Antara Iman dan Kufur

oleh Reporter

18 Oktober 2016 | 13:21

Membicarakan perihal iman dan kufur merupakan pondasi tauhid karena dengannya Allah mengkategorikan manusia di dalam Al Quran dan Sunnah nabiNya, baik dalam hukum dunia seperti yang kita ketahui bersama terkait dengan hak waris, keterjagaan darah, pernikahan, dalam hubungan mu’amalah seperti ucapan salam, hak warga negara dalam pemerintahan Islam dsb. Adapun dalam hukum akhirat telah diketahui bersama dimana akan berbeda ganjaran dan tempat kembali antara orang beriman dan orang kafir. Orang Islam yang enggan dan mencoba menghindarkan diri dari membicarakan hal-hal ini tidak akan pernah memahami tabi’at agama suci ini yang sengaja Allah turunkan dari langit sebagai furqon (pembeda antara yang haq dan bathil) bagi manusia. Furqon jika ingin menjadi petunjuk mestilah dapat difahami oleh manusia agar dapat diaplikasikan. Mustahil Allah menurunkan furqon yang membingungkan manusia. Jika demikian halnya maka akan tersia-sialah Al Quran, tidak dapat menjadi petunjuk dan penerang, jika pesan-pesannya tidak dapat difahami alam pikiran manusia. Pembicaraan masalah ini alangkah baiknya jika dimulai dari definisi Iman menurut istilah. Sebagaimana telah disekapati oleh kaum muslimin bahwa iman secara istilah adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Berdasarkan pengertian ini, maka seseorang baru boleh dikatakan beriman jika seluruh aspek ini terkumpul di dalam diri seseorang. Beriman dalam lingkup keislaman artinya keyakinan seseorang akan kebenaran Islam yang dibuktikan dengan ucapan dan perbuatan yang selaras dengan keyakinannya. Adapun jatuhnya seseorang kepada kekafiran, tidak mengharuskan hilangnya seluruh aspek tersebut. Artinya satu aspek saja jatuh kepada amal kekafiran maka dia menjadi orang kafir, apakah keyakinan saja, ucapannya saja, atau perbuatannya saja. Misalnya seseorang yang dalam hatinya meragukan Kebenaran Islam atau tidak meyakini kebenaran Al Quran, sekalipun ucapannya: “saya muslim” dan beribadah sebagaimana layaknya muslim, maka dia jatuh ke dalam kekafiran hanya dari niat saja. Namun yang perlu diingat bahwa menilai kekafiran oleh manusia hanya diizinkan dari apa yang tampak (lahiriah) saja berupa ucapan dan perbuatan. Sebagaimana ijma’ para sahabat menganggap murtad kaum yang menolak membayar zakat hanya dikarenakan faktor penolakan (ucapan dan perbuatan) tanpa bertanya apakah hati mereka meyakini kewajibannya atau tidak, serta menganggap murtad kaum yang mengikuti Musailamah al Kadzdzab (si nabi palsu) hanya dengan kekafiran ucapan yang menyatakan bahwa Musailamah adalah Nabi lain yang menyertai kenabian Muhammad bin Abdullah. Padahal diantara mereka banyak juga yang masih mengakui LAA ILAAHA ILLALLAH. (lihat Mufid al Mustafid fie kufri tarikittauhid oleh Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab). Allah tidak memperkenankan manusia menilai manusia lain dari segi niyat/ keyakinan hati kecuali ketika keyakinan hati itu sudah terbukti dari ucapan dan perbuatan. Sebagaimana Rasulullah dan para sahabat memperlakukan orang-orang munafiq (orang kafir yang pura-pura masuk Islam) di madinah sama seperti memperlakukan kaum muslimin, karena belum terlihat amal ucapan dan perbuatan yang menggugurkan keislaman. Padahal Allah ta’ala, di dalam Al Quran, telah menetapkan tempat tinggal orang-orang munafiq ini di dasar neraka. Artinya hanya Allah ta’ala saja Yang Mahatahu terhadap isi hati hamba yang berhak menghukumi kekafiran manusia dari aspek niyat (amal hati). Mengenai kondisi iman seseorang, Rasulullah bersabda: “Iman itu terkadang bertambah dan berkurang.” Bertambahnya iman itu dengan melakukan keta’atan dan berkurangnya iman dengan melakukan maksiat. Berdasarkan dalil ini bahwa amalan berupa keyakinan hati, ucapan lisan dan perbuatan anggota badan yang masuk kategori maksiat tidak akan serta merta menggugurkan keislaman pelakunya selama mereka tidak menghalalkannya. Maksiat yang dilakukan seseorang hanya akan mengurangi keimanannya saja, sekalipun maksiat tersebut masuk kategori dosa besar, seperti zina dan membunuh jiwa yang diharamkan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dosa itu terbagi menjadi dosa besar dan kecil. Adapun hal yang wajib diketahui oleh setiap muslim adalah terdapat jenis-jenis amal yang akan menggugurkan keislaman seseorang. Jika seorang Muslim melakukan amal ini, sadar atau tidak, maka ia akan menjadi orang murtad. Artinya seseorang masih disebut sebagai muslim sekalipun melakukan maksiat (dosa) kecil atau besar. Status seseorang akan berubah menjadi murtad alias kafir jika melakukan hal-hal yang membatalkan keislaman. Sehingga dalam hal ini kita dituntut untuk dapat membedakan amal yang masuk kategori maksiat biasa dengan amal yang dapat membatalkan keislaman. Hal ini telah dijelaskan perinciannya oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam risalah fie nawaqid al Islam (Risalah tentang pembatal-pembatal keislaman) yang berjumlah sepuluh. Untuk pembahasan tentang risalah fie nawaqid al Islam in syaaAllah akan dibahas dalam judul terpisah. Mudah-mudahan Allah ta’ala meneguhkan hati kita di dalam keimanan dan menjauhkan kita dari amal kekufuran. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Segala puji hanya bagi Allah. (/Mufti)
Reporter: Reporter Editor: admin