Pada awal abad ke-20 dakwah Islam di Indonesia ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi dakwah yang pada masa berikutnya berkembang menjadi organisasi masa (ormas) Islam di antaranya: Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis), Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Mathla’ul Anwar, Jam’iyyah Al-Washliyah, Nahdhatul Wathan (NW), dan sebagainya. Kalau dilihat secara negatif, munculnya organisasi-organisasi tersebut mencerminkan perpecahan umat Islam. Akan tetapi, bila kita melihatnya melalui cara pandang yang benar, maka kita akan melihatnya sebagai kekayaan dakwah Islam di Indonesia yang sangat luar biasa.
Dakwah Islam adalah dakwah yang komprehensif, mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia seperti ekonomi, kebudayaan, politik, sosial, pendidikan, pemikiran, dan sebagainya. Selain itu, dakwah pun harus menyentuh semua manusia di berbagai tempat. Demikian tuntutan dakwah Islam. Bila cara pandang ini kita gunakan untuk melihat lahir dan berkembangnya ormas-ormas Islam, maka kita akan mengerti bahwa keberadaan ormas-ormas tersebut memang dibutuhkan dalam konteks dakwah Islam di Indonesia, sebab setiap ormas lahir dengan kekhasan dakwah masing-masing. Kita lihat contoh-contoh gerakan masing-masing dengan mainstream gerakannya.
Sarekat Islam termasuk kelompok yang awal hadir. Organisasi ini didirikan pada tahun 1911. Penulis lain seperti Tamar Djaja malah berpendapat lahirnya lebih awal lagi, yaitu tahun 1905. Pendirinya adalah H. Oemar Said Tjokroaminoto. Yang menjadi perhatian mula-mula dari organisasi ini adalah masalah ekonomi umat Islam. Saat itu, Belanda yang memonopoli ekonomi Indonesia memberikan hak-hak ekonomi istimewa kepada para pedagang China. Sementara para pedagang Islam banyak mendapatkan tekanan. Oleh sebab itu, organisasi ini kemudian didirikan. Karena berkait dengan kebijakan politik-ekonomi, maka tidak bisa dihindarkan bahwa kemudian Sarekat Islam banyak bergerak dalam bidang politik untuk memperngaruhi kebijakan politik Pemerintah Hindia-Belanda terhadap umat Islam. Bahkan yang diperjuangkan bukan hanya masalah kebijakan ekonomi, tetapi juga kebijakan pendidikan, kesejahteraan sosial, dan sebagainya.
Pada tahun 1912 Muhammadiyah lahir dari tantangan yang berbeda. Muhammadiyah di Jogjakarta menghadapi Kristenisasi yang semakin intensif setelah diberlakukan kebijakan Politik Etis Belanda sejak tahun 1900-an awal. Umumnya, orang-orang Islam di-Kristenkan melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah), panti-panti asuhan anak yatim, dan klinik-klinik kesehatan. Melihat kenyataan itu, Ahmad Dahlan kemudian tergerak untuk membendung arus Kristenisasi ini dengan jurus yang sama. Oleh sebab itu, segera melalui Muhammadiyah, didirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah dengan kurikulum tambahan pelajaran agama Islam, klinik-klinik Muhammadiyah (PKO), dan panti-panti asuhan Muhammadiyah. Hingga saat ini Muhammadiyah tercatat sebagai salah satu ormas Islam yang memiliki memiliki lembaga pendidikan, rumah sakit, dan panti asuhan paling banyak di Indonesia dibandingkan dengan ormas lainnya.
Pada tahun 1914 lahir Al-Irsyad di Jakarta yang dipelopori oleh Ahmad Soorkati. Organisasi ini berjasa besar dalam mempersatukan etnik Arab dengan etnik lain di Indonesia seperti Jawa, Sunda, dan lainnya atas dasar Islam. Dalam hal ini Al-Irsyad telah berhasil memperlihatkan bahwa sekalipun keturunan Arab secara etnik berbeda dengan Jawa, Sunda, Batak, dan lainnya, namun dengan berpegang pada Islam semuanya dapat menjadi satu di tempat yang sama, yaitu Indonesia. Al-Irsyad telah berhasil berdakwah kea rah sana di kalangan keturunan Arab. Selain itu, melalui Al-Irsyad banyak guru-guru bahasa Arab yang diundang langsung untuk mengajarkan Bahasa Al-Quran dan hadis ini kepada masyarakat Indonesia sehingga umat Islam Indonesia menjadi tidak lagi asing pada bahasa Rasulullah Saw. ini.
Tahun 1923 berdiri Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Organisasi yang diberi warna tersendiri oleh tokoh asal Singapura bernama Ahmad Hassan ini juga memiliki posisi khusus dalam konteks dakwah Islam di Indonesia. Pilihan wilayah garapan dakwah Persis adalah pada bidang pemikiran Islam dan dakwah bil-kitâbah. Di antara ormas-ormas Islam baru, Persis adalah yang mula-mula memperkenalkan cara belajar Islam lebih mudah, yaitu melalui bahasa Melayu (Indonesia). Sebelumnya, untuk belajar Islam orang harus mempelajarinya dari kitab-kitab berbahasa Arab. Tapi di tangan Persis, dipelopori belajar Islam dari Al-Quran dan hadis tapi dengan pengantar Bahasa Indonesia (Melayu). Majalah yang diterbitkan Persis, Al-Lisaan adalah majalah pertama yang isinya kajian tafsir, hadis, fikih, sejarah Islam, dan kajian Islam lainnya. Persis juga ormas yang pertama menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia; juga hadis ke dalam bahasa Indonesia (Bulûghul Maram). Cara-cara Persis ini kemudian menginspirasi banyak lembaga dakwah lain untuk memudahkan belajar Islam bagi kalangan awam di negeri ini.
Tahun 1926 berdiri ormas terbesar, Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya. Sekalipun lahir belakangan, namun sebetulnya peran para eksponen NU telah hadir lebih awal dari semua ormas Islam di atas. Berdirinya NU adalah untuk mengikat para ulama dari pondok-pondok pesantren yang ada seluruh Indonesia. Sampai hari ini, NU masih tetap merupakan representasi kaum santri dari pesantren yang memperjuangkan tetap dipertahankannya tradisi pengkajian ilmu-ilmu Islam di pondok-pondok pesantren yang sudah ada sejak zaman Wali Songo dahulu. Kita semua tahu bahwa transmisi ilmu-ilmu Islam dari para ulama sejak zaman dahulu hingga hari ini masih dijaga baik oleh para ulama dan kiai di pesantren-pesantren. Berbagai disiplin ilmu Islam seperti fikih, hadis, tafsir, kalam, bahasa Arab, ilmu akhlak dan tasawuf, berkembang di pesantren-pesantren ini. Seandainya pesantren-pesantren tidak ada dan tidak terpelihara, ilmu-ilmu tersebut mungkin sudah punah di negeri ini. Padahal, ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu, berdirinya NU telah ikut menjaga ilmu-ilmu Islam dari kepunahan dengan menghimpun pesantren-pesantren agar berani mempertahankan misi lembaga yang mereka besarkan.
Ormas-ormas Islam itu secara label banyak yang berjejaring nasional. Akan tetapi pada kenyataannya, lahan dakwah yang digarap lebih luas daripada kemampuan ormas-ormas itu untuk menjangkaunya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kemudian di berbagai daerah muncul juga ormas-ormas yang lain dengan aksentuasi kedaerahan yang khas. Misalnya di Sumatera Barat muncul PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), di Medan berdiri Al-Washliyyah, di Nusa tenggara Barat berdiri Nahdhatul Wathan (NW), di Palu Sulawesi Tengah berdiri Al-Khairaat, dan di Banten berdiri Mathla’ul Anwar. Al-Ittihad Islamiyah (AII) yang didirikan K.H. Ahmad Sanusi di Sukabumi dan Persarikatan Ulama yang didirikan oleh K.H. Abdul Halim di Majalengka tahun 1930-an digabungkan menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Semua organisasi yang berdiri pada paruh pertama abad ke-20 tersebut masih bertahan sampai sekarang dengan garapan masing-masing.
Setelah masa kemerdekaan bukan berarti masalah dakwah berhenti. Tantangan justru semakin banyak dan kompleks. Oleh sebab itu, walaupun sudah ada ormas-ormas yang lebih lama, organisasi-organisasi dakwah baru terus bermunculan. Ada yang lokal khas Indonesia, ada pula yang berjejaring internasional. Ternyata semuanya memiliki perhatian (concern) yang berbeda-beda sehingga satu sama lain cenderung saling melengkapi daripada saling menegasikan.
Di lapangan memang kadang-kadang terjadi mis-komunikasi antar aktivis dakwah sehingga memicu konflik. Sekali-kali konflik yang terjadi berujung pada bentrokan fisik. Akan tetapi, kalau dikaji secara mendalam ternyata semuanya berakar dari komunikasi yang tidak terjalin dengan baik sehingga muncul zhan dan syak wasangka yang tidak berdasar. Ketika semua dikembalikan kepada prinsip dasar akidah yang sama sesungguhnya di antara ormas-ormas ini sama sumber berangkatnya. Memang ada perkara yang diikhtilafkan dan sering menjadi biang konflik. Akan tetapi, melalui komunikasi yang baik dan mutual understanding untuk memahami argument masing-masing umumnya ikhtilaf itu bisa dipahami dengan baik dan tidak menimbulkan konflik berkepanjangan. Wallâhu A’lam.