BNPT Sebut 198 Pesantren Terafiliasi Kelompok Teroris, Waketum PERSIS: Buktikan dengan Fakta Hukum

oleh Reporter

27 Januari 2022 | 10:40

Jakarta, persis.or.id – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar menyampaikan setidaknya ada 198 pesantren yang terafiliasi kelompok teroris. Sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia, pernyataan tersebut disampaikan dalam rapat dengan Komisi III DPR, Selasa (25/1).

Pernyataan yang menyebutkan seolah-olah pesantren adalah sarang teroris, mendapat protes dari Wakil Ketua Umum (Waketum) Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP PERSIS) Dr. Jeje Zaenudin.

“Sangat prihatin dengan adanya publikasi nama-nama pesantren yang didaftar sebagai pondok pesantren yang terafiliasi dengan kelompok atau organisasi yang digolongkan sebagai organisasi teroris,” kata Jeje dalam keterangan persnya, Kamis (27/1/2022).

Ia menilai, pernyataan BNPT itu tentu saja dapat menimbulkan keresahan sekaligus kecemasan pada masyarakat, khususnya warga sekitar pesantren.

Dan tentu sangat merugikan bagi lembaga pondok pesantren yang masuk daftar itu, karena telah mendapat stigma buruk. Apalagi para orang tua santri, tentu mereka menjadi was-was akan kelangsungan pendidikan anak anak mereka.

“Pernyataan BNPT tentu berbasis data. Oleh karena itu kami meminta agar data itu juga dibuka,” ucap Jeje.

Ustaz Jeje menilai, bisa saja perumusan kriteria pondok pesantren yang didaftar berafiliasi kepada kelompok teroris itu bersifat subjektif dan sepihak. Sehingga, memungkinkan bisa diklarifikasi bahkan digugat oleh pihak pondok pesantren tersebut.

“Indonesia ini negara hukum. Maka penetapan suatu lembaga pendidikan pesantren divonis sebagai lembaga berafiliasi teroris juga harus berdasar hukum. Bukan berdasar analisis subjektif,” tambahnya.

Jeje berpandangan, konsekwensi penetapan suatu lembaga pendidikan berafiliasi pada teroris sangat besar dan berat ditanggung oleh lembaga pondok tersebut. 

"Sebab itu, saya kira layak jika mereka yang tidak merasa dan tidak menerima tuduhan itu untuk memproses secara hukum, sebab nama baik mereka telah tercemar. Sehingga, dapat terbukti di pengadilan benar atau tidaknya lembaga pondok itu berafiliasi kepada tetoris," katanya.

Waketum PERSIS berpendapat, tidak semudah itu suatu lembaga pendidikan yang berbadan hukum dituduh sebagai berafiliasi kepada kelompok teroris tanpa ada pembuktian hukum. 

Jika hanya karena ada satu atau dua ustaznya atau alumninya yang terbukti gabung dengan kelompok teroris, tidak bisa jadi dasar tuduhan pesantren tersebut berafiliasi kepada teroris.

“Apakah jika ada banyak alumni sebuah lembaga perguruan tinggi yang menjadi aktivis prokomunisme, lantas lembaga perguruan tinggi tersebut berhak didaftar sebagai lembaga pendidikan terafiliasi kelompok komunis yang diharamkan di wilayah hukum Indonesia?” tanya Jeje.

“Atau karena dosen dan alumni suatu lembaga kampus banyak yang korupsi lantas lembaga pendidikan itu dicap sebagai kampus pendidikan koruptor? Tentunya tidak seperti itu,” terangnya.

Oleh sebab itu, menurut hemat saya, penetapan suatu lembaga pondok pesantren sebagai pondok yang berafiliasi kepada teroris harus dibuktikan dengan fakta hukum. 

“Sebab terorisme ini masuk kepada extra ordinary crime,” imbuhnya.

Ia melanjutkan, bagaimana mereka yang tertuduh berafiliasi dengan kelompok kejahatan luar biasa itu tanpa ada pembuktian dari yang menuduh, dan tidak ada klarifikasi dari mereka yang tertuduh.

Ia menyampaikan rasa khawatirnya bahwa cara-cara seperti itu akan memperkuat kecurigaan masyarakat tentang adanya upaya mendiskreditkan kelompok Islam tertentu.

“Yang rugi tentu bukan hanya BNPT, tetapi juga secara keseluruhan program negara yang bisa saja jadi gagal menangani masalah terorisme yang sebenarnya,” paparnya.

Meskipun begitu, Jeje Zaenudin yang juga Ketua MUI Bidang Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam tidak memungkiri bahwa memang ada beberapa pondok pesantren yang menganut aliran Islam radikal.

Namun, BNPT tentunya tidak boleh langsung memukul rata bahwa semua ponpes seperti itu. Pemerintah justru yang harus lebih berperan melakukan pembinaan.

Di sisi lain, Jeje juga mengingatkan bahwa penyebutan sebuah lembaga pesantren sebagai berafiliasi dengan teroris harus benar-benar clear data dan kriterianya. 

“Apa yang dimaksud berafiliasi di sini, dan apa  tindakan teror yang telah akan atau mungkin terjadi. Jangan sampai dipahami bias,” pungkas Jeje. Zaenudin.

 

(HL/dh)

Reporter: Reporter Editor: admin