Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda berkaitan dengan menuntut ilmu
... وَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ ...
"... Maka hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak... "
Hadits ini tercantum dalam Shohih Bukhori KITAB Ilmu BAB Orang yang hadir hendaklah menyampaikan ilmu yang didengarnya kepada yang tidak hadir.
1. Kampus yang kecil membawa pesan bahwa ia harus dibesarkan oleh mahasiswa yang berfikiran besar.
Nama yang paling sulit untuk didefinisikan sekaligus memiliki definisi yang paling jamak adalah 'Cinta'. Sampai hari ini, pengertian tentang istilah tersebut tidak pernah ada yang dibakukan.
Namun di sisi lain, dari mulai petani hingga seorang filosof memiliki caranya sendiri dalam memaknai Cinta. Namun hal yang cukup penting untuk diperhatikan adalah bagaimana kita mengetahui bahwa 'Cinta' itu ada.
Diantara tanda bahwa cinta eksis atau hadir, adalah adanya 'pengorbanan'. Pengorbanan akan senantiasa menjadi ruh bagi cinta. Karena cinta tanpa pengorbanan adalah kepalsuan.
Kita tidak akan pernah bisa melahirkan pengorbanan kepada kampus kita sendiri sebelum kita memiliki rasa cinta terhadapnya. Lalu bagaimana kita melahirkan cinta kepada kampus kita sendiri? Apakah kampus yang kita duduk hari ini patut untuk kita cintai?
Ketahuilah, sesungguhnya cinta bisa tumbuh manakala kita berupaya untuk tulus dekat dan mengenal sesuatu yang kita cintai lebih jauh dan lebih dalam. Cinta juga bisa berbunga kala kita memupukinya dengan perhatian yang lebih, atas sesuatu yang kita cinta.
Kawan, perlu kita ketahui. Realitas hari ini, kebanyakan sekolah tinggi, universitas dan lembaga pendidikan lainnya yang sejenis, kini telah berganti fungsi.
Yang dulunya lembaga pendidikan tingkat sekolah tinggi atau universitas dirancang untuk mencetak manusia-manusia yang mampu memberikan pencerahan serta memajukan masyarakat kini telah menjadi pasar.
Kampus-kampus dipromosikan agar bagaimana mendapat banyak peminat sehingga banyak yang masuk kemudian akan memberikan pendapatan yang besar bagi lembaga. Dan ini semua telah menjadi rahasia umum. Apa buktinya?
Lihat saja hasil-hasil cetakannya. Mahasiswa yang seharusnya dekat dengan masyarakat, mendengarkan keluh kesah serta penderitaan masyarakat, memberikan segudang solusi bagi berbagai persoalan masyarakat kini justru malah ditakuti masyarakat.
Semua ini wajar saja terjadi, karena yang diharapkan lembaga pendidikan bukan bagaimana mencetak mahasiswa yang ideal seperti disebutkan di atas, tapi bagaimana mendapatkan pendapatan. Sehingga abai terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa setelah keluar dari kampus.
Mari kita lihat bagaimana kondisi kampus kita, agar kita mampu mengenalnya lebih dekat. Penting kita ketahui, bahwa kampus ini didirikan dengan tulus untuk memberikan pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
Proses pendiriannya melewati fase dengan susah payah. Pendiriannya bukan didorong oleh kepentingan komersial. Namun berdasarkan keprihatinan dan keresahan yang dirasakan oleh para pendirinya terhadap nasib generasi mendatang yang akan menghadapi tantangan-tantangan besar, yang apabila tidak dibekali dengan ilmu yang memadai, mereka akan tergerus oleh kejamnya realitas zaman.
Apabila dosen-dosen di luar sana dengan gedung kampusnya yang megah, mereka mendapatkan gaji yang besar. Namun dosen-dosen kampus kita yang kebanyakan berlatar belakang asatidz dan aktifis di kampungnya masing-masing, mereka hanya digaji setengah hidup. Padahal pengabdiannya setengah mati.
Andri Nurkamal menggambarkan bagaimana salah satu dosen kita, ketika hendak menunaikan kewajibannya memberi kuliah, ia harus naik angkutan umum dengan jarak yang jauh yang tentunya merogoh koceknya sendiri untuk biaya transportasi.
Ini hanya salah satu catatan kecil pahit getir perjuangan dari seluruh elemen yang terlibat dalam memperjuangkan kemajuan kampus kita. Masih banyak kisah mengharukan lain yang tidak perlu kita ceritakan di sini lebih jauh.
Kejamkah kita apabila kita selaku mahasiswa kampus ini berleha-leha, bermalas malasan, tidak serius dalam menimba ilmu, asal-asalan ketika di kelas (asal hadir, asal duduk, asal nitip absen, dan asal-asalan lainnya) membiarkan mereka yang berjuang merangkak, meringkih tertatih-tatih.
Gedung kampus ini memang benda mati, namun akan semakin mati kala mahasiswa di dalamnya tidak memiliki kesadaran atas identitasnya sendiri. Dan gedung kampus yang mati ini bisa hidup kala mahasiswanya pula mampu mengaktualisasikan identitas dirinya.
Maka mati dan hidupnya kampus, besar ditentukan oleh mahasiswa yang ada di dalamnya. Inilah alasan kenapa kita perlu mencintai kampus kita. Sehingga kita mampu memberikan pengorbanan terbaik kita untuk kampus tercinta.
2. Menjadi mahasiswa adalah anugerah. Maka syukurilah dengan menjadi mahasiswa yang peka terhadap gejala zaman.
Kita perlu menginsyafi pula, masih banyak di luar sana yang tidak mampu merasakan nuansa kelas serta duduk dalam bangku perkuliahan. Ada yang dilatarbelakangi oleh keterbatasan materi, ada yang berasal dari keputusan jalan hidupnya sendiri, dan masih banyak alasan lain yang mengahalangi mereka dari dunia akademik tingkat perguruan tinggi. Hari ini kita melihat bagaimana identitas mahasiswa telah bergeser dari garis bentang sejarahnya.
Kehidupan yang glamour dan mewah kini menjangkiti mahasiswa-mahasiswa populis yang mabuk oleh budaya barat. Kesadarannya telah tenggelam bersama gaya hidup hedonis dan materialistis. Pandangannya yang dulu sangat tajam terhadap masa depan, kini telah tertutup oleh kabut popularitas dan eksistensi individual.
Kebanyakan mereka telah jauh tersesat ke tengah belantara hiburan. Hingga akhirnya lupa jalan pulang ke tempat sejarah yang menunjukan identitas sejatinya. Belum lagi kita dihadapkan pada budaya dangkal dari pemikiran yang sangat sempit dengan kebiasaan menjadi mahasiswa "kupu-kupu".
Tidak akan pernah tersemat kata "perjuangan" apabila pola bermahasiswa kita sekedar datang ke kampus-duduk di kelas-kemudian pulang. Kita tinggal memilih, apakah kita akan menjadi mahasiswa sejati yang akan mengembalikan mereka yang tersesat, atau menjadi bagian yang tersesat? Pilih sesukamu, tapi jangan bertanya tentang konsekuensinya!
3. Kita semua punya impian pribadi. Tetapi sebaik-baiknya impian adalah yang berkaitan dengan masyarakat banyak.
Tidak salah kita bercita-cita menjadi seorang guru, dosen, dokter dan sebagainya. Tapi renungilah, apakah cita dan harapan kita hanya untuk kepentingan kita sendiri?
Bukankah Rasulullah pernah menerangkan, "Sebaik-baik kalian adalah yang bermanfaat bagi orang lain" Alangkah baiknya cita dan harapan kita, kita sesuaikan dengan ruang yang masih kosong yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Namun tentunya hal ini bukan tanpa pengorbanan. Adakalanya ketika kita ingin mengisi ruang kosong yang dibutuhkan oleh masyarakat, hal tersebut bertentangan dengan keinginan pribadi kita masing-masing. Namun disinilah letak pengujian cinta kita.
Mampukah kita mengorbankan harapan pribadi kita untuk masyarakat banyak? Mungkin kita sering kali tergoda dengan berbagai macam tawaran dunia yang lebih menjanjinkan dibandingkan kita harus mengabdi kepada masyarakat.
Kita sering kali tergiur dengan kesuksesan dan kemajuan kelompok lain, sehingga kita sangat berambisi untuk bergabung dengannya. Namun ketahuilah, kesuksesan dan kemajuan yang mereka capai adalah hasil dari pengorbanan atas cita dan harapan masing-masing anggotanya yang kemudian mereka gantikan dengan komitmen bersama dengan menselaraskan tujuan dan cita-cita bersama.
Maka apakah kita akan menjadi pendukung kemajuan kelompok lain sedang rumah kita sendiri kita abaikan, dibiarkan terlantar dan terlunta-lunta dengan sisa kader yang habis-habisan berjuang karena ditinggalkan kawan serta sahabatnya sendiri yang tergiur kesuksesan dan kemajuan kelompok lain? Namun tentunya kawan-kawan berhak menentukan pilihan kawan-kawan sendiri, kalau memang kawan2 tidak memiliki perasaan!
Alangkah indah, kala kita mampu melingkar bersama, berbincang bersama tentang kemajuan dan masa depan, mensinergikan cita-cita untuk saling mengokohkan seperti bangunan yang kuat.
Terakhir, Abu A'la Al Maududi pernah bercerita. Suatu ketika pernah ada seorang yang dibekali sebilah pisau untuk menghabiskan jutaan hektar ilalang.
Kita tahu bersama, bahwa ketika kita memotong ilalang di belakang, beberapa waktu kemudian ilalang di depan akan tumbuh kembali. Ketika kita memotong ilalang di samping kanan, ilalang di samping kiri telah tumbuh kembali.
Namun orang tersebut terus bersungguh-sungguh dan bersabar dengan apa yang ia lakukan tersebut. Lalu apakah seorang yang dibekali sebilah pisau tersebut akan mampu menyelesaikan pekerjaannya itu?
Secara nalar sehat mungkin kita akan menganggap apa yang dilakukan orang tersebut adalah sia-sia. Tapi tidak bagi Sang Penguasa Alam Semesta. Allah subhanahu wata'ala tidak akan membiarkan hambanya yang bersungguh-sungguh.
Mungkin hari ini seorang tersebut hanya dibekali sebilah pisau, namun karena kesungguhannya, Rabbnya yang Maha Melihat dan Maha Pengasih akan memberikannya gunting rumput.
Ketika diberikan gunting rumput ia semakin sungguh-sungguh, bisa saja Rabbnya memberikan mesin pemotong rumput otomatis, dan seterusnya hingga akhirnya apa yang ia kerjakan selesai dengan sempurna. Artinya, ini sejalan dengan pernyataan M. Natsir, "Mulailah dengan apa yang ada, karena apa yang ada telah cukup untuk memulai"
Cara paling sederhana yang bisa kita mulai adalah dengan mensyukuri apa yang ada. Dengan memaksimalkan budaya literasi, membaca, menulis dan berdiskusi adalah diantara cara kita mensyukuri nikmat atas apa yang ada. Yang dengan budaya tersebut kemudian kita mampu melahirkan karya.
Kita bisa berkarya dengan potensi dan apa yang kita bisa. Dari karya tersebut bisa jadi kampus kita akan dikenal ke penjuru dan sudut negri, yang dengannya kampus kita menjadi hidup. Dan semua bentuk syukur tersebut pada akhirnya akan ditentukan sendiri oleh kemauan mahasiswanya.
Mari mersyukur, mari berkarya, mari hidupkan kampus tercinta, mari satukan cita, mari majukan bersama. Wallahu'alam bi shawab
***
Resume Hasil Kajian Mahasiswa STIT Al-hidayah bersama Andri Nurkamal (Ketua DEMA STIT AL-HIDAYAH Periode 2014-2015)
Oleh: Rijal Jirananda (Mahasiswa Semester 1 STIT Al-Hidayah, Jurusan Ilmu Qur'an Tafsir)