Adakah Hak Keperdataan Bagi Korban Pemerkosaan?

oleh Reporter

08 September 2016 | 13:53

Oleh: Zamzam (Anggota LBH PP Persis)   Hampir setiap hari berita memuat informasi terkait jatuhnya korban pemerkosaan di negeri ini. Kebanyakan dari korban pemerkosaan adalah wanita dan anak di bawah umur. Jika di tinjau dari sisi hukum pidana sebetulnya tindak pidana pemerkosaan ini telah di atur dalam KUHP Pasal 284 yang berbunyi: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Dengan kurungan maksimal dua belas tahun penjara, hal ini mencerminkan bahwa pemerkosaan adalah tindak pidana yang cukup berat, namun apakah seorang korban pemerkosaan akan merasa puas dengan jatuhan hukuman dua belas tahun penjara atau bahkan bisa saja merasa tidak adil jika hukumannya kurang dari dua belas tahun penjara. Kita semua memahami bahwa dalam kasus pemerkosaan yang direnggut bukanlah harta, tapi kesucian dan harga diri. Selama ini pelaku pemerkosaan hanya menjalani hukuman pidana, tanpa ada tuntutan perdata atau ganti rugi dari pelaku kepada korban. Ibarat kasarnya pelacur saja dibayar mahal, namun penulis ingin tegaskan bahwa korban pemerkosaan bukan pelacur, sehingga perlu ada jalur yang terhormat untuk memperjuangkan hak keperdataanya. Tulisan ini akan membahas bagaimana hak keperdataan bagi korban pemerkosaan. Sebetulnya hal ini sama saja dengan menggabungkan gugatan pidana dengan perdata. Biasanya hal ini terjadi dalam kasus-kasus bisnis, contohnya: si A melakukan hubungan kerjasama bisnis dengan si B, tapi si B menipu si A. Penipuan itu kan pidana (Pasal 378 KUHP) sedangkan hubungan bisnisnya adalah Perdata. Contoh lain: seseorang yang di aniaya dan barangnya dirusak. Penganiayaan adalah pidana (Pasal 351 KUHP) sedangkan barang yang dirusak dapat mengajukan ganti rugi (Perdata). Mengenai penggabungan gugatan pidana kedalam gugatan perdata sebetulnya belum ada aturan yang mengaturnya. Namun untuk penggabungan gugatan perdata (dalam hal ini terkait dengan ganti rugi) kedalam gugatan pidana telah di atur secara tegas di dalam KUHAP.   Dasar Hukum BAB XIII KUHAP, mulai dari pasal 98 – 101 KUHAP, mengatur tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Pasal 98 (1) KUHAP: “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu” Pasal ini telah mengakomodir jika yang di maksud dengan hak keperdataan adalah hak ganti rugi. Oleh karena itu bisa saja korban pemerkosaan atau keluarganya mengajukan gugatan ganti rugi kepada majelis hakim melalui penuntut umum. Selanjutnya hal tersebut juga dapat diajukan melalui pengajuan restitusi yang di atur oleh PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Waktu Pengajuan Berdasarkan Pasal 98 (2) KUHAP: “Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan”. Sedangkan waktu pengajuan Restitusi menurut Pasal 7 ayat (1) huruf b PP 44/2008 jo Pasal 7 ayat (2) UU 13/2006 ialah sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 21 PP 44/2008) Langkah langkah Korban pemerkosaan ataupun keluarganya harus dapat membuktikan terkait jumlah atau besaran kerugian yang dideritanya dengan alat bukti yang cukup. Kemudian berdasarkan Pasal 99 ayat (1) KUHAP Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban. Jika melalui jalur Restitusi, permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP 44/2008 memuat sekurang-kurangnya: identitas pemohon, uraian tentang tindak pidana, identitas pelaku tindak pidana, uraian kerugian yang nyata-nyata diderita, dan bentuk Restitusi yang diminta. Dari kedua langkah di atas hak keperdataan yang dapat diterima oleh korban pemerkosaan sebatas ganti rugi biaya yang dikeluarkan, seperti halnya biaya perawatan dan pengobatan di rumah sakit, biaya rehabilitasi mental, atau biaya aborsi anak hasil pemerkosaan jika usia kandungan kurang dari 40 hari (Pasal 31 ayat (2) PP No 61 Tahun 2014 jo Fatwa MUI No 4 Tahun 2005) dan jika sudah lebih dari 40 hari maka bisa di ajukan biaya perawatan kehamilan dari mulai pemeriksaan sampai persalinan. Jika anak tersebut sudah lahir maka hak restitusinya dapat mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 jo Fatwa MUI No 11 tanggal 10 Maret 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Peraturan Terhadapnya Oleh karena itu hak keperdataan seorang korban pemerkosaan tidak dapat di dasarkan pada kerugian-kerugian lain selain dari pada kerugian yang disebutkan diatas. Maka jika menuntut hak keperdataan sampai kepada denda dengan jumlah senilai dengan mahar seperti yang dijelaskan oleh Ibu Neneg Djubaedah dalam tulisannya yang berjudul “Hak Korban Pemerkosaan” sangat tidak mungkin di akomodir oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia. Jika tuntutan membayar denda senilai dengan mahar atau mas kawin tersebut didasarkan pada kerugian-kerugian immaterial yang dialami korban, seperti hilangnya keperawanan, harga diri, kehormatan dll maka sebetulnya tuntutan hak keperdataan tidak akan pernah mencukupi dan memenuhi perlindungan hukum terhadap korban. Mengapa? Karena keperawanan seorang wanita tidak akan kembali dengan uang ratusan juta rupiah, begitupun dengan kehormatan dan harga diri seorang wanita tidak dapat di ganti dengan uang miliyaran rupiah. Jika ditambah dengan hukum adat dan hukum-hukum yang lainnya maka tetap saja hal tersebut tidak dapat mencukupi perlindungan hukum terhadap korban, karena keperawanan, harga diri dan kehormatan bukanlah hal yang kerugiannya dapat di ukur secara materil. Maka dalam hal ini perlu peran pemerintah dalam menambahkan hak restitusi terhadap korban pemerkosaan di luar dari hak ganti rugi, yaitu menambahkan hak tambahan yang bersifat bantuan. Hak bantuan tersebut dapat dibebankan kepada tersangka, atau jika tersangka tidak mampu membayarnya maka dibebankan kepada negara, dengan menambah lamanya hukuman penjara bagi tersangka. Oleh karena itu peran seorang jaksa sebagai pengacara negara dalam kasus pemerkosaan ini sangat penting untuk bersikap proaktif membela korban, selain daripada mengajukan dakwaan pidana terhadap tersangka, jaksa juga harus dapat mengakomodir kerugian korban dan hak bantuan untuk korban pemerkosaan.
Reporter: Reporter Editor: admin