Khutbah Jumat: Menjaga Kesalehan Sepanjang Masa

oleh Henri Lukmanul Hakim

09 Februari 2025 | 18:44

KH Sofyan Munawar Ketua PW PERSIS DKI Jakarta

Oleh: KH Sofyan Munawar

Ketua PW PERSIS DKI Jakarta


Dari Muadz bin Jabal radhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam (SAW) bersabda:


اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن


"Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah olehmu perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya kebaikan itu menghapus dosa-dosa dari keburukan, dan hendaklah kamu berakhlak atau bergaul sesama manusia dengan akhlak yang baik" (HR Ahmad 21354 dan Tirmidzi 1987).


Muadz bin Jabal yang menceritakan hadits ini adalah seorang sahabat Anshar dari kaum Khajraj di Madinah. Beliau masuk Islam di usia yang sangat belia, di usia 18 tahun. Muadz ikut Baiat Aqabah kedua di hadapan Rasulullah SAW dan beliau ikut seluruh peperangan, baik yang dipimpin langsung oleh Rasul atau yang dipimpin oleh sahabat.


Muadz bin Jabal merupakan orang yang sangat cerdan dan disebut faqih oleh Rasulullah SAW dan sebagai qa'riul qur'an (sangat bagus dan faham dalam bacaan Alquranul Karim). Karena itu, ketika tahun ke-8 hijrah terjadi Fathul Makkah, maka Muadz bin Jabal tidak diizinkan oleh Rasul pulang ke Madinah. Beliau diminta oleh Rasul tetap tinggal di Makkah untuk sementara waktu dan ditugaskan mengajarkan Alquran serta Islam kepada umat yang baru masuk Islam.


Kecerdasan dan pengetahuannya yang luas tentang Islam, Muadz bin Jabal diutus oleh Rasulullah setelah perang Tabuk ke Yaman untuk menjadi dai dan qadhi (hakim) disana. Ada dialog singkat antara Rasul dengan Muadz bin Jabal sebelum Muadz pergi ke Yaman. Rasul bertanya ke Muadz:


“Kaifa tashna’u idza uridha laka qadhaa-un?”. Yang artinya: “Bagaimana engkau bersikap jika diajukan kepadamu permintaan menetapkan hukum?”. Muadz pun menjawab: “Aqdhiy fi kitabillah,”. Yang artinya: “Aku memutuskan berdasarkan Kitabullah,”.


Nabi bertanya lagi: “Fa in lam yakun fi kitabillah?”. Yan artinya: “Kalau engkau tak temukan dalam Kitabullah?”. Muadz menjawab: “Bisunnati Rasulillah,”. Yang artinya: “Aku akan memutuskannya dengan sunah Rasulullah,”. Pertanyaan terakhir kata Rasulullah: “Fa in lam yakun fi sunnati Rasulillah?”. Muadz dengan tegas menjawab: “Ajtahidu bira’yi wala aluw,”. Yang artinya: “Wahai Rasul, Aku akan berijtihad dengan akal,”.


Mendengar jawaban mantap seperti itu dari Muadz, Nabi kemudian bersabda: “Alhamdulillahilladzi waffaqa rasula Rasulillahi lima yurdhi Rasulallah,”. Yang artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah menuju apa yang diridhai oleh Rasulullah,”.


Nabi kemudian berpesan kepada Muadz saat ia akan menunggangi kendaraannya untuk menuju ke Yaman: “Ittaqillaha haitsuma kunta wa atbi’I as-sayyiatal-hasanata tamhuha wa khaaliqi an-naasa bikhuluqin hasanin,”. Yang artinya: “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, ikutkanlah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan menghapusnya dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik,”.


Muadz bin Jabal meninggal di Syria, Syam pada masa khalifah Umar bin Khaththab karena terserang wabah tha'un.


Wasiat Agung


Dalam hadits tersebut, Rasul mengawali nasihatnya dengan Ittaqillah (bertakwalah kepada Allah). Kalau kita perhatikan wasiat taqwa ini merupakan wasiat agung, wasiat yang sangat luar biasa, wasiat yang mencakup dua hak yang harus ditunaikan oleh seorang hamba. Yaitu menunaikan hak terhadap Allah dan menunaikan hak terhadap hamba-hambaNya. Disitu ada dua hak yang harus dipenuhi, hablun minaAllah dan hablun minannas.


Kalau kita perhatikan, wasiat taqwa ini juga dipesankan dan disampaikan oleh Allah ta'ala kepada umat-umat terdahulu, seperti di dalam surat An-Nisa ayat 131:


وَلَقَدْ وَصَّيْنَا ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ وَإِن تَكْفُرُوا۟ فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا


Artinya: ..dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. (QS An-Nisa: 131).


Dalam Alquranul Karim, kata taqwa kadang-kadang dinisbatkan langsung kepada Allah SWT. Misalnya pada surat Al-Hasyr ayat 18, Ali-Imran 102, dan lain-lain. Kemudian kadang-kadang term taqwa ini diidafahkan atau disandarkan kepada siksaan-Nya yang dahsyat dan kepada tempat penyiksaan yang sangat buruk untuk orang durhaka dan durjana, yaitu api neraka. Allah SWT berfirman:


وَٱتَّقُوا۟ ٱلنَّارَ ٱلَّتِىٓ أُعِدَّتْ لِلْكَٰفِرِينَ


Artinya: Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. (QS Ali Imran: 131).


Terkadang kalimat taqwa juga dinisbahkan kepada hari, di mana dalam hari tersebut tidak ada lagi saling bantu membantu, tidak bisa lagi saling tolong menolong antar satu orang dengan yang lain. Jangankan antar tetangga, antar anak dan orang tua pun tidak bisa saling menolong. Allah berfirman:


وَٱتَّقُوا۟ يَوْمًا لَّا تَجْزِى نَفْسٌ عَن نَّفْسٍ شَيْـًٔا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَٰعَةٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ


Artinya: Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong. (QS Al-Baqarah: 48).


Begitulah kadang kata taqwa disandarkan kepada Allah, kepada neraka, dan kepada hari yang sangat dahsyat, agar umat manusia berhati-hati dan waspada dalam menjalani kehidupan ini.


Taqwa dalam Situasi dan Kondisi Apapun


Kemudian apa yang dimaksud 'ittaqillah haitsu ma kunta' (bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada)? Maksudnya adalah bertaqwalah kepada Allah dalam segala situasi, baik pada waktu sendirian, sepi, tidak ada orang yang mengawasi kita, di mana biasanya pada kondisi seperti itu, seseorang bisa terjerumus dan terjerembab dalam kondisi dosa karena tidak ada orang yang mengetahuinya. Itulah yang dimaksud fis sirri.


Atau bisa juga makna fis sirri itu seseorang berada dalam keramaian orang lain, banyak mata memandang, tapi tidak ada seorang pun yang mengenal dirinya. Misal, dia ada di negeri orang, tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Dia merasa aman dari pengawasan orang. Kemudian makna kedua, fis syahadah. Kita berada dalam situasi orang banyak, tetapi tetap menjaga ketakwaan ini.


Jadi sepanjang hayat, 24 jam, musim berganti, tempat berpindah, suasana berubah, jangan sampai kita terlepas dari sifat-sifat ketaqwaan. Jangan sampai ketaqwaan itu luntur dari dalam diri kita karena keadaan. Taqwanya jangan hanya ada di masjid saja, taqwanya jangan hanya ketika ikut pengajian saja. Tetapi ketika di luar masjid, lepas dari ketaqwaan, itu sangat berbahaya.


Ketakwaan Itu Fluktuatif


Pada lanjutan hadits tersebut, menarik ketika bunyi redaksi ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, karena dapat menghapus dosa-dosa. Sebab ketaqwaan seseorang itu fluktuatif, bisa naik bisa turun. Bisa stabil, bisa labil. Bisa kuat dan bisa lemah. Karena itu, disuruh oleh Rasul ketika seseorang terjatuh dalam keadaan dosa, ikuti perbuatan dosa tersebut dengan kebaikan, agar hilang dosa-keburukan itu.


Jadi sehebat apapun ketaqwaan seseorang, dia bisa terjerumus kepada perbuatan dosa dan maksiat. Dalilnya jelas di dalam surat Ali-Imran ayat 135. Di dalam ayat 133-nya Allah menjelaskan, surga itu disiapkan oleh Allah untuk orang-orang bertakwa, kemudian di ayat 134 Allah jelaskan di antara karakteristik orang-orang bertakwa. Nah di ayat 135-nya masih dijelaskan karakteristik orang bertakwa seperti apa?


وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ


Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS Ali-Imran: 135).


Fahsya atau fahisyatan itu merupakan dosa besar. Ada sebagian ulama yang menjelaskan fashsya itu yang tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi harus berkolaborasi. Contohnya korupsi, rata-rata orang korupsi itu rombongan. Ketika seorang koruptor ditangkap KPK dan disidangkan, ia akan menyebut si fulan dan si fulan, ketika dia mau jujur dan kooperatif, bisa saja hakim akan meringankan hukumannya, dalam istilah hukum dikenal dengan justice collaborator.


Begitupun dengan suap. Rasul menyebut orang yang menyuap dan disuap itu di neraka. Itu fahsya. Dalam suap ada tiga kelompok; pertama kelompok yang disuap, kelompok yang menyuap, dan ketiga mediatornya yang menjadi perantaranya.


Berjudi apakah bisa sendiri? Tidak bisa. Minimal dua orang. Bisa berhadap-berhadapan langsung atau melalu online yang dikenal dengan judi online (judol). Zina bisa sendiri? Tidak mungkin orang berzina sendirian.


Jadi orang bertaqwa bisa saja terjerumus ke dalam dosa besar atau dzalamu anfusahum, dosa kecil. Hanya bedanya orang yang bertaqwa itu bila berbuat dosa, dia gelisah dengan dosa dan kesalahannya itu. Dia takut dan dia menyesal dengan kesalahannya itu. Makanya di ayat tadi, ketika dia berbuat dosa, dia segera mengingat Allah dan meminta ampun. Jadi orang bertaqwa tidak menikmati dosa itu. Beda dengan ahli dosa dan ahli maksiat. Dia menikmati dan enjoy dengan dosa itu.


Seorang bertaqwa setelah berbuat dosa, dia tidak akan mengerjakan terus menerus. Tidak akan jatuh dua kali, apalagi tiga kali, empat kali pada dosa yang sama. Hanya orang-orang yang terus menerus berbuat dosa akan mandi dosa dan berkecimpung dalam lumpur dosa dan maksiat. Maka sehebat apapun orang bertaqwa, akan terjerumus ke dalam dosa. Kecuali siapa? Rasulullah SAW. Beliau ma'shum (terjaga) dan terpelihara dari dosa.


Mengiringi perbuatan dosa dengan perbuatan-perbuatan baik juga selaras dengan firman Allah SWT, karena apa yang Rasul sabdakan dengan yang Allah firmankan itu linier


وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ ۚ إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ


Artinya: Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS Hud: 114).


Makna Hasanah


Menurut para ulama pensyarah hadits ini, yang dimaksud hasanah dalam hadits tersebut pertama adalah at-taubah (taubat). Jadi, ikuti perbuatan dosa dengan taubat. Sebab taubat itu menghapus dosa. Dan memang banyak ayat dan hadits bahwa taubat itu harus dilakukan segera oleh orang yang melakukan perbuatan dosa. Allah berfirman:


إِنَّمَا ٱلتَّوْبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا


Artinya: Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisa: 17).


Maka apa yang dimaksud berbuat dosa karena kejahilan? Pertama, dia melakukan dosa karena tidak tahu sebelumnya. Kedua, orang yang berbuat dosa karena lepas kontrol, baik karena kontrol emosional maupun kontrol eksternal akibat pergaulan, itu juga kebodohan. Ketiga, sudah tahu itu dosa, tetapi masih dikerjakan juga, itu bodoh sekali namanya.


Dalam ayat lain Allah berfirman:


أَنَّهُۥ مَنْ عَمِلَ مِنكُمْ سُوٓءًۢا بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنۢ بَعْدِهِۦ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُۥ غَفُورٌ رَّحِيمٌ


Artinya: ..(yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-An'am: 54).


ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ عَمِلُوا۟ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ تَابُوا۟ مِنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوٓا۟ إِنَّ رَبَّكَ مِنۢ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ


Artinya: Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An-Nahl: 119).


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (QS At-Tahrim: 8).


Taubat nasuha itu syaratnya mengakui dosanya, menyesali, bertekad tidak akan mengulangi lagi, mencabut keinginan dalam hati, dan meminta ampunan dari Allah SWT. Jadi dosa itu tidak hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusia. Misalnya dia berbuat zalim dengan cara mencemarkan nama baiknya, membunuh karakternya, disamping meminta ampunan kepada Allah, dia juga harus meminta maaf kepada yang bersangkutan. Dan terakhir, syarat taubat itu harus berbuat baik sebanyak-banyaknya.


Dalam lanjutan ayat tersebut, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa tersebut dan memasukkannya ke dalam surga Allah SWT. Sebagaimana Rasul bersabda, orang yang bertaubat dengan taubatan nasuha seperti tidak pernah berbuat dosa, bersih kembali.


Makna hasanah kedua dalam hadits tersebut adalah mengerjakan amal saleh secara mutlak. Taubat itu bagian dari amal saleh. Di dalam Alquran dan hadits bahwa perbuatan baik, termasuk taubat di dalamnya akan menghapus dosa-dosa kita. Setidaknya ada 13 keterangan ayat Alquran dan hadits yang berbicara eksplisit bahwa amalan-amalan ini bisa menghapuskan dosa dan kesalahan, di antaranya berwudhu dan shalat fardhu. Mudah-mudahan kita senantiasa menjaga kesalehan sepanjang masa.

BACA JUGA:

Khutbah Jumat: Mencintai Rasulullah