Sumedang, persis.or.id - Menjelang enam bulan menuju Muktamar PERSIS, Bidang HMK menggelar Diskusi Kebudayaan bertajuk "Adu Manis Budaya Sunda dan Agama Islam." Kegiatan tersebut dilaksanakan di RM Sukahati, Cipacing, Sabtu (19/03/22).
Dalam rangkaian acara pembukaan kegiatan, sebuah pemandangan baru dipertunjukkan, yaitu pembacaan tafsir ayat Al-Qur'an yang pernah disusun oleh salah seorang guru PERSIS, Allahu yarham KH. Syarif Sukandi. Qari, Wihdan Ridwanullah, membacakan beberapa ayat dan surat seperti Al-Alaq dan Al-Ikhlas, lalu diselingi dengan pembacaan tafsir karya KH. Syarif Sukandi oleh Ahmad Rizal.
Kegiatan Diskusi Kebudayaan diisi oleh pemateri H. Tatang Sumarsono (Sastrawan Sunda), Dr. Hawe Setiawan (Paguyuban Pasundan), dan Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum. (Sejarawan/Ketua HMK PERSIS).
Dalam paparannya, Tatang Sumarsono menyebutkan bahwa "Sunda itu Islam, Islam itu Sunda." Hal ini pertama kali didapatkan dari Ama (KH. Endang Saefudin Anshari). Tapi, perlu catatan istilah tersebut tertuju pada aspek-aspek materi, bukan imateri.
Lebih lanjut, Pak Tatang menjelaskan ada irisan yang kuat antara pemahaman keyakinan orang Sunda, bahwa Tuhan itu satu yang disimbolkan dengan sebutan Sang hyang siskakanda.
“Sementara, dalam Islam dikenal dengan Tauhidullah. Dengan demikian, masuknya Islam ke masyarakat Sunda menjadi mudah diterima," tuturnya.
Pada akhir paparannya, Ia menyampaikan bahwa Islam adalah Sunda dan Sunda adalah Islam itu dalam aspek muamalah, bukan dari aspek akidah.
Sementara itu, Hawe Setiawan mengatakan bahwa mempertanyakan irisan Islam dan Sunda atau sebaliknya bukan hal yang signifikan, karena faktanya sudah tidak terbantahkan korelasinya yang kuat.
Beliau menutup penjelasannya bahwa dakwah di masyarakat Sunda harus dilakukan dengan cara elegan, tidak serius, tetapi santai.
Adapun Dr. Tiar Anwar Bachtiar menerangkan, secara faktual historis sulit untuk membantah bahwa Islam tidak memiliki irisan kuat dengan Islam.
Tiar lebih jauh menyoroti terjadi kesalahpahaman para pegiat atau aktivis budaya yang berupaya menghidupkan budaya dalam bentuk pementasan, bukan dalam realita. Akhirnya, menjadi tontonan bukan tuntunan.
“Padahal, budaya adalah daily life. Tapi fakta tersebut menjadi cukup wajar, karena mereka bukan berasal dari para ahli agama,” katanya.
Kontributor: Muslim Nurdin
Editor: Dhanyawan