Sudah hampir 20 tahun reformasi di Indonesia bergulir. sebuah proses dan perjuangan yang cukup panjang, penuh lika-liku, bahkan sampai harus ada pertumpahan darah. reformasi yang digagas dan dipelopori Mahasiswa bermula dari rasa keprihatinan moral yang sangat mendalam atas berbagai krisis yang terjadi saat itu. Sebagai intelektual yang peduli terhadap nasib bangsanya, mahasiswa pada saat itu melakukan gerakan aksi memprotes penguasa (orde baru) untuk segera menyelasaikan krisis dan membawa bangsa ini keluar dari kemelut yang berkepanjangan yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat. reformasi lahir dari panggilan nurani mahasiswa yang ingin melakukan perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa ini.
Reformasi berawal dari terakumulasinya serangkaian krisis yang dengan begitu bebalnya diabaikan oleh penguasa-penguasa orde baru. Berawal dari krisis moneter kemudian merambah ke krisis lainnya. Meskipun bermula dari krisis ekonomi, bola tuntutan reformasi bergulir deras ke bidang politik. Tuntutan reformasi di bidang politik menjadi arus utama dalam gerakan reformasi. Sebab, akar dari semua krisis yang menimpa Indonesia saat itu adalah system politik yang ‘amburadul’. Politik yang otoriter, mengebiri hak-hak politik rakyat.
System politik pada saat itu dibangun dan diciptakan untuk melanggengkan penguasa, dalam hal ini Presiden Soeharto. Karenanya, tuntutan reformasi yang sangat dominan pada saat itu adalah menurunkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya (Presiden). Harus diakui, bahwa Soeharto dalam beberapa hal memang berhasil melakukan pembangunan bangsa Indonesia, termasuk pembangunan ekonomi. Namun, pembangunan ekonomi dan berbagai bidang lainnya itu, selama Soeharto berkuasa dibangun di atas praktek kejahatan-kejahatan politik dan nafsu kroni-kroninya. Praktek politik menindas itulah yang kemudian dianggap menjadi sumber penyebab atau akar masalah praktek ekonomi yang tidak sehat. Sebaliknya, hal itu menyuburkan praktek monopoli, korupsi, kolusi dan nepotisme yang mengakibatkan kesengsaraan yang berkepanjangan bagi rakyat. Dengan begitu, reformasi di bidang ekonomi adalah sangat sulit dilakukan, untuk tidak mengatakan mustahil, apabila system politiknya tidak berubah. Reformasi ekonomi jika memang dilaksanakan, pada umumnya berdampak pada kehidupan politik. Karena itu, apa yang terjadi dalam ekonomi, pasti membutuhkan sebuah tindakan politik.
Reformasi di bidang politik memang sangat penting dan paling utama. Adalah wajar jika kemudian tuntutan utama pada gerakan reformasi pada saat itu adalah reformasi politik. System politik yang kacau akan berdampak pada kekacauan di bidang lainnya. Hukum apabila disertai dengan politik yang rusak, maka hukum akan ikut rusak. Kondisi sosial akan ikut rusak jika dibangun di atas system politik yang rusak. Begitu juga pendidikan dan ekonomi. Karenanya, sebelum melakukan reformasi di bidang lainnya, reformasi politik menjadi penting diutamakan. Dari sini, mungkin kita bisa menyadari, betapa reformasi tidak banyak memberikan perubahan yang signifikan dalam perubahan ke arah yang lebih baik. Karena system politiknya tidak jauh berbeda dengan politik di era orde baru. Hanya mengubah nama, namun dalam prakteknya tidak jauh berbeda. Bahkan kondisinya saat ini, bisa dikatakan lebih parah. Korupsi semakin merajalela, semakin menjamur. Jika di era orde baru korupsi hanya dilakukan di tingkat atas, keluarga penguasa dan kroni-kroninya, kini korupsi merata sampai ke tingkat bawah. Korupsi dilakukan secara berjama’ah, adil dan transparan. Begitu juga dengan kolusi dan nepotisme.
Dua hal itu juga tidak bisa diperbaiki. Bahkan seperti halnya korupsi, kolusi dan nepotisme juga semakin parah. Bukan rahasia umum, jalinan kekeluargaan dan persahabatan menjadi hal yang lumrah menjadi syarat kemudahan masuknya seseorang di instansi pemerintah. Bahkan yang menarik, system politik setelah reformasi menghasilkan sebuah fenomena yang unik sekaligus ironis. Secara sederhana, atau apalah bahasanya, reformasi telah menciptakan kekuasaan dinasti. Di beberapa daerah, kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) seolah menjadi imperium kekuasaan keluarga tertentu.
Banyak kasus misalnya walikota di periode I adalah suaminya, periode berikutnya adalah istrinya, dan seterusnya. Gubernurnya si A, walikota dan bupatinya adalah saudaranya. Bukan hanya di tingkat daerah, di level pusat pun itu terjadi. Kepala negaranya si A, Panglima TNI saudaranya, ….. kondisi seperti itu tentunya tidak masalah jika didasarkan pada prosedur yang benar, ditunjang dengan kapasitas dan kualitas yang mumpuni. Namun, di lapangan faktanya berbanding terbalik. Bukan karena kualitas dan kapasitas yang mumpuni, tapi lebih karena akses atau jaringan kuat keluarga yang dimiliki saat menjabat kepala daerah. Tentu ini menjadi unik sekaligus aneh. Unik, karena suka atau tidak suka, ini adalah realitas yang terjadi setelah reformasi, atau istilah kasarnya ‘Produk Reformasi’. Kekuasaan dinasti seperti ini, bukan tidak mungkin menjadi ruang yang amat besar terciptanya kekuasaan yang korup. Apakah reformasi yang kita cita-citakan seperti itu?
Kalau kita renungkan kembali cita-cita reformasi, nampaknya gerakan reformasi pada saat itu belum terkonsep dengan matang. Mungkin baru semangatnya yang matang, namun secara konseptual belum betul-betul utuh, belum matang. Sebagaimana diketahui, setidaknya ada enam tuntutan reformasi: Adili Soeharto dan kroni-kroninya, Laksanakan amandemen UUD 1945, Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, Tegakkan supremasi hukum, dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.
Dari ke-enam tuntutan reformasi, nampaknya yang baru bisa terwujud hanya tiga: pelaksanaan amandemen UUD 1945, penghapusan dwi fungsi ABRI dan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu, nampaknya masih belum terealisasi. Mengadili Seoharto dan krooni-kroninya tidak terwujud. Begitu juga dengan penegakkan supremasi hokum, yang terjadi hokum sekarang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Untuk otonomi daerah, hal tersebut sudah terealisasi, tapi memerlukan pematangan konsep lagi dikarenakan penerapan otonomi daerah malah menjadi salah satu penyebab, bukan penyebab utama, menjamurnya korupsi di daerah-daerah.
Amandemen UUD 1945 justru memposisikan negara semakin tidak kuasa. Negara bahkan bisa takluk pada kekuatan modal. Aset-aset negara yang seharusnya menjadi milik negara dan digunakan untuk kepentingan kesejahtraan rakyat, malah diekspolitasi oleh pihak swasta, baik dalam negeri maupun pihak asing. Padahal, UUD 1945 yang telah dirumuskan oleh para founder bangsa ini bisa dikatakan cukup ideal, dimana negara dan bangsa menjadi hal yang paling pokok dan harus diutamakan. Ini sekaligus menjadi PR besar bagi para penggagas reformasi, jangan sampai reformasi digulirkan hanya untuk mengganti Persiden saja, namun pemainnya tetap saja sama. Hanya berganti kepala, sedangkan seluruh anggota badan tetap saja sama.
Kita tentunya tidak menafikan beberapa hal yang merupakan keberhasilan dari gerakan reformasi, seperti bebasnya masyarakat menentukan sikap politiknya, kebebasan berkumpul dan berpendapat, dan masih banyak lagi. Tapi kita juga tidak menutup mata terhadap realitas yang terjadi bahwa banyak hal yang tidak jauh berbeda antara kondisi di era orde baru dengan era setelah reformasi, bahkan seperti dijelaskan diatas tentang korupsi, kolusi dan nepotisme, kondisinya justru lebih parah.
Survei yang dilakukan oleh LSI pada tahun 2008 menunjukan, mayoritas publik (53.3%) kurang puas dengan pelaksanaan reformasi. Publik bahkan menilai kondisi saat ini dimasa reformasi lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pada masa Orde Baru Soeharto. Sebanyak 58.3% publik menilai kondisi terbaik adalah kondisi pada masa Orde Baru Soeharto. Data ini menunjukkan reformasi belum banyak dirasakan manfaatnya oleh publik. Mengapa publik justru lebih memilih kondisi terbaik adalah masa Orde Baru Soeharto? Kemungkinan karena reformasi tidak berdampak langsung kepada kehidupan langsung mereka.
Ini artinya, ada yang salah dengan proses reformasi yang telah bergulir lebih dari 15 tahun itu. Jangan-jangan ada kesalahfahaman yang fatal di banyak kalangan, terutama di kalangan mahasiswa yang menuntut reformasi. Jangan-jangan reformasi hanya difahami sebagai gerakan meruntuhkan soeharto saja. jika ini yang difahami, tentu menjadi salah besar. Tugas reformasi, jika begitu halnya, telah selesai. Reformasi bukan hanya menjatuhkan rezim yang korup, tapi juga menggantikan system yang membuat rezim menjadi korup. Jika ini yang difahami bersama, tugas dan cita-cita reformasi belum selesai, belum berakhir. Bahkan kini semakin berat. Kita tentu berkeyakinan, untuk melakukan semua itu, tidak hanya mengganti pemimpin, tapi juga harus mengganti sistemnya.
Lalu sistem politik seperti apa yang dikehendaki gerakan reformasi? Jawabannya tentu saja adalah demokrasi. Demokrasi sampai sekarang diyakini sebagai yang paling ideal bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga hampir seluruh dunia. Demokrasi diagung-agungkan sebagai sistem yang menjadi pamungkas sejarah dunia (the end of history), karena diyakini akan memberikan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh bangsa dan negara. Namun demikian, demokrasi di Indonesia dalam prakteknya tidak seperti yang diinginkan. Seringkali antara teori dengan praktek dan kenyataan bertolak belakang. Tidak berlebihan jika ada yang menilai Indonesia sebagai yang paling ahli berbicara tentang demokrasi, namun melaksanakannya paling tidak ahli.
Sebenarnya, selama lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia telah menerapkan berbagai macam bentuk demokrasi dengan hasil yang mencemaskan. Pada awal kemerdekaan sesunggunya Indonesia telah mulai menata pemerintahan dengan bentuk demokrasi yang nyata. Tetapi karena tidak diimbangi dengan elemen-elemen organisasi kenegaraan secara lengkap, kehidupan demokrasi itu berjalan dengan pincang.
Ironisnya, di lain sisi demokrasi yang diyakini sebagai paling ideal untuk mensejahterakan rakyat, justru sering dijadikan justifikasi oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Soekarno misalnya, secara teoritis mengemukakan gagasan demokrasi yang luar biasa hebat. Mengkritisi demokrasi ala Barat yang hanya didasarkan pada politik saja (demokrasi politik), namun tidak memperhatikan aspek ekonomi (demokrasi ekonomi). Demokrasi Barat hanya mengakui persamaan hak politik, namun dalam bidang ekonomi masih diskriminasi. Akan tetapi, berbanding terbalik dengan gagasan demokrasi politik dan ekonominya, Soekarno menerapkan model demokrasi baru yakni demokrasi terpimpin. Melalui demokrasi terpimpin itu Seokarno dinilai menempatkan dirinya sebagai pusat kekuatan politik bangsa Indonesia dengan kekuasaan penuh terpusat di tangannya. Soekarno ingin menjadikan dirinya sebagai presiden seumur hidup Indonesia. Sesuatu yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri meskipun Soekarno memakai istilah ‘demokrasi’ terpimpin untuk sikapnya itu. Di bawah demokrasi terpimpin Seokarno, situasi Indonesia kian ambruk dan terpuruk di semua sektor kehidupan. Sektor ekonomi diambang kehancuran. Stabilitas keamanan tidak terkendali. Secara praktis, rezim Demokrasi Terpimpin tidak mampu mewujudkan keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Seoharto setali tiga uang dengan Seokarno. Di bawah kekuasaannya, Seoharto menerapkan model demokrasi yang, menurutnya, sesuai dengan logika bangsa yang berdasarkan Pancasila. Ia menyebutnya sebagai Demokrasi Pancasila. Karena Pancasila merupakan ideologi dan pandangan hidup bangsa, maka demokrasi mesti berjalan selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Demokrasi harus tumbuh sesuai dengan moral agama dan nilai-nilai ketuhanan. Demokrasi harus selaras dengan etika ketimuran dan nilai-nilai kemanusiaan. Demokrasi harus digalang melalui semangat persatuan. Demikian juga, demokrasi harus berjalan di atas komitmen bersama dan berdasar asas musyawarah mufakat. Dan demokrasi harus ditujukan untuk memenuhi keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, demokrasi Pancasila dalam prakteknya tidak sesuai dengan tataran konsepnya. Rezim Demokrasi Pancasila harus diakui telah berhasil dalam beberapa hal, terutama pembangunan ekonomi, tetapi tidak sukses dalam banyak hal. Mewabahnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pemberlakuan Undang-undang Anti Subversi, pembatasan kebebasan pers yang sangat ketat telah memberangus kehidupan demokrasi yang sebenarnya.
Pasca rezim orde baru runtuh, politik di Indonesia mencoba menggunakan “Demokrasi Terbuka”. Melalui demokrasi terbuka ini, bangsa Indonesia berharap dapat mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Namun, harus diakui, menerapkan demokrasi terbuka untuk realitas Indonesia saat itu sesungguhnya merupakan perhitungan politik yang cukup berani, mengingat rakyat pada umumnya belum memahami secara memadai apa itu demokrasi. Sehingga yang terjadi, demokrasi berjalan tanpa arah dan tidak ada yang mampu mengendalikan. Rakyat merasakan kebebasan yang luar biasa. Mereka berusaha menjalankan demokrasi sembari tidak tahu hakikat demokrasi yang sebenarnya. Akibatnya, demonstrasi, unjuk rasa, pengarahan massa, dan gejolak anarkis, bahkan sederetan perang antar etnis, menjadi trend model demokrasi ini. Berbagai konflik sosial sangat sering terjadi.
Jika demikian halnya, reformasi dan demokrasi kita berada di persimpangan jalan. Tidak jelas arahnya, dan semakin melangkah jauh dari cita-cita awalnya. Kita tidak bisa membebankan semua ini pada mahasiswa. Ini menjadi tanggung jawab bersama. Tapi, mahasiswa, khususnya generasi 98 mempunyai tanggungjawab moral yang sangat tinggi atas semua ini. Dan mahasiswa di generasi selanjutnya yang mewarisi perjuangan mahasiswa 98 mempunyai kewajiban untuk melanjutkan dan memperbaiki cita-cita reformasi yang belum terwujud. Gerakan reformasi tidak perlu digugat, karena telah menjadi catatan sejarah. Sejarah tidak bias disalahkan dan digugat, tapi diluruskan dan diperbaiki. Itulah tugas mahasiswa di generasi saat ini, esok dan seterusnya…
Wallahu A’lam.
Oleh: Nizar A. Saputra