Oleh; Nizar Ahmad Saputra, Ketua Umum Hima Persis
Ketika berpidato dengan lantang dan tegas di BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasan besarnya yang ditawarkan menjadi dasar negara (weltanschaung, philosophische grondslag). Tawaran gagasan soekarno itu kemudian dikenal dengan Pancasila.
Diantara gagasan pancasila soekarno yang masih relevan untuk direnungkan dengan situasi dan kondisi rakyat Indonesia saat ini adalah tentang Sosio-Nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Sosio-Nasionalisme dalam pandangan soekarno adalah faham kebangsaan yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong royong, hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak untuk menggencet dan menghisap.
Jadi dalam faham kebangsaan itu harus ada semangat kerjasama dan gotong royong antar bangsa Indonesia dan antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sedangkan Sosio-demokrasi adalah faham yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Bagi Soekarno, sosio-demokrasi atau kesejahteraan mempunyai prinsip ”tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka'. Gagasan ini merupakan reaksi terhadap demokrasi yang muncul di barat pada waktu Soekarno mencetuskan ide ini.
Demokrasi di Barat yang dipahami Soekarno adalah Demokrasi yang lebih bersifat liberalistis yang hanya menjamin kebebasan warganya dalam bidang politik saja dan tidak berlaku di bidang ekonomi. Sosio-demokrasi soekarno sebagai penguat dari gagasannya tentang demokrasi perwakilan dan permusyawaratan.
Adanya Badan perwakilan rakyat belum cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat, karena yang terjadi di Eropa dengan Parlementaire democratie-nya, kaum kapitalis merajalela. Sehingga Soekarno mengusulkan politik economische demokratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Agar tidak terjadi penindasan dan ada kebebasan di bidang ekonomi, maka dalam pandangan soekarno sistem kapitalisme didalam masyarakat harus dihapus, karena selama sistem itu masih ada tidak mungkin terjadi kebebasan ekonomi. Rakyat yang mengatur negaranya, perekonomiannya dan kemajuannya supaya segala sesuatunya bisa bersifat adil, tidak membeda-bedakan orang yang satu dengan orang yang lainnya.
Rakyat menginginkan berlakunya demokrasi social yaitu terlaksananya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ia mempunyai prinsip utama yaitu, perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, dan demokrasinyapun harus berperikemanusiaan pula.
Gagasan soekarno menggambarkan betapa visionernya cita-cita soekarno. Negara dan bangsa menjadi prioritas ketimbang yang lainnya. Kerja sama, saling menolong, gotong royong dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi visi besar soekarno.
Bukan hanya Soekarno, para founding father bangsa Indonesia menyadari betul betapa pentingnya negara dan bangsanya. Hatta, Syahrir, Agus Salim, Natsir, bahkan Tan Malaka pun menjadikan negara dan bangsanya sebagai prioritas utama. Karenanya, tidak aneh bila dalam konstitusi awal UUD 45 (tidak diamandemen), sangat jelas terlihat konsistensi keberpihakan terhadap negara dan bangsa begitu dominan.
Dalam preamble UUD 45, rumusan tujuan dan cita-cita negara begitu sangat ketat. Semuanya diformulasikan dengan filosofi yang jelas dan tegas untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD45), tercantum cita-cita, yaitu Merdeka, Bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Sementara Tujuan Bangsa Indonesia dirumuskan untuk Membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum / bersama, Mencerdaskan kehidupan bangsa, Ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial. Konsistensi sosio nasionalisme dan sosio demokrasi dalam konstitusi juga terlihat dalam batang tubuh uud45 (sebelum diamandemen).
Dalam uud45 pasal 26 misalnya, pemimpin harus orang Indonesia asli (bangsa indonesia). Penggunaan term bangsa dalam Undang-Undang 45, dan tidak menggunakan term warga negara, adalah bukti kuat konsistensi para founding father Indonesia dalam memperjuangkan sosio nasionalisme. Ini bukanlah diskriminasi, apalagi mengarah pada Rasisme, namun sebagai bentuk penghormatan atas spirit dan nilai perjuangan bangsa dalam memerdekakan Indonesia.
Jika pasal 26 dalam UUD 45 sebelum amendment menjadi konsistensi komitmen terhadap sosio nasionalisme, pasal 33 uud45 menjadi konsistensi komitmen terhadap sosio demokrasi. Dalam pasal ini disebutkan : (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2); Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perekonomian dan seluruh kekayaan alam negara harus digunakan untuk sebenar-benarnya kemakmuran rakyat. Dibangun atas asas kekeluargaan, kerjasama, tidak boleh ada monopoli pihak dan kelompok tertentu. Dengan demikian, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan benar-benar terwujud, bukan sekedar angan-angan dan retorika semata. Inilah konsistensi komitmen sosio demokrasi yang dulu dicita-citakan para founding father bangsa Indonesia.
Tentu saja, visi besar nan ideal tersebut adalah warisan founding father bangsa yang harus diwujudkan dengan sebenar-benarnya. Jangan sampai mengkhianatinya, apalagi menjadi jongos asing yang menghisap dan menggerogoti negara dan bangsa Indonesia.
IRONI SOSIO DEMOKRASI
Penelitian Lembaga Oxfam baru-baru ini menghentak jagat Indonesia. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa harta total empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin di Indonesia.
Indonesia masuk dalam enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. Pada tahun 2016, satu persen orang terkaya memiliki hampir setengah (49 persen) dari total kekayaan populasi. Hanya dalam satu hari, orang Indonesia terkaya bisa mendapatkan bunga deposito dari kekayaannya, lebih dari seribu kali daripada dana yang dihabiskan penduduk Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar sepanjang tahun. Jumlah uang yang diperoleh setiap tahun dari kekayaan itu bahkan akan cukup untuk mengangkat lebih dari 20 juta orang Indonesia keluar dari jurang kemiskinan.
Oxfam juga melaporkan, walau menyandang predikat negara dengan pertumbuhan urbanisasi tertinggi di Asia, ketimpangan penduduk di perkotaan di Indonesia meningkat, demikian pula ketimpangan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Oxfam mengingatkan, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin merupakan ancaman serius bagi kesejahteraan masa depan Indonesia.
Fakta ketimpangan ekonomi di Indonesia seperti disebutkan diatas, tentu saja menjadi ironi dan sangat kontradiktif dengan gagasan dan cita-cita Sosio-demokrasi Soekarno dan para founding father bangsa ini. Keadilan social justru menjauh dari rakyat Indonesia.
Perekonomian yang dibangun atas asas kekeluargaan, kerja sama dan berkeadilan justru susah didapatkan oleh bangsa Indonesia. Lihat saja faktanya, orang-orang yang memiliki kekayaan yang fantastis tersebut hamper semuanya adalah mereka warga negara keturunan, bukan bangsa asli Indonesia.
Nampaknya ada yang salah dengan keberlangsungan politik dan ekonomi Indonesia. praktek demokrasi di Indonesia yang khas, sebagaimana yang digagas Seokarno, Hatta, Natsir dan yang lainnya telah dibuang jauh-jauh dalam praktek politik dan ekonomi di Indonesia. saat ini, demokrasi di Indonesia justru mengarah pada apa yang dulu dikritik keras oleh Soekarno, Hatta dan Natsir.
Demokrasi yang mengarah pada liberalism dan menyuburkan kapitalisme. Kesenjangan social dan ketimpangan ekonomi yang semakin tinggi adalah hasil dari demokrasi liberal. Lebih jauh lagi, demokrasi saat ini menjelma menjadi corporate democrazi, dari praktek demokrasi yang seperti inilah stratifikasi lahir, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Praktek demokrasi yang melahirkan stratifikasi social yang begitu jompang sebenarnya telah dikritik dengan sangat apik oleh Prof. Jeffery A. Winter ketika menyampaikan general lecture di Universitas Negeri Jakarta dengan tema Oligarchy and The Jokowi Administration.
Sejak demokrasi muncul kira-kira dua ratus lima puluh-tiga ratus tahun lalu, tingkat stratifikasi kekayaan justru meningkat, bukannya menurun karena system politik yang ekslusif dimana tidak banyak orang yang melakukan partisipasi politik.
Tetapi ketika banyak orang yang melakukan partisipasi dalam politik, stratifikasi kekayaan bukannya semakin kecil, tapi justru gap tersebut semakin meningkat sejak demokrasi muncul. Demokrasi tidak bisa menjadi alat untuk membuat system ekonomi secara fairness (berkeadilan), karena tujuannya memang bukan fairness yang sempurna dimana setiap orang mempuyai kekayaan yang persis sama dengan yang lainnya.
Tujuannnya lebih realistis kata Jeffery, yaitu untuk meminimalisir gap antara yang kaya dengan yang miskin. Adanya gap seratus atau sampai seribu kali lipat saja antara yang paling kaya dengan yang miskin itu sudah luar biasa. Demokrasi tujuannya seperti itu. Namun faktanya dalam sejarah justru menunjukkan hal sebaliknya. Ketika demokrasi diterapkan justru gap yang kaya dengan yang miskin semakin tinggi.
Professor Northwestern University itu memberikan contoh yang jelas tentang fenomena tersebut (demokrasi melahirkan gap yang semakin tinggi antara yang kaya dengan yang miskin). Semasa Imperium Romawi, di kota Roma 500 senator yang paling kaya dibandingkan dengan kekayaan orang biasa yang kebetulan menjadi petani kecil atau budak adalah sepuluh ribu kali lipat.
Tetapi di zaman sekarang, di Amerika Serikat yang dikenal sebagai ibunya demokrasi, perbandingan 500 orang paling kaya dengan orang biasa adalah duapuluhribu kali lipat perbedaannya. Di Indonesia, lebih menghawatirkan lagi. Perbedaan 50 0rang paling kaya di Indonesia dengan orang miskin adalah 630 ribu kali lipat.
Tesis Jeffery Winters diatas semakin menguatkan betapa demokrasi liberal semakin menyuburkan kapitalisme. Gap antara yang kaya dengan yang miskin semakin tinggi. Partisipasi politik bebas bukannya semakin mensejahtrakan rakyat. Di Era Seoharto, gap yang paling kaya dengan yang miskin tidak terlalu tinggi. Namun pasca kran demokrasi dibuka secara liberal, kesenjangan social dan ketimpangan ekonomi semakin menghawatirkan.
Tentu saja, bukan berarti era dictator lebih menjamin kesejahtraan, namun yang menjadi titik tekannya adalah demokrasi yang liberal tidak akan pernah melahirkan kesejahtraan sosial. Itulah sebabnya mengapa para founding father Indonesia melakukan kritik terhadap demokrasi ala Barat sekaligus menawarkan gagasan demokrasi khas Indonesia seperti yang dilakukan Soekarno, Hatta dan Natsir.
IRONI JOKOWI
Jokowi sering dikesankan sebagai pemimpin sederhana, lahir dari masyarakat biasa, bukan militer atau pembesar partai, namun takdir menjadikannya sebagai Persiden ke-7 Indonesia menggantikan SBY. Yang tidak kalah penting untuk disebutkan disini, Jokowi lahir dan besar melalui PDIP, partai yang mengklaim sebagai penerus perjuangan Seokarno. Seokarno selalu dijadikan ikon dalam pemikiran dan perjuangan partai.
Tidak aneh jika PDIP selalu diidentikan atau lebih tepatnya diklaim sebagai yang paling nasionalis, pro dengan wong cilik, membela wong cilik dan bersama wong cilik. Citra tersebut jika dihubungkan dengan gagasan Soekarno memang relevan dan pas, karena gagasan-gagasan Soekarno seperti disinggung sebelumnya, memang penuh dengan cita-cita pembebasan dan pembelaan terhadap masyarakat miskin. Gagasan Sosio-Nasionalisme dan Sosio demokrasi Soekarno memberikan gambaran kuat tentang hal itu.
Namun, beberapa kebijakan yang ditetapkan Jokowi sebagai Persiden justru kontras dengan cita-cita sosio-nasionalisme dan sosio demokrasinya Seokarno. Fakta semakin banyaknya tenaga kerja asing, terutama dari China yang leluasa masuk ke Indonesia di saat masih banyaknya pengangguran di Indonesia. Banyaknya lahan milik wong cilik seperti di Karawang, Majalengka yang dikuasai para pengusaha dengan cara-cara intimidasi, pemaksaan dan berbagai kedzaliman lainnya. Dibolehkannya warga negara asing memiliki property di Indonesia. dibolehkannya ormas asing didirikan di Indonesia, dan sederet kebijakan lainnya yang justru menjauh dari perjuangan dan pemikiran bung Karno.
Karenanya, tidak terlalu mengherankan apabila visi misi nawacita Jokowi yang diambil dari gagasan Soekarno semakin menjauh. Seharusnya, Jokowi tampil paling depan untuk menolak tenaga kerja asing dan memberdayakan rakyatnya sendiri. Sejatinya, Jokowi menjadi pembela utama ketika ada wong cilik yang lahannya diambil paksa dengan berbagai kedzaliman oleh para pengembang.
Sudah saatnya Jokowi fokus pada program kerakyatan, bagaimana memberdayakan dan meningkatkan kualitas ekonomi rakyatnya sendiri. Memberdayakan bangsanya agar mampu berdaya saing dengan masyarakat dunia.
Bukan sebaliknya, memberdayakan orang luar namun membiarkan bangsanya tertindas oleh bangsa lain. Jika itu yang dilakukan, Jokowi benar-benar menjadi anak ideologis Soekarno, penerus perjuangan dan pemikiran Soekarno. Jika itu yang dilakukan, sosio nasionalisme dan sosio demokrasi yang dicita-citakan Soekarno akan terwujud.
Apalah arti tampilan sederhana dan merakyat, bila berbagai kebijakannya justru menjauhkan rakyat dari kesejahtraan dan keadilan social.