Oleh: Ilham Habiburohman
(Anggota Bidang Hukum HAM dan Analisis Kebijakan Publik PP Pemuda PERSIS)
Wacana menambah periode masa jabatan presiden atau memperpanjang-nya lebih lama, tidak lahir dari ruang kosong, namun bergulir atas realitas politik yang ada.
Kalau kita sedikit flashback sejak awal terpilihnya Presiden Jokowi; konfigurasi politik pemerintah dengan DPR berada pada kutub yang berbeda sehingga potensi ketegangan antara kedua lembaga tersebut sangat rentan.
Faktanya rapuhnya koalisi oposisi yang mendukung Prabowo dan manuver politik tiga partai besar di pertengahan periode pertama untuk memilih berbaris dengan pemerintah, menggeser peran pemerintah yang lebih dominan secara politik; dan memang itulah barangkali yang dikehendaki sebagai negara yang menganut sistem Presidensil.
Sistem presidensil menghendaki peran Presiden sebagai sentral kekuasaan, sehingga satu sisi mengharuskannya demikian, di sisi yang lain menjadi kekhawatiran akan banyaknya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
Kekhawatiran-kekhawatiran itu terus menguat setelah terpilihanya kembali Presiden Jokowi di periode kedua, dan mengangkat kompetitor politiknya sebagai Menteri pertahanan yang dapat “memaksa” DPR sebagai lembaga parlemen kehilangan fungsi dan tugas yang sebenarnya untuk mengontrol dan mengimbangi peran eksekutif (pemerintah).
Tergerusnya fungsi DPR bukan hanya sekedar asumsi, banyak kritik dan suara-suara baik dari para ahli maupun publik secara umum yang menyayangkan banyaknya persoalan produk hukum Presiden dan DPR yang bermasalah.
Seperti lahir dan disahkannya Perppu Ormas, Perubahan UU mineral dan Batubara, terbit dan disahkannya Omnibuslaw CiptaKerja, Perubahan UU Mahkamah Konstitusi, Perubahan UU KPK, dan seterusnya.
Gestur kekuasaan dan politik seperti ini yang kemudian membuat publik khawatir akan menyentuh perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945 terutama tentang masa jabatan presiden.
Wacana penambahan dan perpanjangan masa jabatan presiden beberapa kali bergulir, baik yang disampaikan secara personal, relawan pendukung Presiden Jokowi, dan juga salah satunya pernyataan Menteri investasi dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang mewartakan bahwa para pengusaha meminta untuk mengundur pemilu dengan alasan perekonomian baru membaik setelah dihantam pandemi.
Tentu masyarakat pun bertanya-tanya dan mengerutkan dahi, kalau memang alasan pandemi mengapa pilkada 2020 lalu tetap dipaksakan? Kalau memang perekonomian baru tumbuh, siapa yang sebetulnya diuntungkan?
Bila melihat dari perspektif kacamata hukum, tidak ada alasan darurat yang memungkinkan presiden dapat memperpanjang atau menambah masa jabatannya.
Sebagaimana yang tercantum dalam amanat konstitusi bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Jika yang dipertanyakan adalah apakah mungkin Presiden menambah masa jabatanya, jawabannya adalah “mungkin” jika para pemangku kepentingan dengan konfigurasi politik hari ini menghendaki perubahan terhadap Pasal 7 UUD 1945 tersebut.
Kedua, jika pandemi menjadi alasan, apakah itu bisa dikategorikan sebagai alasan kedaruratan tanpa perubahan terhadap teks konstitusi?
Parameter kedaruratan memang tidak pasti dan baku, namun bukti suksesnya pilkada 2020 mencirikan bahwa pandemi bukan alasan, sehingga jika hal ini tetap dipaksanakan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dengan kata lain ‘inkonstitusional’.
Juga Presiden tidak memiliki basis legitimasi atas tambahan masa jabatannya, kecuali presiden melakukan ‘referendum’ meminta persetujuan rakyat atas perpanjangan masa jabatannya.
Kemudian pertanyaan berikutnya, adakah korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan pemilu? Banyak hal yang dapat dikaitkan dan menjadi asumsi dasar, seperti mahalnya ongkos politik sehingga rentan terjadi deal or no deal dengan para pengusaha, kecenderungan rezim yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, ketidakpastian dan ketidakstabilan politik yang mempengaruhi kebijakan dan perekonomian.
Terakhir, berbeda dengan konstitusi Afrika Selatan yang sejak 1996 sudah 17 kali mengalami perubahan, mesti diingat bahwa konstitusi kita menganut rezim rigid, artinya perubahannya sangat membutuhkan kesamaan agenda. Apapun bentuknya, bukan hanya pemangku kebijakan namun juga rakyat menghendaki hal itu.
Presiden Jokowi berulang kali menyatakan bahwa dia tidak berkeinginan dan tidak berniat untuk menambah masa jabatanya; namun yang perlu menjadi catatan, belum ada pernyataan resmi partai koalisi pemerintah yang membantah isu perpanjangan tersebut, seolah “bola” dibiarkan liar untuk sekedar test on the water seberapa respon riak masyarakat terhadap isu yang bergulir tersebut untuk memetakan politik di masa pemilu yang akan dating
Wallahua’lam bis shawaab.
(FAR)