti semua umat dan bangsa, apabila telah dikuasai kebodohan dan dimasuki tukang-tukang sihir dan ahli kebatilan, masuklah kemusyrikan kepada mereka. Mereka kembali menyembah berhala; sebagiannya lagi lebih memilih untuk bertahan dalam agama yang benar. Sehingga, perselisihan antara mereka tidak dapat terhindarkan.

Maka Allah Swt. mengutus para nabi (sebagai pendidik) dengan membawa kitab Al-Qur’an (sebagai manhaj/kurikulum), dalam memberi keputusan terhadap semua perselisihan yang terjadi di tengah-tengah umat manusia, meluruskan kebengkokan mereka dan memperbaiki kerusakan mereka.

Begitu juga Rasulullah saw. diutus ke tengah-tengah bangsa Arab pada waktu itu. Bangsa Arab saat itu adalah anak-anak Ismail ‘alaihis salam. Karena itu, mereka mewarisi millah dan minhaj yang pernah dibawa oleh bapak mereka, Ibrahim ‘alaihis salam. Millah dan Minhaj yang menyerukan tauhidullah, beribadah kepada-Nya, mematuhi hukum-hukum-Nya, mengagungkan tempat-tempat suci-Nya khususnya Baitul Haram, menghormati syi’ar-syi’ar-Nya dan mempertahankannya. Meninjau syari’at mereka yang sesuai dengan ajaran Isma’il atau syi’ar-syi’ar Allah yang ditetapkan; apa yang telah dirusak atau diubah, termasuk syi’ar kemusyrikan dan kebatilan, dibatalkannya dan dicatat pembatalan tersebut.

D.  Tujuan Berdirinya Jam’iyyah PERSIS

Jika kita cermati, faktor yang melatarbelakangi lahirnya Persatuan Islam (PERSIS) sebagai induk dari organisasi otonom Pemuda Persatuan Islam (Pemuda PERSIS), tidak jauh berbeda dengan faktor yang melatarbelakangi diutusnya Rasulullah saw. Diawali oleh kegelisahan dan keresahan terhadap kondisi keberagamaan umat Islam yang sudah terkontaminasi, lalu muncullah kelompok penelaahan (study club) di Bandung, yang anggota-anggotanya dengan penuh kecintaan menelaah, mengaji serta menguji ajaran-ajaran yang diterimanya. Sedangkan pada saat itu keadaan kaum muslimin di Indonesia tenggelam dalam taqlid, jumud, tarekat, khurafat, tahayyul, bid’ah, dan syirik sebagaimana terdapat di dunia Islam lainnya; diperkuat oleh cengkraman kuku penjajahan kaum Nashrani Belanda melalui penasihatnya, orientalis yang ulung dalam menggariskan politik keagamaan di tanah air. (Tafsir Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam, hlm. 4)

Mengutip dari Tafsir Qanun Asasi dan Dakhili Persatuan Islam bahwa, “Sesungguhnya Persatuan Islam terbentuk dan berdiri pada masa itu (12 September 1923), tidaklah berdasarkan atas suatu kepentingan para pendirinya atau kebutuhan masyarakat pada masa itu. Para pendirinya tidak mendapatkan kepentingan diri mereka di dalamnya dan tidaklah pula ada udang di balik batu. Namun, mereka mendirikannya karena merasa terpanggil oleh kewajibannya dan tugas risalah dari Allah Swt., sebagaimana halnya Rasulullah saw. berdiri di atas bukit Shofa menyatakan kerasulannya, tidaklah berdasarkan kepentingan diri beliau. Malahan sebaliknya, segala kepentingan beliau sendiri menjadi tertutup dan terhambat karenanya, bahkan jiwa raga beliau pun ikut terancam kebencian masyarakat.

Para pendiri Persatuan Islam mendirikannya bukan disebabkan masyarakat membutuhkannya. Sesungguhnyalah masyarakat Islam di kala itu tidak membutuhkannya, sebab mereka telah tenggelam dalam biusan taqlid, jumud, khurafat, bid’ah, tahayul, dan syirik. Oleh karena itu, Persatuan Islam tidak berdiri atas kebutuhan masyarakat pada waktu itu, sebagaimana masyarakat jahiliyyah tidaklah membutuhkan kedatangan Nabi Muhammad saw. yang hendak mengubah keadaan mereka, sehingga mereka memusuhi, menghina dan mengancamnya.

Persatuan Islam didirikan karena ia diperlukan adanya, sebagaimana kedatangan Rasulullah saw. diperlukan sebagai pembaharu dan perombak bagi masyarakat jahiliyyah. Persatuan Islam berdiri di atas dasar landasan kewajiban dan tugas ilahi, untuk mengangkat derajat umat dari jurang kebinasaan dan kehinaan.

Tidak ada seorang anak pun yang membutuhkan lembaga pendidikan, tetapi orang-orang yang telah dewasa dan sadar itulah yang menganggap perlu adanya lembaga pendidikan. Setiap anak enggan masuk sekolah, tetapi jika sekolah tidak ada, anak itu akan jatuh ke dalam jurang kebodohan. Sekolah diperlukan adanya, demikian halnya dengan Persatuan Islam, bukan atas dasar kepentingan si pendiri atau kebutuhan anak, tetapi diperlukan untuk menciptakan masyarakat beradab.

Oleh karena itu, Persatuan Islam lebih merupakan lembaga pendidikan daripada jam’iyyah dalam arti siyasah (politik praktis). Persatuan Islam adalah pesantren sebelum menjadi jam’iyyah. Karena itu, sifat pesantren tidak akan lepas dari Persatuan Islam, sejak dulu, sekarang dan Insyaallah pada masa-masa yang akan datang. Namun, bukan pesantren yang memberi citra kejumudan, keterbelakangan, sekularisme, fatalisme. Pesantren yang tidak statis, tetapi dinamis dan modernis (mujaddid), bahkan pesantren yang merombak citra negatif itu.

Bila sifat Pesantren telah tiada, berarti khiththah perjuangan Persatuan Islam yang semula dan asli telah hilang. Demikian dengan sendirinya Persatuan Islam itu sendiri akan lenyap dan tidak perlu ada lagi. Sebab, garapan-garapan yang semestinya digarap oleh Persatuan Islam tidak digarap lagi dan telah atau sedang digarap oleh jam’iyyah Islam lainnya. (Tafsir Qanun Asasi dan Dakhili Persatuan Islam, hlm. 5-7)

E.  Kesimpulan

Realita kehidupan manusia tidak akan lepas dari konflik/perselisihan (ikhtilaf). Penyebab adanya konflik/perselisihan di tengah-tengah umat itu ada dua: Pertama, ‘Adamu al-‘ilmi (tidak adanya ilmu/Jahiliyah). Kedua, Ittiba’u al-hawa (mengikuti nafsu/kedengkian).

Solusi dari ikhtilaf yang disebabkan tidak adanya ilmu adalah meningkatkan semangat (himmah) dalam mencari ilmu fardhu ‘ain (aqidah, ibadah, dan akhlaq) yang berpijak pada sumber yang asli (Al-Mashadir al-Ashliyah). Terkhusus bagi seorang pembaharu (mujaddid), mesti dilengkapi dengan ilmu fardhu kifayah (Nahwiyah, Balaghah, Ushul Fiqih, ‘Ulum al-Qur’an, ‘Ulum al-Hadits dan lain sebagainya). Sedangkan solusi dari ikhtilaf yang disebabkan mengikuti nafsu adalah dengan meningkatkan ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri (Jam’iyyah).

Maka, adanya jam’iyyah PERSIS berserta otonomnya terkhusus Pemuda PERSIS di tengah-tengah umat membawa dan menawarkan solusi ilmu, agar umat bisa terbebas dari kejumudan berfikir karena keterbatasan akal dengan segala kelemahannya yang berakibat terjadinya perselisihan (ikhtilaf ) dalam hal aqidah, ibadah, dan akhlaq. Sehingga, umat menjadi tercerahkan.

Sangat ironis jika ada seseorang yang masuk menggabungkan diri di jam’iyyah PERSIS atau Pemuda PERSIS misalnya, tetapi terkesan tidak acuh dengan kajian ilmu dan bahkan justru merasa ketinggalan dan tidak berkemajuan. Bukankah itu adalah hal yang aneh!?

Selain itu, PERSIS hadir membawa dan menawarkan solusi jam’iyyah yang berlandaskan al-Jama’ah, di tengah-tengah keberadaan jam’iyyah lain yang tidak sedikit telah menjauh dari nuansa al-jama’ah. Dan mirisnya, jam’iyyah yang tadinya diharapkan bisa menyatukan umat dari perselisihan (tafarruq), tetapi justru dengan fanatismenya (ashabiyah) dan  merasa paling benar yang berujung pada konflik keumatan yang berkepanjangan, dan semua itu berpangkal dari ittiba’ al-hawa (mengikuti hawa nafsu).

Namun, sangat ironis jika ada seseorang yang masuk menggabungkan diri di jam’iyyah PERSIS, tetapi justru senang dengan perselisihan/konflik dan senang memelihara kedengkian. Mirisnya lagi jika semua merasa paling benar, tidak merasa salah dan tidak mau disalahkan. Padahal, sekelas Abu Bakar saja beliau mengakui kezaliman dirinya kepada Alla Swt. Nah, kita siapa?!

Oleh karena itu, kita semua sebagai orang jam’iyyah terkhusus bagi ikhwatu iman para anggota Pemuda PERSIS, marilah kita bersama-sama memahami dan menentukan sikap sebagai anggota disesuaikan dengan tujuan secara umum dari penciptaan manusia itu sendiri, dan disesuaikan pula dengan tujuan adanya jam’iyyah PERSIS sebagai induk organisasi Pemuda PERSIS tercinta ini. Sehingga, aktivitas hidup kita dapat mendatangkan kemasalahatan dunia dan akhirat. Aamiin

Wallahu A’lam bi ash-Shawab

 

[]

Editor: Dhanyawan

 

Reporter: Reporter Editor: admin