Implementasi Wasathiyah Islam dalam Fikih Haji.

oleh Reporter

17 Agustus 2018 | 05:13

Makkah - persis.or.id, Beberapa hari lagi puncak ibadah haji akan segera tiba. Sebagaimana dimaklumi bahwa ritual utama haji berlangsung dari tanggal 8 sampai dengan 13 Zulhijjah yang tahun ini bertepatang dengan tanggal 19 sampai dengan 24 Agustus 2018. Saat ini seluruh jamaah haji dari penjuru dunia termasuk Indonesia telah terkonsentrasi di pusat kota Makah dan sekitarnya.

Meskipun haji merupakan ibadah rutin tahunan, tetapi karena keistimewaannya yang berbeda dari ibadah ibadah lainnya menyebabkan pelaksanaan ibadah haji membutuhkan perhatian khusus dari seluruh umat Islam, bukan hanya pada tataran individu tetapi juga tararan negara. Di antara keunikan ibadah haji ini karena ia disyariatkan dengan menetapkan waktu, tempat, persyaratan, rukun, dan rangkaian prosesi ritual yang khusus.

Dengan ditetapkannya Masjidil Haram, Mina, Arofah, dan Muzdalifah sebagai tempat utama prosesi ibadah haji, maka Muslim yang sudah mampu di seluruh dunia mesti mengagendakan menunaikan haji ke negeri ini paling tidak sekali seumur hidup. Pergerakan jutaan Muslim dari seluruh penjuru dunia menuju Mekkah ini sudah pasti menuntut keterlibatan institusi-institusi sosial di seluruh negara. Terutama Saudi sebagai tuan rumah dan negara-negara pengirim jamaah haji. Karena itu pula implikasi dari penyelenggaraan ibadah haji merambah dimensi yang luas; dari aspek teologis hingga aspek ekonomi dan politik.

Keterlibatan institusi negara dalam penyelenggaraan ibadah haji makin terus meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya populasi, kesadaran, dan kesejahteraan ekonomi muslim di dunia. Haji tidak bisa lagi dipandang hanya sebagai penunaian ritual yang bersifat tanggung jawab individual semata, tetapi menjadi hajat besar negeri-negeri Muslim.

Dalam pelaksanaan kewajiban haji itulah bertemu dan bersatunya aspek teologis, yuridis, ekonomis, dan politis. Beberapa negara muslim menjadikan urusan perhajian ditangani langsung oleh satu kementrian khusus atau disatukan dengan perwakafan. Di Indonesia, pengelolaan dan penyelenggaraan ibadah haji menjadi tanggung jawab pemerintah (Pasal 10 UU No. 13 Th. 2008) melalui Kementerian Agama yang dalam pelaksanaannya membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dan satuan-satuan tugas, serta berkordinasi dengan kepala-kepala daerah (Pasal 11).

Adanya Undang-Undang yang khusus mengatur tentang penyelenggaraan ibadah haji, kemudian diikuti dengan peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan regulasi-regulasi teknis dalam pelaksanaan haji dengan mengacu kepada aspek-aspek hukum fikih di bidang haji, menunjukan ibadah haji telah menuntut institusi negara terlibat sacara langsung dalam urusan ibadah. Meskipun keterlibatan negara itu tidak boleh melampaui wilayah pengelolaan dan pelayanan penyelenggaraannya, tetapi dalam beberapa aspek yang menyangkut keselamatan dan kelancaran ibadah negara mau tidak mau mengambil sikap dan terlibat pada substansi serta tatacara ibadah yang menjadi wilayah fikih haji.

Ketika negara masuk ke dalam pengaturan ibadah haji memaksa negara untuk berpihak kepada salah satu mazhab fikih, suatu hal yang sepintas bertentangan dengan kewajiban negara yang harus mengayomi semua mazhab fikih yang dianut rakyatnya. Namun ketika diselami, akan difahami bahwa negara mengambil kebijakan atas dasar kewajiban melindungi kemaslahatan yang lebih luas bagi rakyatnya dibanding alasan keberpihakan kepada salah satu pendapat mazhab fikih tertentu.

Karena itu negara harus mengambil kebijakan yang menjamin kemaslahatan lebih besar dengan tidak melanggar hukum fikih. Dengan kata lain, kebijakan dan regulasi negara tetap harus mendapat legitimasi dari mazhab fikih, meskipun bukan yang disepakati semua mazhab fikih.

Dalam konteks pelaksanaan ibadah haji, kita mendapatkan contoh-contoh penting kebijakan dan regulasi negara yang legitimasinya dari salah satu mazhab fikih. Seperti perluasan area Sa'i dan memasukannya ke dalam bangunan Mesjidil Haram, perluasan Jamarat (tugu pelemparan), dan perluasan area Mina.

Lebih dari itu, kebijakan dan regulasi negara juga sudah masuk ke dalam pengaturan tatalaksana haji yang notabenenya merupakan bagian dari materi fikih ibadah haji. Seperti pengaturan hari Tarwiyah yang langsung ke Arofah tidak transit untuk menginap dulu di Mina pada tanggal 8 Zulhijah dengan mengabaikan sebagian pendapat fikih yang mewajibkan, atau penjadwalan waktu melontar jumrah yang menghilangkan hak sebagian jamaah haji untuk melontar jamarat pada waktu yang disunnahkan.

Bagaimanakah kita menyikapi fakta-fakta kebijakan negara seperti dicontohkan di atas dari tinjauan fikih? Setidaknya ada dua hal penting yang harus kita pahami terhadap kebijakan-kebijakan negara, baik kebijak negara Saudi sebagai tuan rumah maupun Indonesia sebagai negara pengirim jamaah haji dengan jumlah terbanyak di dunia.

Pertama. Adanya dua fakta yang bertolak belakang. Di satu sisi animo dan minat kaum muslimin dari seluruh negara yang hendak melaksanakan ibadah haji setiap tahun terus meningkat, sedangkan di sisi lain sarana dan tempat ibadah haji itu bersifat terbatas dan statis. Maka satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan membuat kebijakan pembatasan jumlah peziarah haji dengan kuota satu per seribu Muslim dari tiap negara, dengan konsekuensi menghalangi hak sebagian Muslim dan menangguhkannya pada beberapa tahun berikutnya melalui sistem antrean atau daftar tunggu haji. Kemudian melakukan inovasi perluasan arena dan tempat ibadah haji dalam batas tertentu, dengan konsekuensi mengubah atau menghilangkan orisinalitas area dan tempat ibadah yang dulu ada di masa Nabi.

Kedua. Adanya dua tuntutan kepentingan yang tarik menarik. Pada satu sisi harapan dan tuntutan kaum muslimin berdasarkan ilmu fikih haji untuk semaksimal mungkin menunaikan haji dengan napak tilas perjalanan hajinya Rasulullah SAW. Sedang di sisi lain, pemerintah berkepentingan menjaga keselamatan, keamanan, dan kenyamanan para jamaah dengan menghindarkan potensi-potensi kecelakaan dan situasi-situasi yang rawan. Maka cara yang harus ditempuh adalah dengan mengatur rute dan jadwal waktu prosesi perjalanan haji dengan konsekwensi tidak semua jamaah dapat melaksanakan rangkaian ibadah haji secara benar-benar menapak tilas perjalanan haji Nabi dalam hal waktu dan tempatnya.

Fakta-fakta dan kondisi-kondisi yang kontradiktif seperti itu lazim terjadi dalam segala aspek kehidupan kaum muslimin ketika melaksanakan ajaran agamanya. Dan Islam telah memberi rumusan solusi dalam mengatasinya. Di antaranya dengan memberi metode fikih kompromistis dalam menghadapi kasus kontradiksi (thariqatul jam'i), dan memberi kaidah moderat dalam menghadapi dua tuntutan atau pemikiran yang ekstrim (manhaj wasathiyah).

Dari aspek inilah apa yang ditempuh pemerintah Saudi dan juga pemerintah negeri-negeri pengirim jamaah haji, terutama Indonesia sebagai pengirim jamaah haji, bisa dipahami dan patut diapresiasi. Manhaj wasathiyah, atau metode moderat, jalan tengah Islam yang belakangan ini sedang gencar dipromosikan kembali di negeri-negeri muslim telah ada contoh praktisnya dalam tataran fikih haji.

Apa yang direkomendasikan Grand Syekh Al Azhar, Prof Ahmad At Thayyib, dalam kata sambutan kuncinya di hadapan seratus tokoh ulama dunia peserta High Level Consultation of World Moslem Scholars on Wasatiyyat al Islam di Istana Presiden RI di Bogor, 1-3 Mei 2018 lalu, yang menyerukan agar wasatiyat Islam tidak berhenti hanya sampai tataran konsep belaka, tetapi harus terimplementasikan dalam tataran praktis, telah mendapatkan contoh konkrit implementasinya di antaranya dalam ijtihad fiqih haji.

Inti dari konsep wasatiyat Islam secara umum adalah jalan tengah antara dua kutub pemikiran, kecenderungan, maupun praktek ber islam yang ekstrim, atau ghulluw wa tatharruf. Baik dalam aspek akidah maupun aspek fikih. Dalam fikih haji, konsep wasathiyah ini untuk mendamaikan benturan antara idealisme pengamalan ritual haji yang benar-benar napak tilas perjalanan haji nabi secara persis dengan fakta lapangannya yang sudah jauh berubah dan berisiko.

Spirit idealisme dan heroisme dalam ibadah haji terkadang mendorong jamaah mengambil risiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan, bahkan ikhlas mati demi mendapat keutamaan pelaksanaan manasik yang lebih dekat kepada napak tilas Rasulullah dengan keyakinan mati pun akan bernilai syahid di jalan Allah.

Pemikiran seperti itu tentu tidak bisa diingkari atas dasar kecintaan terhadap sunnah Rasulullah. Tetapi pemikiran itu pun tidak sepenuhnya benar secara fikih dan tidak bisa diakomodir oleh negara. Sebab tidak semua rangkaian perjalanan haji Nabi SAW itu hukumnya wajib, melainkan ada yang dikategorikan rukun, wajib, sunnah, afdhaliyah, bahkan ada yang mubah saja. Sementara negara bertanggungjawab atas keselamatan warganya dalam beribadah dengan tetap menjamin hak dan kebebasan mengamalkan faham yang diyakininya.

Dengan berpedoman kepada prinsip syariat Islam yang menegaskan tidak ada suatu ibadah yang disyariatkan untuk menimbulkan risiko kecelakaan dan kehilangan jiwa. Sebaliknya banyak syariat ibadah harus ditangguhkan bahkan digugurkan karena kesulitan dan ketidakmampuan seorang hamba untuk melaksanakannya atas dasar pernyataan Alquran itu sendiri:

"Tidaklah Allah membebani satu jiwa melainkan sebatas kesanggupannya.." Begitu pula firman-Nya. "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu...

Oleh Dr Jeje Zaenudin
Wakil Ketua Umum PP Persis
Amirul Hajj 2018.

 

Dikutip dari laman republika.co.id
Foto: Faisal Al Nasser/Reuters

Reporter: Reporter Editor: admin