Sumedang, persis.or.id – Untuk merespon isu-isu aktual keagamaan terutama mengenai wacana dan diskursus moderasi beragama, PD Pemuda PERSIS Sumedang melalui Panitia Musda VII menggelar seminar yang bertajuk “Moderasi Beragama: Apa dan Bagaimana?”
Digelar di Markaz Dakwah Al-Asma PD PERSIS Sumedang, seminar ini menghadirkan pembicara memiliki kompetensi di dalamnya. Mereka adalah Dr. Tiar Anwar Bachtiar sebagai Ketua Umum PP Pemuda PERSIS Masa Jihad 2010-2015, dan Dr. Dudung Abdul Rohman selaku Ketua PD Pemuda Persis Sumedang Masa Jihad 2002-2005.
Dalam sambutannya, Guntur Rijaluddin, S.Pd.I selaku Ketua PD Pemuda PERSIS Sumedang mengatakan bahwa isu-isu tentang moderasi beragama juga masuk ke dalam jamiyyah dan jammaah PERSIS.
Oleh karena itu, kegiatan seminar ini diharapkan dapat membuka wawasan umat tentang hal tersebut.
“Apakah benar sebagai upaya liberalisasi agama ataukah sebagai upaya mendudukkan kembali sikap beragama yang benar dan sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan bangsa Indonesia yang beragam,” terangnya dalam kegiatan yang digelar pada pada Rabu (05/01/2022) lalu.
Kegiatan ini mendapatkan apresiasi dari Ketua PD Persis Sumedang H. Saepul Bahri, M.Pd.I. Sebab menurutnya, berdasarkan hasil penelitian di antara provinsi di Indonesia yang indek intoleransinya tinggi adalah Jawa Barat.
Meskipun hasil penelitian ini perlu dipertanyakan dan diuji kembali dari aspek metodologi dan indikatornya, kata dia, tetapi paling tidak hal ini menjadi bahan evaluasi tentang sikap beragama yang seperti apa sebetulnya yang dipandang ideal.
“Karena itu, seminar ini menjadi penting dan relevan untuk dilaksanakan dan diikuti oleh kita semua. Maka acara seminar ini mendapat atensi yang luar biasa dari keluarga besar PERSIS Sumedang yang dihadiri lebih dari 100 orang,” tandasnya.
Pemaparan dari Pemateri
Dalam pemaparannya, Dr. Dudung Abdul Rohman menjelaskan bahwa wacana mmoderasi beragama ini tidak muncul tiba-tiba.
“Kalau diurut secara kronologisnya, bahwa wacana ini muncul sesaat setelah terjadi tragedi hancurnya Gedung WTC di Amerika pada 11 September 2001. Kemudian diikuti di Indonesia terjadi peledakan Bom Bali pada 2002 dan tragedi serupa pada waktu-waktu berikutnya,” terangnya.
Tragedi ini menggiring opini bahwa pelakunya komunitas agama tertentu. Sehingga muncullah stigma negatif yang dialamatkan kepada komunitas agama tertentu, yaitu radikal, teroris, garis keras, intoleran dan sebagainya.
Ini tentunya menjadi tantangan dan pukulan yang berat bagi komunitas umat Islam, termasuk di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Maka sebagai counter opini, diangkatlah wacana dan paradigma wasthiyyatul Islam atau Islam Wasathiyyah.
Oleh karena itu, kata dia, pada periode berikutnya berkembanglah wacana moderasi Islam supaya lebih dapat diterima oleh kalangan masyarakat.
“Sebenarnya moderasi Islam itu merupakan terjemahan dari Wasthiyyatul Islam atau Islam Wasathiyyah. Juga setelah diteliti, ternyata semua agama dapat dipastikan secara esensial mengembangkan nilai-nilai moderasi, maka kemudian dikembangkanlah menjadi istilah moderasi beragama hingga sekarang,” paparnya.
Salah satu nilai urgensi moderasi beragama dalam perspektif keislaman Indonesia menurut Ustaz Dudung adalah untuk mempertegas bahwa Indonesia adalah bangsa yang agamis yang mampu hidup rukun, damai dan toleran sekalipun berdampingan dengan yang berbeda agama.
"(Juga) Untuk menegaskan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak menyukai tindakan kekerasan dalam penyebaran agama,” kata dia.
Dr. Tiar Anwar Bachtiar memaparkan, bahwa terkadang pemerintah kadang berlebihan dalam merespon isu-isu yang berkembang di masyarakat salah satunya yang terkait moderasi beragama. Seperti program pengarusutamaan moderasi beragama yang gencar dikampanyekan oleh pemerintahan.
“Ini menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sampai tahun 2024 yang diperkirakan dapat menelan anggaran triliyunan rupiah. Padahal target dan pencapaian dari program ini tidak jelas,” terangnya.
Menurutnya, jika misal targetnya untuk menghalau paham-paham ekstrem dalam beragama karena menjadi penyebab terjadinya tindakan kekerasan bernuansa agama, mestinya ditujukan kepada kelompok-kelompok yang dipandang esktrem sebagai program deradikalisasi.
Tetapi nyatanya ini ditujukan kepada semua penduduk Indonesia yang sudah berusaha mengamalkan agamanya secara baik dan benar.
“Sehingga kesannya seperti menembak tikus dengan menggunakan rudal atau bom yang bisa merusak semuanya,” ujarnya.
Mengenai moderasi, sebenarnya Islam itu moderat yang merupakan terjemahan dari ummatan wasathan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 143. Di dalamnya, Allah Swt menegaskan, bahwa demikianlah Kami telah menjadikan kamu sebagai ummatan wasathan, ummat pertengahan yang adil dan moderat.
“Kamu di sini adalah para sahabat yang mengamalkan Islam secara benar. Jadi ketika umat Islam mengamalkan Islam secara benar itulah moderat. Juga ketika umat PERSIS mengamalkan ajaran Islam secara benar berdasarkan Alquran dan Assunnah berarti sudah moderat,” paparnya.
Jadi intinya , kata dia, moderasi beragama itu jangan seperti layang-layang yang putus tanpa arah dan terbawa angin.
“Tetapi harus seperti layang-layang yang benangnya masih tersambung dan dapat dikendalikan. Tentu benang dan kendalinya adalah ajaran Islam yang berlandaskan Alquran dan Assunnah,” tutupnya.
(RLS/FAR)