Bandung, persis.or.id - Majelis Penasihat Pimpinan Pusat Persatuan Islam ikut menyikapi perhelatan lima tahunan atau Muktamar XVI Persatuan Islam (PERSIS), yang akan digelar pada 23-25 September 2022. Muktamar ini diselenggarakan pada usia Persatuan Islam yang sangat strategis, yaitu ke-99 tahun.
"Muktamar ini juga sebagai ajang perenungan refleksi seabad PERSIS, dan momentum untuk menorehkan sejarah PERSIS seratus tahun kemudian,” hal ini dikatakan Sekretaris Majelis Penasihat Pimpinan Pusat Persatuan Islam Prof. Dr. H. Dadan Wildan, Jumat (19/8/2022).
Ia juga menyampaikan, seratus tahun ke depan, perubahan zaman, kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pemikiran keagamaan akan terus berubah.
“Karenanya, jamaah PERSIS di seluruh tanah air harus berani mengubah pola, strategi, media, dan metode dakwah yang lebih terbuka. Para ulama PERSIS tidak boleh lagi bersikap eksklusif apalagi berdiri di atas menara gading, tetapi harus terus meningkatkan kualitas dakwah dengan memberikan perhatian besar pada visi keislaman, kebangsaan, dan kesejahteraan,” ungkapnya.
Mantan Sekretaris Umum PP PERSIS 2000-2005 ini menyarankan, PERSIS harus lebih aktif dalam menegakkan amar maruf nahi munkar dengan cara-cara yang tepat dan terukur. PERSIS harus mulai mengambil bagian dan peran dalam menjembatani dan membangun kebersamaan sekaligus menebarkan keteduhan, kedamaian, dan keteladanan dengan Islam sebagai landasannya.
“Persatuan Islam (PERSIS) harus dapat lebih menegaskan lagi posisi dan eksistensinya sebagai salah satu ikon penting pergerakan Islam di Indonesia. PERSIS dapat menempati garda depan dalam merealisasikan Islam sebagai rahmatan lil alamin,” tutur Prof. Dadan.
Persatuan Islam (PERSIS) harus tetap hadir sebagai pencerah sebagaimana kelahirannya di awal abad ke-20. Di era kesejagatan saat ini, tentu saja aktivitas dan gerakan dakwah PERSIS tidak hanya bergelut pada pemurnian ibadah dan aqidah umat semata, tetapi harus melompat jauh untuk berkontribusi pada persoalan keumatan dan kebangsaan yang lebih luas dan makin kompleks.
“Kita berharap, PERSIS dapat mengembalikan energi positifnya untuk membangun masyarakat Indonesia yang berkarakter, berakhlak mulia, berbudi luhur, dan berdaya saing. PERSIS juga diharapkan dapat tampil mendunia, menjadi jembatan peradaban Islam, timur, dan barat,” harapnya.
Dalam menjalankan risalah dakwah, kita harus berkaca kepada para tokoh PERSIS di awal abad 20 yang mampu menjadikan organisasi ini menjadi besar dan mempunyai daya tarik tersendiri. Melalui daya tanggap dan apresiatifnya terhadap pemikiran keislaman universal dan keperdulian terhadap pemberdayaan kaum muslimin, para tokoh PERSIS mampu merespon berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan, baik dari perspektif Islam maupun sosial kemasyarakatan.
“Seratus tahun ke depan, PERSIS dapat lebih menegaskan lagi posisi dan eksistensinya sebagai salah satu ikon penting pergerakan Islam di Indonesia,” tegas Prof. Dadan.
Dalam Muktamar nanti, PERSIS harus melakukan renungan dan apresiasi aktual ke depan dalam berbagai bidang baik dalam bidang pendidikan dan dakwah maupun partisipasi aktif dalam kegiatan politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan. Menatap ke depan dan berpaling ke belakang bukan saja perintah dalam suatu kaidah ushul para ulama, tetapi juga cerminan sikap dari organisasi pembaharu yang selalu apresiatif terhadap tradisi dan khasanah pemikiran sebelumnya, sekaligus melakukan reflektif dan antisipatif terhadap perkembangan zaman dan tuntutan dakwah yang berubah cepat.
Awal abad ke-20, di awal berdirinya, Persatuan Islam (PERSIS) tampil sebagai organisasi pemikiran Islam yang berpengaruh di negeri ini. Sebaliknya, di awal abad ke-21, di era digital dan kesejagatan, di era pemikiran umat yang semakin bebas dan liberal, tentu Persatuan Islam (PERSIS) harus kembali menunjukkan jati dirinya sebagai organisasi pemikiran Islam.
Sayangnya, dalam seratus tahun ini belum banyak lahir ulama sekaliber Ahmad Hassan, Mohammad Natsir, Isa Anshary, Ustaz Abdurrahman, Ustaz Latif Mukhtar, dan Ustaz Shiddiq Amien, misalnya. PERSIS nampaknya lebih asyik mengurusi organisasi dibandingkan kontribusi pemikiran Islam, keumatan, dan kebangsaan.
Ke depan, diperlukan kepemimpinan pusat yang kuat dalam pemikiran sehingga dikenal lebih luas di pentas nasional dan internasional. Saat ini, harus kita akui dengan jujur, jajaran pimpinan PERSIS lebih banyak menata aktivitas internal, bukan eksternal.
“Nampaknya kita selalu absen dalam pergulatan wacana pemikiran Islam, baik di tingkat nasional, apalagi global. Kajian dan dialog keislaman di tingkat nasional dan dunia, akan kembali menempatkan PERSIS sebagai harakah tajdid,” pungkasnya.
[]
Kontributor: HL
Editor: dh