Bandung - persis.or.id, Persistri memilih gerakan 'Peduli LGBT' ketimbang gerakan "Tolak LGBT', mengapa? seperti ini penjelasannya
Anak muda yang tampak imut karena tidak dibekali nilai agama yang benar dan secara psikologis masih mencari jati diri menjadi sasaran empuk yang luar biasa bagi kelompok LGBT. Beberapa ungkapan dari curhat anak yang terpapar LGBT, orang tua mereka jatuh pingsan saat diberitahu bahwa mereka adalah Gay, Lesbi atau Transgender, dan mereka hanya diam, memilih tidak mau peduli. Kita semua sedih, marah, kecewa, mengetahui bahwa mereka berbondong bondong digiring menuju kehancuran, apalagi diantara yang menggiringnya adalah ilmuwan, aktivis konseling, dan agamawan!
"Orientasi seksual adalah sesuatu yang unik sehingga harus ditanggapi dengan bijaksana pada setiap individu. Tidak semua anggota LGBT adalah pelaku yang secara radikal menjadi penggerak propaganda LGBT, diantaranya terdapat korban yang kebingungan ingin disembuhkan", tutur Taty Setiaty, Sekretaris Umum PP Persistri.
Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa Kaum LGBT terbagi atas beberapa jenis: 1. LGBT diam. 2. LGBT yang menyadari secara terbuka dan ingin kembali normal maka perlu pendekatan kuratif dan rehabilitatif. 3. LGBT yang menyadari secara terbuka dan meyakini itu adalah pilihan serta tidak mau direhab, maka harus di lakukan pendekatan punitif (diberi sanksi hukuman). 4. Orang yang mendukung dan mengkampanyekan LGBT baik dengan cara bersikap netral karena menganggap hal itu normal, perlu dilakukan pendekatan punitif. 5. Orang yang mencari tahu dan tertarik dengan cara pandang atau perilaku LGBT, maka perlu dilakukan pendekatan prefentiv.
"Sebab itulah kita tidak mendukung upaya penolakan masyarakat terhadap LGBT melalui bentuk anarki dan kekerasan, Karena masalah LGBT adalah masalah penyakit sosial, maka seluruh elemen masyarakat harus terlibat dalam upaya pencegahan dan pemulihannya. LGBT berikut eksesnya menjadi salah satu fokus perhatian gerakan Persistri, sesuai wilayah gerakan jamiyyah Persistri yaitu bidang pendidikan, dakwah, ekonomi dan sosial kemasyarakatan lainnya", ucap Taty. Hal ini sejalan dengan QA pasal 6 dan meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam di kalangan anggota khususnya dan muslimah umumnya sehingga tercipta Al Maratusshalihah sebagai rencana jihadnya (QA pasal 8). Dengan landasan Qaidah demikian berarti Persistri telah dipanggil untuk dapat menjadi warga siaga terhadap permasalahan sosial.
Gerakan Tolak LGBT dari Persistri perlu dipilih agar sesuai dengan ruh keislaman yang menjadi dasar pergerakan jamiyyah yakni berdasar Al-Quran dan As-Sunnah. "Kita menjauh dari gerakan yang tidak simpati sehingga memperkukuh penilaian bahwa yang menolak LGBT adalah intoleran. Gaya komunikasi kaum LGBT yang menarik kaum muda, argumen yang kuat dan mengetahui permasalahan secara mendasar dan berbicara secara komprehensif perlu dilirik dalam gerakan dakwah pelurusan ini", papar Taty.
Istilah dalam perang Hu Tsu adalah mengalahkan lawan dengan senjatanya sendiri. Atau mengambil hikmah pada strategi perjanjian Hudaibiyah Rasulullah SAW, memanfaatkan satu point peluang kemenangan diantara sekian banyak point perjanjian yang tidak menguntungkan. Sebagai contoh dari pada menggunakan istilah “Tolak LGBT”, bisa digunakan istilah “Peduli LGBT”.
"Anggota dan simpatisan Persistri yang kreatif dan senang dengan dunia desain mungkin bisa berperang slogan melalui gambar kreatif di media sosial atau dakwah via gambar yang ditempel pada barang-barang keperluan sehari-hari seperti baju, kendaraan, gelas minuman dll", imbuh Taty. Lanjutnya, Salah satu langkah mudah adalah dengan tidak menshare gambar yang mendukung LGBT termasuk bentuk pesan emosi yang ada di aplikasi Line, Whatsapp dll di handphone karena itulah maksud kaum LGBT, secara tidak sengaja dibantu dipropagandakan oleh masyakarat. Taty mengajak masyarakat menggunakan cara bijak dan cerdas dalam membantu pelaku LGBT keluar dari kelainan seksualnya. (HL & TG)