Oleh:
Zamzam Aqbil Raziqin, S.Sy., M.H.
Sekbid. Hukum, HAM & Analisis Kebijakan Publik PP Pemuda PERSIS
LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) sebagai realitas dan fakta sosial yang saat ini ada di sekeliling masyarakat, telah menjadi isu yang tidak pernah padam. Pada titik tersebut, saat ini kaum LGBT telah memosisikan dirinya sebagai kaum minoritas yang tertindas, terdiskriminasi oleh kebijakan dan aturan, hingga menuntut perlindungan dalam balut HAM. Media Tempo pernah mengangkat berita tentang pemecatan dua prajurit TNI karena alasan memiliki orientasi seksual suka sesama jenis, bahkan membela dan menuntut dengan berlindung pada konstitusi.
Sekilas ketika kita membaca konstitusi Undang-Undang Dasar tahun 1945, maka kita akan menemukan bunyi pasal-pasal yang melindungi LGBT sebagai realitas yang hidup di tengah-tengah masyarakat pada posisi kaum minoritas. Pasal-pasal itu terkumpul dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, seperti bunyi pasal 28 D ayat 1 tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan seterusnya; kemudian pasal 28 I ayat 2 tentang kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif dan mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang diskriminatif itu; serta bunyi pasal lainnya yang dapat dikaitkan dengan realitas hari ini, di mana di sekeliling kita sebagai person ataupun sebagai kelompok masyarakat dapat menemukan fakta adanya kaum minoritas, yakni LGBT.
Namun, kemudian pertanyaannya benarkah demikian? Benarkan konstitusi kita mengamini fakta sosial adanya LGBT sebagai kaum minoritas, yang harus dilindungi dan bahkan diakui?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita harus memahami paradigma bernegara. Para pendiri bangsa kita telah memilih dan menetapkan bahwa paradigma bernegara kita bukan hanya mengacu pada tradisi hukum barat, tetapi juga berakar pada tradisi asli bangsa Indonesia. Demikian pula halnya para pendiri negara mengadopsi konsep negara hukum dari konsep rechtsstaat pada tradisi hukum eropa kontinental, tetapi berupaya untuk memberi muatan substantive yang berbasis pada tradisi bangsa Indonesia, sehingga akhirnya dapat dihasilkan suatu konsep negara hukum Indonesia.[1]
Lima prinsip bernegara yakni Pancasila merupakan nilai fundamental yang memperhatikan kehidupan berbangsa dan bernegara, dari mulai aspek ketuhanan sampai keadilan sosial. Secara historis, kelima sila Pancasila merupakan perpaduan (sintesis) dari keragaman keyakinan, paham, dan harapan yang berkembang di negeri ini. Sila pertama merupakan rumusan sintesis dari segala aliran agama dan kepercayaan. Sila kedua merupakan rumusan sintesis dari segala paham dan cita-cita sosial-kemanusiaan yang bersifat trans-nasional. Sila ketiga merupakan rumusan sintesis dari kebhinekaan (aspirasi-identitas) kesukuan ke dalam kesatuan bangsa. Sila keempat merupakan rumusan sintesis dari segala paham mengenai kedaulatan. Sila kelima merupakan rumusan sintesis dari segala paham keadilan sosial-ekonomi.[2]
Negara-negara di dunia pasca terjadinya Perang Dunia Kedua yang terbelah menjadi dua poros pengikut konsepsi Declaration of American Independence dan Manifesto Komunis, telah dibantah oleh Soekarno dengan konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan Keadilan Sosial sebagai sila kelima dalam Pancasila, memosisikan falsafah dasar atau cita hukum (rechtsidee) bangsa Indonesia pada garis yang berbeda, di luar dua poros Declaration of American Independence dan Manifesto Komunis. Dalam bahasa Soekarno pada pidatonya di PBB Pancasila, itu ia sebut sebagai hogere optrekking (peningkatan) dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.[3]
Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) perlu dibedakan dengan pemahaman atau konsep kita tentang hukum (rechtsbegriff). Cita hukum ada di dalam kehendak diri kita, sedangkan pemahaman atau konsep tentang hukum merupakan kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan nilai yang kita inginkan (wertbezogene), dengan tujuan mengabdi pada nilai-nilai yang ingin kita capai (eine Werte zu dienen). Oleh karena itu pemahaman atau konsep kita tentang hukum bertujuan merealisasikan cita hukum yang ada pada gagasan, rasa, cipta, dan pikiran kita ke dalam kenyataan.[4]
Cita hukum dalam sifat dan fungsinya tidak hanya sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yakni sebagai batu uji apakah suatu hukum positif itu adil atau tidak, melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum itu akan kehilangan maknanya sebagai hukum.[5]
Undang-Undang Dasar tahun 1945 merupakan manifesto hukum dengan Pancasila sebagai kredo. Eksistensi keduanya merupakan pondasi bangsa yang saling mengisi dan menjiwai, maka dari itu UUD 1945 adalah asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa. Konsekuensi logis dari Pancasila sebagai kredo dalam tatanan sistem hukum di Indonesia, maka seluruh produk hukum harus ditujukan untuk mencapai ide-ide yang dikandung dalam Pancasila.[6]
Konstitusi, yakni UUD 1945 tidak bisa hanya kita baca secara tekstual saja. Lebih dari itu, berdasarkan pada uraian di atas kita dituntut membaca konstitusi secara kontekstual. Pada dasarnya pembacaan terhadap UUD 1945 tidak bisa dilepaskan dari cita hukum yang terkandung dalam Pancasila. Ketika kita membaca bahwa dalam konstitusi kita ada nilai kesetaraan, persamaan, dan larangan terhadap tindakan diskriminasi, jika hal tersebut dibaca secara tekstual maka kesimpulan kita akan bermuara pada liberalism. Sedangkan, konsep poros bangsa kita bukanlah Declaration of American Independence yang mengandung nilai liberalisme terbuka. Pembacaan terhadap adanya nilai kesetaraan, persamaan, dan larangan terhadap tindakan diskriminasi dalam konstitusi itu harus diimbangi dengan pembacaan secara kontekstual, sebab konstitusi kita bukanlah ruang kosong melainkan ruang yang memiliki cita hukum Pancasila, pada satu sisi mengakomodir nilai liberalisme tetapi di sisi lain juga memiliki nilai eksklusifisme.
Membaca nilai kesetaraan dan persamaan dalam konstitusi kita harus merujuk pada cita hukum Pancasila, bahwa Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila pertama dan kedua dalam Pancasila ini adalah asas moral kebangsaan yang harus ditegakkan sebagai budaya dan moral setiap warga Negara. Artinya, nilai kesetaraan dan persamaan itu harus didasarkan pada prinsip-prinsip moral kebangsaan, tidak dibaca dan dipahami secara bebas dan liar.
Dalam sila ketiga sampai kelima negara berdasarkan pada asas kekeluargaan, di mana negara memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh tumpah darah dan rakyat Indonesia, bahkan negara juga memiliki tugas dan kewajiban untuk mengatasi paham golongan dan paham perseorangan. Namun, kita juga tidak bisa mengabaikan bahwa salah satu karakteristik negara hukum Pancasila adalah pengakuan terhadap hak-hak individu, tetapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah tersebut di atas, maka sejatinya tidak semua perbedaan itu harus diakomodasi oleh negara, karena jika negara mengakomodasi semua perbedaan, akan melumpuhkan prinsip kesetaraan dan persamaan dari hak sipil itu sendiri. Pada titik ini, ketika negara tidak mengakomodiasi suatu perbedaan misalnya LGBT, Negara tidak bisa dinilai dan disebut sedang bertindak diskriminatif. Malah sebaliknya, dalam konteks ini negara tengah menjaga dan mempertahankan prinsip-prinsip kesetaraan dan persamaan hak-hak sipil dalam konstitusi, di mana konstitusi itu sendiri bersifat liberalisme terbatas.
[1] Aidul Fitriciadia, Pancasila dan Arsitektur Negara Hukum Indonesia: Upaya Dekolonialisasi dan Rekonstruksi Tradisi, Prosiding Konferensi dan Dialog Nasional Negara Hukum, dengan tema: Negara Hukum Indonesia Kemana Akan Melangkah? Jakarta, 9-10 Oktober 2012, hlm. 92
[2] Yudi Latif, Reaktualisasi Pancasila, materi 197 pada website pusdik.mkri.id, hlm. 6 (diakses pada tanggal 15 Juni 2022 pukul 10:43 WIB)
[4] A. Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, disunting oleh Oetojo Oesman & Alfian, Jakarta, BP 7 Pusat, 1992, hlm. 67
[6] Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta, Pantjuran Tujuh, 1974, hlm 17
Editor: Dhanyawan