Luka Hati Umat Islam Oleh Densus 88.
Jumat malam 8 April 2016, Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah di kantor Menteng-Jakarta bertema “Pemberantasan Terorisme yang Pancasilais dan Komprehensif” menghadirkan narasumber Bapak Arief Darmawan dari BNPT, Prof.Dr. Din Syamsudin, MA, Prof.Dr.Hafiz Abbas, Dr. H. Abdul Mu’thi, M.Ed, dan M.Riefqi Muna, Ph.D.”
Walau masing-masing menyampaikan pandangan dari sudut pandang yang berbeda, seluruh narasumber pada intinya sepakat bahwa pemberantasan terorisme di seluruh wilayah kedaulatan NKRI merupakan suatu tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi mengingat bahwa faktanya terorisme di Indonesia memang ada. Namun di sisi lain, bahwa dalam tataran pelaksanaannya, oprasi pemberantasan terorisme banyak terjadi kesalahan prosedur sehingga menyebabkan banyak jiwa melayang di tangan Densus 88 sebelum sempat diadili dan difonis bersalah di Pengadilan.
Saya sendiri yang sengaja hadir dalam acara tersebut ingin menyampaikan beberapa catatan:
Pertama, atasnama Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) menyampaikan apresiasi yang tinggi dan dukungan yang bulat terhadap upaya PP.Muhammadiyah dalam upayanya mengungkap misteri kematian Bapak Siyono dan mencari keadilan baginya dan bagi keluarganya yang menjadi korban kekerasan operasi Densus 88. Kami juga mendukung agar Muhamadiyah menjadi lokomotif Ormas Islam dalam mengawal dan mengawasi operasi Densus 88 dikemudian hari agar tidak lagi kejadian-kejadian buruk seperti itu.
Kedua. Pada prinsipnya, seluruh umat Islam Indonesia melalui Ormas Ormas Mainstream sepakat mendukung pemberantasan faham radikalisme dan terorisme di bumi nusantara ini, baik itu yang dilakukan oleh pihak dan pemeluk Islam maupun pemeluk agama yang lain dengan tidak ada diskriminasi dan pelanggaran HAM sebagaimana yang diamanatkan dalam Perpu No 1 tahun 2002 yang kemudian disahkan menjadi UU berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 dan UU No.9 Tahun 2013.
Ketiga. Dalam prakteknya pelaksanaan penindakan tindak pidana terorisme telah banyak menyimpang dan menyeleweng dari aturan dan prosedur baku, bahkan berungkali melanggar kaidah-kaidah HAM itu sendiri. Sehingga pemberantasan tindak pidana terorisme oleh Densus 88 lebih banyak menimbukan antipati, kecurigaan dan kebencian di kalangan masyarakat muslim, terutama keluarga korban operasi Densus 88, daripada menumbuhkan simpati dan dukungan. Diantara pelanggaran-pelanggaran prosedur dan pengabaian HAM yang amat melukai umat Islam Indonesia adalah:
- Membunuh para terduga teroris dengan keji disaat mereka sudah menyerah nyata-nyata menyerah dan tidak ada lagi kemungkinan untuk melakukan perlawanan. Seperti dalam kasus penyerbuan teroris di Tanah Runtuh, Poso tahun 2013.
- Melakukan penggerebekan dan penangkapan bahkan menembaknya disaat terduga sedang melangsungkan ibadah solat
- Melakukan penangkapan dan penggeladahan disekolah TK atau dimadrasah TPA di saat anak anak sedang belajar al Quran
- Melakukan penangkapan dan peggeladahan terduga di saat hari-hari penting keagamaan bagi umat Islam, seperti waktu solat, bulan puasa, dan menjelang Idul Fitri
- Penangkapan terduga teroris dikaitkan dengan ciri pakaian, pemahaman keagamaan, dan ketaatan umat Islam dalam menjalankan agamanya.
- Semua tindakan Densus 88 tersebut di atas menimbulkan kecurigaan seakan Densus 88 sedang membangun kesan bahwa radikalisme-terorisme memang ditumbuh-suburkan oleh kalangan umat Islam yang taat beribadah dan hanya bisa dihilangkan oleh mereka yang tidak lagi mempedulikan agamanya.
Keempat. Umat Islam selama ini didoktrin untuk tidak berfikir dan bertindak berdasar sentiment SARA, tetapi faktanya bahwa tindakan Densus 88 dalam penanganan terorisme sarat dengan sentiment SARA. Perlu ditanyakan kepada Densus, pernahkan mereka menangkap, menggeledah, menembak mati dengan keji terduga teroris dari pihak non Islam di Gereja, di Pura, di Kuil, di hari raya di Sekolah Agama non Islam dan sebagainya? Pernahkah para separatis OPM yang banyak membunuh anggota POLRI, TNI, maupun rakyat sipil distigma sebagai teroris dan mereka dikejar ataupun digeladah sampai ke gereja-gereja dan sekolah-sekolah anak mereka?
Ketujuh. Apabila pemberatasan terorisme oleh Densus 88 dengan cara-cara seperti itu tidak dihentikan atau tidak dirubah pendekatannya maka akan lebih banyak pihak menjadi simpati pada radikalisme dan terorisme daripada menghilangkannya, disebabkan banyaknya kecurigaan dan rumor bahwa Densus 88 hanya jadi kaki tangan kepentingan pihak yang memusuhi umat Islam.
Oleh sebab itu pula, upaya pencarian keadilan dan pembelaan Muhammadiyah terhadap keluarga Bapak Siyono sebagai korban kezaliman Densus 88 tidaklah boleh ditafsirkan sebagai pembelaan apalagi dukungan dan perlindungan terhadap para radikalis dan teroris, tetapi sebagai pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia orang-orang yang baru terduga teroris dan memulihkan marwah umat Islam yang terstigma dengan label teroris.
Jakarta, 9 April 2016
Jeje Zaenudin
Wakil Ketua Umum PP. PERSIS.