Jika suatu ketika, kita memiliki pertanyaan, kenapa kata ganti di dalam bahasa Indonesia begitu banyak variasinya? Jawabannya karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, santun dan beradab. Nyaris tidak kita temukan seorang anak berkata kasar kepada orang tuanya, seorang adik mengganti kata kaka dengan kamu atau seorang murid berkata kepada gurunya dengan menggunakan bahasa yang sama ketika ia berbicara dengan teman sekelasnya.
Kesantunan pun bisa kita temukan dari gesture yang tampak pada saat yang muda bertemu dengan orang yang jauh lebih tua, baik dengan mencium tangan atau sekedar membungkuk. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka sangat wajar jika founding father negeri ini meletakan kalimat kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai point kedua dalam Pancasila, hal tersebut menjadi symbol bahwa bangsa yang ideal adalah bangsa yang santun dan berdab.
Jika sejenak kita telisik karakter komunikasi bangsa Indonesia, maka dapat kita kelompokan sebagai bangsa High Context Culture and Comunication yakni budaya komunikasi yang tidak hanya mementingkan isi pembicaraan saja, tetapi juga sangat mempertimbangkan aspek kesantunan dan perasaan si pendengar.
Hal tersebut sangat selaras dengan konsep Qoulan Karima dalam surat Al Isra ayat 23, yakni perkataan yang memuliakan dan memberi penghormatan kepada orang yang diajak bicara. Lebih jauh dari itu, Islam pun menawarkan konsep Qoulan Layyina, sebagai mana yang tercantum dalam surat Thaha ayat 44 ketika Nabi Musa a.s hendak menagajak Firaun menuju jalan tauhid, Allah SWT menuntun Nabi Musa a.s agar menggunakan konsep Qoulan Layyina, yaitu perkataan lemah lembut yang menghadirkan kesejukan tanpa mengurangi ketegasan.
Beberapa saat yang lalu, Bangsa yang menjunjung tinggi nilai kesantunan ini digemparkan oleh perkataan salah satu oknum pejabat bernama Basuki Tjahja Purnama, atau yang jauh lebih akrab disapa Ahok. Tidak hanya kasar dan kerap menyakiti perasaan orang lain, bahkan beberapa saat yang lalu perkataannya disinyalir menistakan salah satu Agama.
Dalam kacamata kebangsaan, fenomena tersebut sangat disayangkan, pejabat yang idealnya menjadi contoh dan panutan bagi rakyatnya tetapi malah sebaliknya tidak mencerminkan identitas bangsa Indonesia yang luhur.
Model komunikasi Ahok yang dipandang arogan, kasar dan menistakan, sebetulnya bisa dikategorikan sebagai komunikasi agresif, yaitu jenis komunikasi yang diidentikan dengan prilaku otoriter, bahkan secara umum David Berkowitz (1993) mendefinisikannya sebagai prilaku yang bertujuan menyakiti orang lain. Senada dengan pendapat Berkowitz, Arnold Buss dan Mark Perry (1992) menyatakan bahwa bentuk agresi tidak hanya fisik saja, melainkan bisa hadir dalam bentuk verbal (ucapan).
Lebih jauh tokoh liberal klasik Herbert Spencer pun menyatakan dengan tegas, bahwa apapun bentuk prilaku agresi tidak bisa diterima secara social, karena dapat menimbulkan kekacauan. Dengan mempertimbangkan efek kerusakan dari lisan yang tidak dijaga dengan baik, tampaknya apa yang telah Nabi Muhammad s.a.w sampaikan dalam Hadistnya tidaklah berlebihan, dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa satu kalimat saja terucap lantas menimbulkan kemadharatan, maka dipastikan ia terjungkal 70 tahun di neraka (HR. At Tirmidzi: 2314, Ibnu Majah: 3970, Ibnu Hibban: 5706).
You are what you say Kamu adalah apa yang kamu katakan, kurang lebih seperti itulah ungkapan seorang ahli sosiolinguistik bernama Robin Tolmach Lakoff (1942). Apa yang telah Ahok ucapkan adalah gambaran hati dan kepribadiannya. Namun yang jadi pertanyaan, tidakkah berdampak buruk jika negeri yang santun dan berdab ini dihuni oleh penduduk atau bahkan pejabatnya yang tidak mampu menjaga lisan?
Cukuplah kegaduhan bangsa ini yang menjadi jawabannya. Dan selanjutnya mari kita jaga tenun kebangsaan negeri ini dengan senantiasa membangun pribadi yang santun dan menebar kesejukan. Sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w bahwa seburuk-buruknya manusia adalah manusia yang dijauhi karena kehadirannya menghadirkan ancaman (HR. Bukhori: 6032, al Adab al Mufrhad: 1311).
***
Penulis:
Dede Irawan
Bidgar Dakwah Pemuda Persis, Cileunyi
Mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Bandung