Oleh : Syarief Ahmad Hakim [2]
Keutuhan jamiyyah Persis sempat terganggu ketika ada sebagian dari anggotanya melaksanakan hari raya Idul Fitri 1432 H berbeda dengan yang telah diputuskan Pimpinan Pusat Persis. Berdasarkan Almanak Islam yang telah diputuskan PP Persis, hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011, namun ada sebagian jama’ah Persis berlebaran pada hari Selasa, 30 Agustus 2011 dengan alasan bahwa pada hari Senin, 29 Ramadhan 1432 H bertepatan dengan 30 Agustus 2011 pada waktu maghrib hilal sudah wujud sehingga bulan Ramadhan 1432 H ditetapkan oleh mereka hanya 29 hari.
Bagi yang berpegang kepada kriteria Wujudul Hilal memang pada tanggal 29 Ramadhan 1432 H, hilal sudah wujud (di Pelabuhanratu 1° 55’ 08”) meskipun di Jayapura hilalnya masih di bawah ufuk (di Jayapura -0° 02’ 18”) namun ketinggiannya ghoir imkanir rukyah (belum memungkinkan dirukyat). Oleh karena itu Dewan Hisab dan Rukyat (DHR) PP Persis menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari sehingga Idul Fitrinya (1 Syawal 1432 H) ditetapkan lusa harinya, yaitu Rabu, 31 Agustus 2011.
Yang jadi pertanyaan adalah kenapa DHR PP Persis sekarang berpedoman kepada kriteria Imkanur Rukyah? Kenapa tidak berpedoman kepada kriteria Wujudul Hilal sebagaimana yang dipegang oleh ahli-ahli hisab Persis sebelumnya? Karena menurut DHR PP Persis sekarang, kriteria Imkanur Rukyah adalah kriteria yang sangat kuat dari segi landasan hukumnya/dalilnya dibanding dengan kriteria Wujudul Hilal sebagaimana akan dibahas dalam tulisan berikut ini.
PENGERTIAN IMKANUR RUKYATIL HILAL
Imkan (إمكان ) artinya kemungkinan, rukyah ( الرأية ) artinya penglihatan sedangkan hilal ( الهلال ) artinya bulan sabit, maksudnya ialah kemungkinan bulan sabit dapat dilihat, yaitu suatu kriteria penentuan awal bulan hijriyah yang memasukkan unsur keterlihatan bulan sabit (hilal) sebagai syarat pergantian tanggal baru bulan hijriyah. Keterlihatan hilal di sini bukan pada saat waktu yang dihisab (dihitung) tetapi didasarkan kepada referensi pengalaman rukyat yang telah ada, artinya kalau menurut pengalaman dengan ketinggian sekian derajat, jarak sudut bulan-matahari sekian derajat, umur bulan sekian jam, hilal sudah pernah dilihat maka data itulah yang dijadikan pedoman. Sedangkan lafazh (إمكان ) ditujukan kepada hilal yang sedang dihisab, artinya hilal yang akan datang. Inilah yang membedakan pengertian Imkanur Rukyatil Hilal dari pengertian Rukyah.
Dengan demikian, menurut Kriteria Imkanur Rukyatil Hilal –selanjutnya disebut dengan Imkanur Rukyah (IR)- hilal tidak cukup dengan sudah berada di atas ufuk mar’i saja tetapi hilal yang di atas ufuk mar’i itu menurut pengalaman harus sudah dapat dilihat oleh mata walaupun dalam prakteknya tidak dilakukan rukyat, karena menurut pendapat orang yang berpegang kepada IR dalil صوموا لرأيته ... dan hadits-hadits yang semakna dengannya bukan dalil wajibnya rukyat tetapi dalil wajibnya shaum setelah terlihatnya hilal. Sama seperti lafazh أقم الصلاة لدلوك الشمس ... (الإسرى : ٧٨) bukan dalil wajibnya menggeserkan matahari ke arah barat tetapi dalil wajibnya shalat (zhuhur dan ashar) setelah tergelincirnya matahari ke arah barat.
DALIL IMKANUR RUKYAH
Adapun dalil yang dijadikan landasan Imkanur Rukyah adalah ayat al-Qur’an berikut ini:
١ يَسـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ....
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; …. (Q.S. al-Baqarah [2] :189)
۲- وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ
Artinya: Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. (Q.S. Yaa-siin [36] : 39)
Ayat pertama (Q.S. al-Baqarah [2] : 189) mengandung pengertian bahwa hilal (bulan sabit) dapat dijadikan pedoman waktu untuk manusia (umat Islam) dalam ibadah-ibadahnya terutama untuk melaksanakan ibadah haji, demikian juga ayat selanjutnya Q.S. Yaa-siin [36] ayat 39 menjadi petunjuk bahwa kembalinya bentuk bulan seperti tandan tua (hilal) sebagai awal pergantian bulan hijriyah. Jadi menurut kedua ayat di atas yang menjadi objek dalam menentukan awal bulan qomariyah itu adalah hilal atau bulan sabit. Lantas apa yang disebut dengan hilal tersebut?
PENGERTIAN HILAL
Di antara penyebab terjadinya perbedaan penentuan awal bulan qomariyah antara kelompok Wujudul Hilal (WH) dengan kelompok IR ialah karena adanya perbedaan dalam mendefinisikan hilal. Kelompok WH menyatakan bahwa hilal itu ialah posisi bulan pada waktu maghrib di hari terjadinya ijtima’ telah berada di atas ufuk lebih dari 0° (meskipun tidak mungkin terlihat).
Untuk menguji kebenaran definisi hilal versi kelompok WH di atas kita perhatikan pengertian hilal menurut bahasa, al-Qur’an, as-Sunnah dan menurut Astronomi di bawah ini.
1. Hilal dalam bahasa Arab adalah sebuah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal yaitu ha-lam-lam (ل - ل - ﻫ), sama dengan terbentuknya kata fi’il هَلَّ dan اَهَلَّ. Hilal artinya bulan sabit yang tampak. هَل dan اَهَل dalam konteks hilal mempunyai arti:
a. هَلَّ اْلهِلاَلُ dan اَهَلَّ اْلهِلاَلُ artinya bulan sabit tampak.
b. هَلَّ الرَّجُلُ artinya seorang laki-laki melihat/memandang bulan sabit.
c. اَهَلَّ اْلقَوْمُ اْلهِلاَلَ artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.
d. هَلَّ الشَّهْرُ artinya bulan (baru) dimulai dengan tampaknya bulan sabit[3].
Jadi menurut bahasa Arab, hilal itu adalah bulan sabit yang tampak pada awal bulan.
2. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 189 mengemukakan pertanyaan para sahabat kepada Nabi saw tentang penciptaan dan hikmah ahillah (jama’ dari hilal). Atas perintah Allah SWT kemudian Rasulullah saw menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktifitas manusia termasuk ibadah haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat penampakan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat.
Para mufassir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu mesti tampak terlihat. Ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir juz I halaman 125 mengemukakan tafsir ayat tersebut sebagai berikut:
يسالونك يامحمد عن الهلال لم يبدو دقيقا مثل الخيط ثم يعظم ويستدير ثم ينقص ويدق حتى يعود كما كان؟
“Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang selanjutnya membesar dan terus membulat kemudian menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula?”
Sementara itu Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an juz I halaman 256 menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
فهم يسالون عن الاهلة ... ما شأنها؟ ما بال القمر يبدو هلالا ثم يكبر حتى يستدير بدرا ثم يأخذ فى التناقص حتى يرتد هلالا ثم يختفى ليظهر هلالا من جديد؟
“Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal) … bagaimana keadaan ahillah (hilal)? Mengapa keadaan qamar (bulan) tampak (menjadi) hilal lalu membesar sehingga bulat menjadi purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali menjadi hilal lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya menampakkan diri menjadi hilal (bulan) baru?”
Muhammad ‘Aly as-Sayyis ketika menjelaskan kata hilal dalam surat al-Baqarah [2] : 189. Beliau menyatakan:
وإنما يسمّى هلالا لظهوره بعد خفائه ( تفسير أيات الأحكام ١ : ٩٨ )
“Dan hanyasanya dinamakan hilal karena tampaknya hilal tersebut setelah dia tersembunyi (tidak terlihat) [4] ”. (Tafsier Ayat Ahkaam I : 98).
Selanjutnya beliau mengatakan:
يسمّى هلالا لليلتين من الشهر ، ومنهم من قال : لثلاث ، ثم يسمّى قمرا (تفسير أيات الأحكام ١ : ٩٨)
“Yang dinamakan hilal adalah bulan (benda langit) untuk dua malam di awal bulan (waktu), sebagian ulama berpendapat: termasuk malam ke-tiga, setelah itu dinamakan qomar (benda langit)”. (Tafsier Ayat Ahkaam I : 98).
Demikian juga Syekh Muhammad bin Shaalih al-Utsaimin menyatakan:
الهلال هو القمر حين يبدو أول الشهر إلى ثلاث ليال (الإلمام ببعض أيات الأحكام ٢٩)
“Hilal yaitu bulan ketika tampak pada awal bulan sampai tiga malam”. (al-Ilmaam bi ba’dhi ayaatil ahkaam : 29).
Jadi, menurut para mufassir di atas yang dinamakan hilal itu adalah bulan yang terlihat pertama kali di awal bulan hijriyah sampai malam ketiga yang tampak seperti tandan tua, sebagaimana yang dilihat dan ditanyakan shahabat kepada Nabi saw, bukan bulan yang belum menampakan diri atau belum terlihat oleh mata.
3. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Rib’i bin Hirasy yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para shahabat mengenai akhir Ramadhan kemudian ada laporan hasil rukyah dua orang badwi. Dua perukyah tersebut melaporkan dengan ungkapan:
بالله لاهلا الهلال امس عشية فأمر رسول الله صلى الله عليه وسلم الناس ان يفطروا وان يغدوا إلى مصلاهم
“Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore, maka Rasulullah saw memerintah manusia untuk berbuka dan pergi ke tempat shalat (Idul Fitri) pagi esok harinya” (Sunanul Kubro Lil Baihaqi 4:250, Sunan Abi Daud 6:281, Sunan ad-Daruquthni 5:465 dan Mushannaf Abdur Rozaq 4:164).
Dari keterangan hadits di atas diketahui bahwa hilal yang dilaporkan kepada Rasulullah saw tersebut adalah hilal yang kelihatan mata, bukan hilal hasil pemikiran atau dugaan semata.
Demikian juga hadits di bawah ini menerangkan hal yang sama, yaitu:
جَاءَ أعْرَبيٌّ إلىَ النَّبيِّ .ص. فَقَالَ إنِّى رَأيْتُ الهِلاَلَ قَالَ: أتَشْهَدُ أن لا إله إلا الله؟ قال نعم, قال: أتشهد أنَّ محُمَّدًا رَسُولُ اللّهِ؟ قالَ نَعَمْ , قالَ: يَا بِلالُ أذِّنْ فى النَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا.
Artinya: Seorang badwi mendatangi Rasulullah saw, ia berkata: “Sesungguhnya saya telah melihat hilal (Ramadhan)” Rasul bertanya: “Apakah engkau mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Orang Badwi tsb menjawab: “Ya”. Rasul bertanya lagi: “Apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasul Allah?” Orang Badwi menjawab: “Ya”. Kemudian Rasul bersabda: “ Ya Bilal beritahukanlah kepada orang-orang supaya berpuasa esok hari”. (Sunan Abi Daud 6:283, Sunan at-Tirmidzi 3:118, Sunan an-Nasa-i 7:266, Sunan Ibnu Majah 5:152, as-Sunanul Kubro Lin-Nasa-i 2:68, al-Mustadrok Lis-Shohihain Lil Hakim 3:114 dan 4:74, Sunan ad-Darimi 5:185 dan Sunan ad-Daruquthni 5:414).
4. Hilal atau bulan sabit dalam istilah astronomi disebut crescent adalah bagian dari bulan yang menampakkan cahayanya terlihat dari bumi sesaat setelah matahari terbenam pada hari terjadinya ijtima’ atau konjungsi.
Secara astronomis, hilal dapat dilihat dari arah bumi dikarenakan dua hal. Pertama, karena adanya jarak yang cukup jauh antara bulan dengan matahari dan antara bulan dengan ufuk barat sehingga hilal yang samar cahayanya dan tipis bentuknya tidak terhalangi oleh kuatnya cahaya matahari dan cemerlangnya langit barat tempat hilal tersebut berada. Oleh karena itu bulan dengan ketinggian sekitar 0° di atas ufuk –sebagaimana menurut kriteria WH- tidak akan menampakan bentuk hilal (sabit) sebab hampir seluruh permukaan bulan yang menghadap ke arah bumi adalah permukaan gelapnya sedangkan permukaan yang terangnya menghadap ke matahari, sehingga cahaya yang diterima dari matahari tidak bisa dipantulkan bulan ke arah bumi. Belum lagi kuatnya sinar matahari demikian juga terangnya langit yang melatarbelakangi tempat bulan berada akan menghalangi terlihatnya hilal yang sangat tipis itu. Oleh karena itu menurut kaidah bahasa Arab nama yang paling tepat untuk bulan pada saat itu adalah Qomar ( القمر ) bukan hilal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Aly as-Sayyis di atas, karena dalam bahasa Arab, untuk menunjukkan bulan itu ada beberapa istilah, yaitu القمر (the moon/bulan) ialah benda langit yang menjadi satelit alami bumi atau yang senantiasa mengelilingi bumi. الهلال (crescent/bulan sabit) adalah pantulan sinar bulan yang minimal. البدر (full moon/purnama) adalah pantulan sinar bulan yang maksimal.
Kedua, karena matahari sudah terbenam artinya seluruh piringan matahari sudah masuk ke dalam ufuk sehingga cahaya matahari terhalang oleh ufuk. Selama matahari masih di atas ufuk maka hilal awal bulan tidak akan pernah terlihat karena akan kalah oleh sinar matahari.
Oleh karena itu mengapa praktek rukyatul hilal pada zaman Rasulullah saw itu pada waktu maghrib, demikian juga praktek rukyatul hilal para shahabat sepeninggal beliau? Sebagaimana yang diinformasikan hadits Kuraib ra, dimana hadits tersebut berbunyi:
عن كريب أنّ أمّ الفضل بنت الحارث بعثه إلى معاوية بالشام قدمت الشام فقضيت حاجتها فاستهل علي رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة فى أخر الشهر فسئلنى عبد الله بن عباس ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال؟ فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيتها؟ فقلت نعم, و رأه الناس و صاموا وصام معاوية فقال لكنّ رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفى برأية معاوية و صامه؟ فقال: هكذا أمرنا رسول الله ص. (رواه مسلم)
Artinya: dari Kuraib sesungguhnya Ummul Fadlal binti al-Harits telah mengutusnya ke Mu’awiyah di Syam (Syiria). Ia berkata, saya telah sampai di Syam lalu saya menyelesaikan keperluannya (Ummul Fadlal) dan nampaklah padaku hilal bulan Ramadhan sedangkan saya berada di Syam dan saya melihat hilal pada malam Jum’at, lalu sampai di Madinah akhir bulan (Ramadhan). Saya ditanya oleh Abdullah bin Abbas lalu ia mengatakan tentang hilal, lalu ia bertanya: “Kapan kalian melihat hilal?”, saya menjawab: “Kami melihatnya malam Jum’at?” Ia bertanya: “Engkau melihatnya sendiri?”, saya menjawab: “Ya, bahkan orang-orang juga melihatnya lalu mereka shaum dan Mu’awiyah pun shaum”, Ia berkata: “Akan tetapi kami melihat hilal malam Sabtu, oleh karena itu kami akan terus shaum sampai sempurna tiga puluh hari atau kami melihat hilal”, Saya bertanya: ”Apakah anda tidak merasa cukup dengan rukyat Mu’awiyah dan shaumnya?”, Ia menjawab: “Demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami”. (Shohih Muslim 5:367, Sunan Abi Daud 6:270, Sunan at-Tirmidzi 3:122, Sunan an-Nasa-i 7:263, Musnad Ahmad 6:185, as-Sunanul Kubra Lil Baihaqi 4:251, as-Sunanul Kubra Lin Nasa-i 2:68, Sunan ad-Daruqutni 5:471 dan Shohih Ibnu Khuzaimah 7:171).
Secara tekstual hadits di atas menginformasikan bahwa praktek rukyatul hilal para shahabat itu dilakukan pada waktu maghrib, tentu saja karena mereka mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Pertanyaannya kenapa Rasulullah saw melakukan rukyatul hilalnya pada waktu maghrib? Kenapa tidak pada waktu zhuhur atau waktu ‘ashar, misalnya? Jawabannya adalah supaya hilal yang sangat tipis itu dapat dilihat Rasulullah saw dan atau para shahabatnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa saat maghrib adalah saat dimana seluruh piringan matahari sudah tenggelam di bawah ufuk, sehingga piringan matahari tidak terlihat sedikitpun. Bulan adalah benda langit yang gelap, dia hanya memantulkan cahaya yang diterimanya dari matahari. Ketika matahari sudah masuk di bawah ufuk, bulan yang berada di atas ufuk akan memantulkan cahayanya ke arah bumi dan dalam kondisi tertentu akan terlihat oleh mata pengamat di muka bumi. Tetapi kalau matahari itu masih di atas ufuk, seperti waktu zhuhur atau ashar maka hilal pasti tidak akan terlihat karena cahaya matahari itu lebih kuat daripada pantulan sinar bulan, jangankan pada waktu zhuhur atau ashar beberapa saat menjelang terbenam matahari saja, hilal tidak akan terlihat meskipun hilalnya sudah ada di atas ufuk.
Menurut beberapa software astronomi[5] yang dapat menghitung perbandingan kekuatan cahaya matahari dengan cahaya bulan, rata-rata perbandingan cahaya matahari pada saat menjelang terbenam dengan cahaya bulan yang sudah berada di atas ufuk adalah 25.000.000 : 1 (25 juta berbanding 1), artinya cahaya matahari menjelang terbenam adalah 25 juta lebih terang daripada cahaya bulan. Kondisi inilah yang tidak memungkinkan melakukan rukyat hilal pada saat matahari masih berada di atas ufuk atau sebelum matahari itu terbenam (ghurub).
Dengan demikian, kalau yang ingin diketahui itu wujudnya qomar (bulan) tidak usah menjadikan waktu maghrib (terbenamnya matahari) sebagai patokan untuk menghitung posisi hilal, juga tidak usah menjadikan ufuk mar’i sebagai patokan ketinggian hilal. Karena ufuk mar’i itu ufuk yang dijadikan patokan untuk dapat merukyat (melihat) hilal oleh mata seseorang.
Dari tinjauan bahasa, al-Qur’an, as-Sunnah dan tinjauan sains sebagaimana diutarakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hilal (bulan sabit) itu pasti tampak cahayanya terlihat dari bumi di awal bulan, bukan sekedar pemikiran atau dugaan adanya hilal. Oleh karena itu kalau tidak tampak tidak disebut hilal.
KELEMAHAN KRITERIA WUJUDUL HILAL
Dalil yang biasa dijadikan landasan oleh orang yang berpegang kepada kriteria WH adalah Q.S. Yaa-siin [36] : 39-40. Menurut penafsiran tokoh WH Indonesia yaitu almarhum H. Saadoe’ddin Djambek dalam bukunya Hisab Awal Bulan Qomariyah menjelaskan tentang ayat ke-39 surat Yaa-siin tersebut menjadi petunjuk bahwa kembalinya bentuk bulan seperti tandan tua sebagai awal pergantian bulan hijriyah. Bentuk bulan seperti itu dapat dilihat dari bumi menjelang dan setelah bulan mati (Ijtima’), untuk mengetahui bulan sabit yang mana yang dimaksud dalam ayat ini, maka ayat selanjutnya menerangkan “tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan (mengejar) bulan”.
Penggalan arti ayat di atas menerangkan tentang perjalanan semu tahunan matahari dan perjalanan hakiki bulan, dimana perjalanan bulan itu lebih cepat 12˚ perharinya dibandingkan dengan perjalan matahari, oleh karena itu tidak mungkin matahari dapat mengejarnya. Perharinya matahari bergeser ke arah timur sebesar 0˚ 59’ 8.25”, hampir 1° (360˚: 365.25 hari), sedangkan bulan bergerak ke arah timur sebesar 13˚ 10’ 37.77”/hari (360˚ : 27.32 hari). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan bulan sabit pada ayat di atas adalah bulan sabit yang terjadi setelah terkejarnya matahari oleh bulan atau dengan kata lain setelah terjadinya ijtima’.
Apa yang jadi patokan bahwa perjalanan bulan telah mendahului matahari atau kalau diibaratkan perlombaan mana garis finisnya? Penggalan ayat selanjutnya menyatakan “dan malampun tidak dapat mendahului siang”. Rupanya ayat ini menginformasikan tentang ufuk/horizon barat, karena yang dapat memisahkan antara siang dan malam adalah garis ufuk barat setempat. Suatu tempat akan mengalami malam apabila matahari sudah masuk atau berada di bawah ufuk, sedangkan kalau matahari masih di atas ufuk maka tempat itu mengalami siang. Dengan demikian bulan akan dikatakan telah mendahului matahari apabila ketika matahari mendekati garis finis (ufuk barat) bulan telah berada di sebelah timurnya -karena perlombaan tersebut berlaku dari arah barat ke arah timur- atau dengan perkataan lain ketika matahari terbenam di ufuk barat bulan sudah ada di atasnya, karena ke bawah menunjukkan barat dan ke atas menunjukkan timur[6].
Namun model penafsiran H. Sa’adoeddin Djambek di atas dikritik oleh Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, ahli astronomi dari LAPAN. Beliau menjelaskan bahwa kriteria WH hanya didukung oleh interpretasi Q.S. 36:39-40 yang secara astronomi keliru dan terlalu mengada-ada. Menurut beliau, ayat di atas hanya menjelaskan kondisi fisis bulan dan matahari yang berbeda orbitnya (disebut pada akhir ayat sebagai kesimpulan) sehingga menyebabkan terjadinya fase-fase bulan (manzilah-manzilah) dari sabit, menjadi purnama, dan kembali ke sabit akhir bulan. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa tidak ada dalil qath’i (tegas) tentang kriteria wujudul hilal, selain interpretasi yang janggal secara astronomi itu.[7]
Selain dari itu, kalau kelompok yang berpegang kepada WH hanya berdalilkan kepada penafsiran ayat di atas, lantas bagaimana dengan dalil praktek penentuan awal bulan qomariyah yang dicontohkan Rasulullah saw dan para shahabatnya. Apakah mau dianulir/disingkirkan atau dipelintirkan makna rukyat dari pengertian yang sebenarnya. Ternyata pilihan mereka jatuh kepada yang kedua yaitu menyelewengkan arti rukyat dengan melihat pakai pikiran atau hati. Menurut mereka kata Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat diartikan أدرك / علم, yakni memahami atau melihat dengan akal pikiran (tentang wujudul hilal). Juga kata Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat diartikan حسِب / ظنّ, yakni menduga, yakin, berpendapat atau melihat dengan hati (tentang wujudul hilal).
Pendapat di atas perlu dikoreksi karena bertentangan dengan kaidah bahasa Arab, yaitu bahwa:
1. Ra-a (رأى) yang mempunyai arti أدرك / علم dan حسِب / ظنّ itu, masdarnya رَأْيٌ, sedang yang disebut dalam hadits adalah رؤية
2. Oleh karena itu yang disebut dalam hadits Nabi saw adalahلرؤيته (setelah melihat penampakan hilal) bukan لرأيه (setelah memahami, menduga, meyakini, berpendapat adanya hilal).
3. Ra-a (رأى) yang diartikan أدرك / علم menurut kaidah bahasa arab, maf’ul bih (obyek) nya harus berbentuk abstrak, seperti:
أرءيت الذى يكذب بالدين
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” (Q.S. Al-Mâ’ûn [107] : 1)
Sedangkan ra-a (rukyah) yang disebut dalam hadits, obyeknya nyata secara fisik yaitu hilal, seperti:
اذا رايتم الهلال فصوموا . . .
“Apabila kamu melihat hilal maka berpuasalah…” (HR. Muslim)
4. Ra-a (رأى) yang diartikan حسِب / ظنّ, menurut kaidah bahasa arab mempunyai 2 maf’ul bih (obyek). Contoh:
انهم يرونه بعيدا
“Sesungguhnya mereka menduga siksaan itu jauh (mustahil)” (QS. Al-Ma’ârij [70]: 6), dan
ونره قريبا
“Sedangkan kami yakin siksaan itu dekat (pasti terjadi).” (Q.S. Al-Ma’ârij [70]:7).
Adapun yang dimaksud ra-a (rukyah) dalam hadits, maf’ul bih (obyek)nya satu. Contohnya seperti pada hadits nomor 3 dan contoh:
صوموا لرؤيته . . .
“Berpuasalah kalian setelah terlihat hilal…” (HR. Bukhari dan Muslim)[8]
5. Kelompok wujudul hilal sering mendukung argumentasinya dengan mengemukakan kalimat faqdurûlahu yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang diartikan kadarkanlah padanya, maksudnya perkirakanlah. Argumen ini tidak tepat karena:
a. Dalam hadits lain riwayat Muslim terdapat ungkapan faqdurûlahu tsalatsîna (فاقدرواله ثلاثين), artinya: “Maka kadarkan (tentukan) lah padanya 30 (hari).” Sesungguhnya hadits ini dapat dijadikan penjelasan bagi hadits riwayat Bukhari-Muslim di atas.
b. Faqdurû adalah bentuk amr dari fi’il madli qadara dan memiliki banyak arti: sanggupilah, kuasailah, ukurlah, bandingkanlah, pikirkanlah, pertimbangkanlah, sediakanlah, persiapkanlah, agungkanlah, muliakanlah, bagilah, tentukanlah, takdirkanlah, persempitlah, tekanlah, dan masih banyak arti yang lain.[9] Arti yang demikian banyak ini menjadi sulit untuk diambil salah satunya ketika dihubungkan dengan tujuan hadits tentang puasa Ramadhan.
Menurut ahli ushul, kata faqdurû disebut kata mujmal (banyak artinya). Untuk memahaminya harus dijelaskan dengan mencarikan kata mufassar (pasti artinya) seperti اَكْمِلُوْا (sempurnakanlah) sebagaimana dalam hadits Nabi saw:
فَاَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh (hari).” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan faqdurûlahu dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim tersebut harus dipahami dengan makna “sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh (hari)”.
6. Rukyah /رأى dalam hadits-hadits diberi penjelasan “kalau penglihatanmu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan menjadi 30 (hari)”.[10] Penjelasan demikian ini tidak relevan jika dihubungkan رأْى / رَأَي yang diartikan أدرك / علم dan حسِب / ظنّ
Dengan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna yang tepat bagi kata rukyah (رأى) dalam beberapa hadits tentang memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan adalah “melihat dengan mata kepala/pengamatan langsung terhadap hilal”, dan tidak dapat diartikan melihat dengan akal pikiran dan atau melihat dengan hati.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Berbedanya hari raya Idul Fitri 1432 H di kalangan jama’ah Persis disebabkan berbedanya kriteria yang dipegang masing-masing pihak, yaitu satu pihak berpegang kepada Imkanur Rukyah dan pihak lain berpegang kepada Wujudul Hilal.
2. Kriteria Imkanur Rukyah adalah kriteria yang dilandasi dengan dalil yang kuat sedangkan kriteria Wujudul Hilal sangat lemah dalilnya.
3. Diantara kelemahan dalil Wujudul Hilal adalah:
a. Dalam menafsirkan surat Yaa-siin [36] ayat 39-40,
b. Dalam mendefinisikan hilal, dan
c. Dalam mengartikan kata رأية
B. SARAN-SARAN
1. Bahwa di dalam memegang suatu pendapat yang harus dijadikan acuan adalah dalil-dalil yang melandasinya yaitu harus berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits dengan cara istinbath yang benar.
2. Bahwa berbedaan pendapat di kalangan Dewan Hisab dan Rukyat PP Persis adalah hal yang wajar dan bisa dicarikan titik temunya, tetapi jika sudah menjadi suatu keputusan maka suara yang keluar adalah harus sama.
3. Adanya sosialisasi yang maksimal kepada seluruh anggota Persis tentang kriteria penentuan awal bulan yang dipegang Persis dengan segala argumentasinya.
4. Kepada seluruh anggota Persis untuk senantiasa mentaati semua keputusan jam’iyyah termasuk dalam penentuan awal bulan qomariyah, karena ketaatan kepada imamah dan imarah (Persis) mutlak dilakukan selama bukan perbuatan maksiat.
5. Oleh karena itu jika ada anggota yang melanggar keputusan jam’iyyah, maka PP Persis harus segera menjalankan mekanisme organisasi terhadap keangotaannya.
[1] Disampaikan dalam acara Sidang Dewan Hisbah PP Persis, di gedung H2QM / Pesantren Persis Ciganitri, Bandung, Sabtu-Ahad, 18-19 Februari 2012
[2] Sekretaris Dewan Hisab dan Rukyat PP Persis
[3] Lihat al-Muhiith Fil Lughah 1:273, Lisanul Arab 11:701 dan an-Nihayatu fi Gharibil Atsar 5:629
[4] Karena posisi bulan sedang ijtima’
[5] Diantaranya program Starry Night dan Red Shif
[6] Lebih rincinya bisa dibaca di “Hisab Awal Bulan” Saadoe’ddin Djambek halaman 10-12 dan “Pedoman Hisab Muhammadiyah” halaman 78-82.
[7] Lebih rincinya lihat di http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/04/hisab-wujudul-hilal-muhammadiyah-menghadapi-masalah-dalil-dan-berpotensi-menjadi-pseudosains/.
[8] Lihat as-Shahah Fil Lughah 1:233 dan Mukhtarus Shahah 1:110
[9] Lihat Lisaanul Arab 5:74
[10] Dengan beragam ungkapan seperti: فَاِنْ غَبِيَ عَلَيكُمْ- فَاِنْ حَالَ بَبْنَكُم وَبَيْنَهُ سَحَابٌ - فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُم - فَاِن غُمَّ عَلَيْكُمْ Hadits di atas juga mengandung makna bahwa jika hilal tidak terlihat atau terhalang walaupun berada di atas ufuk maka hilal dianggap tidak atau belum wujud. Artinya posisi hilal zaman Rasul tidak hanya berada di atas ufuk mar’i saja tetapi hilal yang dapat terlihat sebagai cahaya pertama yang dipantulkan bulan setelah ijtima’.