Bandung – persis.or.id, Untuk yang kelima kalinya, Pimpinan Daerah Pemuda Persatuan Islam Kabupaten Bandung menggelar kajian rutin bulanan bersama Ustaz Amin Saefullah Muchtar terkait thuruqul istinbath Dewan Hisbah PP Persis.
Pembahasan pada kajian manhajy kali ini, Ahad (26/11/17), bertempat di kantor bersama PD Persis Kabupaten Bandung, mengurai tentang persoalan formasi rakaat pada qiyamul lail Nabi saw.
Mengawali pembahasan terkait formasi rakaat qiyamul lail Nabi, Ustaz Amin Muchtar mengungkapkan bahwa permasalah tersebut tidak terlepas dari tiga objek bahasan.
Pertama, terkait sumber khabar shalat malam Nabi. Kedua, kammiyyah (jumlah) rakaat shalat malam Nabi. Ketiga, kaifiyyah (tata cara) shalat malam Nabi.
Mengenai objek bahasan pertama, Ustaz Amin mengutarakan bahwa shalat malam Nabi telah dikabarkan oleh sejumlah sahabat. Namun, dari sejumlah sahabat tersebut mengakui bahwa posisi Aisyah ditempatkan pada tempat yang utama.
Hal ini sebagaimana yang diceritakan Ibn Abbas ketika menjawab pertanyaan Sa’ad bin Hisyam mengenai shalat malam Nabi.
“Maukah engkau kutunjukkan orang yang paling mengetahui di antara penghuni bumi ini tentang witir Rasulullah saw?’ Saad bertanya, ‘Siapakah?’ Ibnu Abas menjawab, ‘Aisyah, maka jumpailah ia dan bertanyalah kepadanya, kemudian datanglah kepadaku, lalu kabarkanlah kepadaku jawaban beliau padamu,” tutur Ustaz Amin membacakan sebuah hadis riwayat Muslim.
Menanggapi hadis tersebut, dalam Majalah Risalah No. 232 Thn. XXI, No. Masalah 705, K.H. E. Abdurrahman memberikan sebuah penjelasan. “Apabila terjadi perbedaan pendapat pada salat malam Rasulullah saw. dengan para sahabatnya, maka riwayat siti Aisah-lah yang harus didahulukan sebelum yang lainnya selama kedudukannya shahih, karena ia yang paling mengetahui tentang witir Rasulullah saw.”
Terkait objek bahasan kedua, yakni kammiyyah (jumlah) rakaat, Ustaz Amin menyampaikan, terdapat tiga macam jumlah rakaat shalat Nabi. Adapun riwayat tersebut yaitu; (1) riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Nabi tidak pernah melaksanakan shalat malam lebih dari 11 rakaat; (2) riwayat dari beberapa sahabat yang menyatakan 13 rakaat; dan (3) riwayat yang menyatakan 20 rakaat.
Mengenai hal ini, ulama salaf dan khalaf Persis sepakat bahwa dari ketiga riwayat tersebut—melalui metode kompromi—dapat disimpulkan tentang jumlah rakaat shalat malam Nabi tidak lebih dari 11 rakaat. Adapun ungkapan 13 rakaat menunjukkan dua maksud. Pertama, 11 rakaat salat malam dan 2 rakaat qabla subuh. Kedua, 2 rakaat sebelum salat malam (khafifatain) dan 11 rakaat salat malam sehingga menjadi 13 rakaat.
Adapun mengenai kaifiyyah shalat malam Nabi, ulama salaf dan khalaf Persis terdapat perbedaan. Dalam hal ini, Ustaz Amin mengemukakan analisa beliau mengenai pendapat ulama salaf Persis dengan memberikan tiga poin kesimpulan.
Pertama, ulama salaf Persis memandang bahwa kaifiyyah rakaat shalat malam berlaku umum, termasuk shalat tarawih. Kedua, kaifiyyah rakaat 4+4+3 paling sering dilakukan oleh Nabi pada shalat tarawih. Ketiga, Kaifiyyah rakaat 2+2+2+2+3 atau 2+2+2+2+2+1 paling sering dilakukan oleh Nabi pada shalat malam di luar Ramadhan.
Sedangkan ulama khalaf Persis, Ustaz Amin menuturkan, memandang bahwa kaifiyyahrakaat shalat malam berlaku umum, kecuali shalat tarawih.
“Berbagai pandangan di atas menunjukkan bahwa menurut ulama Khalaf Persis, kaifiyyah rakaat shalat malam berlaku umum, kecuali shalat tarawih dilaksanakan dengan formasi empat, empat dan tiga rakaat. Ini pendekatan takhsis,” kata beliau.
“Tapi andai kata mau dipahami sebagai hadis khash, memang karena pertanyaannya khash, yaitu fi Ramadhan. Maka Aisyah menjawab, dari sisi kammiyah oleh Aisyah di sebut 11 rakaat bukanlah khash Ramadhan, makanya dijawab pakai fi Ramadhan wa la fi ghairihikarena kammiyyah bukan hanya untuk Ramadhan.
Tetapi, di saat untuk menjawab pertanyaan, Aisyah menjawab kaifa, yushalli arbaaan, yushalli arbaaan, yushalli tsalatsan, ini menjawab kaifa,” lanjut Ustaz Amin.
Sederhananya, jawaban Aisyah bahwa Nabi melaksanakan shalat 11 rakaat berlaku secara umum karena Aisyah menggunakan kata fi Ramadhan wa la fi ghairihi. Sedangkan jawaban Aisyah bahwa Nabi melaksanakan shalat empat, empat, dan tiga rakaat merupakan jawaban khusus dari pertanyaan bagaimana Nabi shalat di bulan Ramadhan. (/IF)