Seringkali pembatasan norma dibenturkan dengan ‘filosofi hak’ yang melekat pada setiap individu manusia. Kaum LGBT menuntut keberadaan mereka sebagai hak yang dasar, untuk berpasangan, menentukan jenis kelamin, membuat keluarga, mengadopsi anak dan seterusnya. Argumentasi ini tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, bila merujuk pada kata dalam bahasa arab Hak (Haq) memiliki musuh abadi yang bernama batil, begitupula dalam bahasa inggris hak diartikan sebagai right yang memiliki antonim wrong. Artinya dalam menuntut dan menerima hak haruslah sesuatu yang melekat pada diri manusia dengan alasan bahwa sesuatu itu adalah benar bukan hal yang salah.
Darimana sesuatu itu dapat dikatakan benar atau salah?. Plato menyebut dalam jiwa manusia terdiri dari 3 bagian (keadilan): Pikiran, perasaan dan nafsu, rasa baik dan jahat. Manusia dapat saja menentukan benar dan salah dalam versinya, namun apakah pertimbangan itu selalu berdasar pada akal yang sehat, demi maslahat yang luas, atau seringkali merujuk pada perasaan dan nafsu belaka? Sementara bila benar dan salah hanya mengikuti nafsu belaka, maka sebagaimana nasihat-nasihat agama, nafsu seringkali menjadi objek setan untuk manusia terjerumus pada keburukan dan kehinaan. Tegasnya, hak yang diterima dan melekat pada manusia seharusnya selaras dengan timbangan ‘benar’ yang dikatakan oleh tuhan, sementara tidak ada kalam tuhan yang membenarkan perilaku LGBT.
Landasas filosofis inilah barangkali yang menjembatani lahirnya Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Hatta, bila melihat pendekatan empirik terkait perumusan norma dalam menentukan hak sebagai warga negara dalam berkeluarga dan melanjutkan keturunan Pasal 28B ayat (1) didapati bahwa: “Masyarakat Indonesia yang berkembang sejak masih sangat sederhana sampai modern, pada prinsipnya merupakan masyarakat kekeluargaan. Masyarakat kekeluargaan telah mengenal pranata sosial yang menyangkut hak dan kewajiban masyarakat yang terdiri atas pranata religius yang mengakui bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala hak dan kewajibannya; pranata keluarga sebagai wadah manusia hidup bersama untuk mengembangkan keturunan dalam menjaga kelangsungan keberadaannya;…”
Tidak berlebihan bila mengakui perilaku LGBT hanya akan mendekonstruksi nilai-nilai luhur yang telah hidup di masyarakat. Baik secara yuridis, sosiologis, dan filosofis nalar UUD 1945 tidak memberi ruang terhadap perilaku LGBT untuk hidup dan berkembang di Indonesia.
Wallahu a’lam Bissawaab
BACA JUGA: Pemuda Persis Adakan Lintas Alam Nasional di Gunung Cikuray Garut