Sekolah secara etimologi (bahasa) diambil dari bahasa latin, yaitu skhole, scola, scolae, atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang. Pengertian tersebut bukan tanpa alasan, karena pada awalnya kegiatan sekolah hanya untuk melengkapi kegiatan utama anak-anak yakni bermain.
Paparan tersebut secara tidak langsung membenarkan pendapat Diane Papalia (2008) dalam bukunya Human Development , yang mengatakan dunia anak adalah bermain. Barangkali inilah alasan kenapa terkadang anak memilih bermain dari pada belajar.
Kebutuhan anak untuk bermain pada dasarnya merupakan hal lumrah, bahkan dalam sebuah keterangan dikatakan “belajar di masa kecil seperti mengukir diatas batu” (Silsilah al- Al Ahaadist Adh Dhoiiffah no. 617) terlepas dari status Hadist tersebut yang maudhu, hal tersebut seolah kembali mengkonfirmasi bahwa bermain merupakan salah satu kebutuhan mutlak bagi seorang anak. Lebih jauh dari itu, bermain bagi anak, dalam beberapa hal memiliki fungsi media pembelajaran, diantaranya sebagai wahana peningkatkan kecerdasan social, taktis dan motoris.
Berangkat dari pemaparan tersebut, setidaknya memberikan gambaran sederhana, bahwa yang dimaksud sekolah yang baik, ialah sekolah yang tidak bertentangan dengan Q.S. Al Furqon ayat 74, yaitu sekolah yang tidak memudarkan kedudukan anak sebagai Qurrota A’yun (penyejuk mata). Meskipun bermain merupakan hak anak, namun tidak lantas menafikan tujuan dan unsur penting dalam pendidikan itu sendiri.
Jika sejenak kembali membuka Al Qur’an, tepatnya Q.S. Al Baqarah ayat 132-133, Allah SWT menggambarkan kekhawatiran Nabi-Nabi sebelumnya mengenai kondisi keagamaan anak-anaknya kelak, hingga ketika maut tepat berada di kerongkongan Nabi Yakub pun, Ia masih menyempatkan diri untuk memastikan siapa yang kelak disembah oleh anaknya. Barangkali inilah inti dari tujuan pendidikan dalam Islam, yakni memastikan fitrah anak tetap terjaga tanpa harus menghilangkan hak bermain.
Semangat pendidikan anak yang terkadung dalam Q.S. Al Baqarah ayat 132-133 di atas, telah diamini oleh Negara yang dituangkan dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2013, tepatnya pada pasal satu. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual.
Namun yang jadi pertanyaan, bisakah tujuan tersebut tercapai, jika anak datang ke sekolah memikul dogma social, bahwa tugas anak hanyalah melulu belajar, agar kelak mendapatkan selembar ijazah. Akibat hal tersebut kini sekolah tidak lagi ramah dengan anak, kalaupun anak datang kesekolah tidak lain hanya karena merasa terseret oleh jerat obsesi duniawi orang tua.
Dengan dalih masa depan cerah, anak ditempa layaknya besi, dituntut mengikuti bentuk yang diinginkan, hingga akhirnya pendidikan terkesan jauh dari nilai kemanusiaan.
Sekolah yang ramah anak, ialah sekolah yang menghadirkan sudut senyum bagi setiap anak, mereka yang datang ke sekolah atas dasar hati yang senang. Baik kaya mau pun miskin, cepat atau lambat kemampuan ia menghafal, namun gerbang dan pintu sekolah tetap terbuka lebar menyambut amanat-amanat Allah SWT tersebut.
Hal demikian hanya bisa terwujud, jika berangkat dari persepsi yang sama, bahwa semua anak adalah bintang, mereka kelak akan tumbuh tidak hanya sebagai dokter saja, melainkan akan menjalani peran hidup yang berbeda-beda. Seperti para sahabat Nabi, ada Khabab bin Arast yang ahli dalam bidang teknis, adapula yang tumbuh seperti Abdurrahman bin Auf yang ahli dalam wirausaha, dan bukan hal yang tidak mungkin ada yang tumbuh layaknya Abu Hurairoh yang kita kenal sebagai ahli dalam bidang Hadist.
Meskipun para sahabat tersebut memiliki latar keahlian yang berbeda, namun mereka memiliki tempat yang sama untuk kembai, yakni surga.
Sekolah ramah anak, bukan berarti sekolah yang menumbuh kembangkan budaya permisif (bebas), bukan pula sekolah yang membenarkan sepenuhnya konsep pendidikan kontemporer yang melarang penggunaan kata “jangan” dengan dalih menghambat kreatifitas anak.
Islam tidak mengenal kebebasan absolut, dan Islam pun sangat erat dengan syariat bernada larangan. Karena, jika anak tidak diperkenalkan dengan kata “jangan”, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang bias untuk memastikan mana yang halal dan mana yang haram.
Sekolah ramah anak berada diantara kedunya, anak-anak diberi kebebasan untuk mencari kemudahan dalam usaha memahami pelajaran, namun tetap mempertimbangkan dimensi etis dan kedisiplinan.
Untuk menghadirkan pendidikan yang ramah anak dan manusiawi, semua elemen penting mulai dari pendidik hingga orang tua dituntut memiliki kesadaran, bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kecenderungan positif bernama fitrah. Inilah yang dimaksud oleh Allah SWT dalam Q.S. Asy Syam ayat 8 yang menyebutkan bahwa setiap anak manusia diberikan ilham taqwa.
Konsep tersebutlah yang kemudian pernah dibenarkan oleh sorang filusuf Jerman beragama Pietist bernama Immanuel Kant (1781) dalam bukunya Kritik der Praktischen Vernunft. Jika non Muslim saja meyakini kebenaran tersebut, kenapa kita tidak selangkah lebih depan untuk mengamalkan dan menuangkannya kedalam konsep pendidikan? Barangkali itulah yang kini menjadi PR kita bersama.
***
Oleh: Dede Irawan, bidang Literasi SD Sedunia, bidang Dakwah PC Pemuda Persis Cileunyi